Chapter 2

1374 Words
"Aku ingin membatalkan kontrak kerja sama itu." Julian melipat kedua tangannya ke depan d**a, memasang wajah seriusnya sebagai pertanda bahwa ucapannya kali ini benar-benar serius sekaligus menutup perdebatan antara dirinya dan manajernya pagi ini. Manajernya yang sedari tadi duduk dihadapan Julian langsung terkesiap dan menghampiri Julian untuk duduk berpindah duduk disamping artisnya itu. "Kau jangan main-main Julian. Kau sudah menyetujui kontrak itu bahkan menandatanganinya." "Ya batalkan saja. Aku tidak nyaman bekerja sama dengan mereka terutama bosnya itu." "Hal seperti itu biasa terjadi, lagi pula kau tampan. Wajar jika dia tidak bisa menolak pesonamu. Mari kita pikirkan lagi," bujuk Han, manajer Julian.  "Dia bahkan menatapku seperti menelanjangiku, apakah itu masih wajar?" Julian tidak hentinya mengomel dengan kesal sejak pagi. "Ah itu hanya perasaan kau saja. Buktinya kau tidak benar-benar ditelanjangi." Julian melirik manajernya tajam yang terlihat tidak henti-hentinya membujuknya.  "Aku bisa dimarahi oleh CEO agensi kita jika kau tetap bersikeras untuk membatalkannya. Lagi pula kau harus membayar banyak jika memutuskan kontrak kerja sama itu secara sepihak. Tidak hanya itu, nama baikmu juga bisa tercemar. Kau baru saja berada di puncak karirmu, kau ingin lebih terkenal lagikan? perusahaan milik bu Erika sudah sangat dikenal, itu bisa membantu semakin menaikkan namamu." Sang manajer terlihat sangat gigih membujuk Julian dengan memberikan berbagai pertimbangan. Sepertinya cukup berhasil karena kini Julian tidak terdengar membalas, ia terlihat berpikir sejenak. Stu tarikan nafas panjang terdengar darinya. "Baiklah, kita lanjutkan. Lain kali jangan terima lagi kerja sama dengan dia," kata Julian kemudian berlalu keluar dari ruangan itu membuat sang manajer menghembuskan nafas lega. Ia sempat sangat panik saat tiba-tiba Julian meminta bertemu untuk membatalkan kerja sama dengan salah satu perusahaan parfum yang terkenal yaitu Queeno de Parfume milik Erika Queena. Han tidak mengerti menagapa Julian menjadi sangat sensitif pada wanita itu. Tapi setidaknya kini ia mengurungkan niatnya yang pasti akan sangat merugikan itu. *** Arin melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan dimana ia yakini bisa menemukan keberadaan Erika. Tepat sesuai dugaan, saat memasuki ruangan yang didominasi berwarna putih dengan banyak sekali kristal-kristal yang membuat ruangan ini terlihat sangat mewah. Wangi citrus langsung menusuk indra penciuman Arin bahkan sebelum kakinya menginjak ruangan ini.  "Mendapatkan sesuatu yang baru?" tanya Arin memecahkan kefokusan Erika pada berbagai peralatan yang berada di atas meja di hadapannya.  "Apa wanginya terlalu menyengat? aku mencampurnya dengan rose." Erika memberikan smelling strips yang sudah ia berikan sedikit cairan parfum yang baru saja ia racik pada Arin. Arin memejakan matanya untuk menghirup aromanya, benar saja, aromanya langsung menusuk. "Ya, aku rasa agak menyengat." "Ah sudah aku duga. Mungkin aku akan mencoba untuk mencamburkannya dengan aroma woody saja. Sepertinya jika dicampurkan dengan amber wood akan membuatnya lebih lembut." "Kau sangat menguasai hal ini," puji Arin. "Tentu saja," balas Erika. Ia bangkit dari duduknya menuju rak lemari yang tinggi menjulang untuk mencari ekstrak aroma yang ia inginkan untuk menjadi percobaan selanjutnya.  "Jadi kemana saja kau hari ini?" tanya Arin. "Berkeliling berburu tas-tas baru. Aku harus mengisi walking closet ku yang baru karena aku membuat satu ruangan khusus lagi." "Pantas tagihan hari ini sangat banyak dari kartu kreditmu." "Itu tidak akan menghabiskan uangku." Erika kembali ke kursi kerjanya dan kembali berkutat dengan bahan-bahan membuat parfum untuk ia uji coba. Erika biasa melakukan hal ini sebelum ia benar-benar memproduksinya dengan alat-alat yang lebih canggih dan bahan-bahan yang jauh lebih premium. Arin menatap Erika kagum, setiap gerak-gerik wanita itu terlihat sangat berpengalaman. "Aku selalu heran padamu. Kau lebih memilih bekerja berjam-jam di ruang kerja yang berada di mansion mewahmu ini, tapi kau selalu sulit dibawa kerja ke kantor. Kua bahkan selalu telat datang ke kantor dan pulang seenaknya saja," ucap Arin jujur. "Kau tau, saat kita mengerjakan sesuatu karena keharusan ataupun karena terpaksa oleh suruhan orang lain, pasti rasanya kita akan semakin malas untuk mengerjakannya. Tapi jika kita bekerja karena keinginan kita sendiri, tubuh kita akan sangat mudah untuk bergerak. Jadi kau berhentilah memerintahku untuk bekerja karena aku hanya akan bekerja saat aku mau," jawabnya yang membuat Arin mencibir.  Bagaimana tidak heran, Erika diperusahaan benar-benar bekerja seenaknya saja. Ya, memang benar ia adalah orang yang tidak suka diatur, karena semakin dia diatur, dia akan semakin menjadi-jadi pembangkangnya. Tapi jika ia ingin bekerja, seperti inilah. Ia tidak akan kenal waktu dan akan terus bekerja. Erika memang lebih suka bekerja di mansion mewahnya untuk menciptakan aroma-aroma parfum baru yang akan perusahaannya pakai. Setelah ia menentukan akan mengeluarkan parfum apa lagi, makan orang-orang diperusahannya yang akan mati-matian mengerjakannya hingga mendapatkan hasil yang Erika inginkan.  Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, Erika hanya menghabiskan hidupnya untuk bersenang-senang dengan uang peninggalan orang tuanya dan bekerja untuk mempertahankan perusahaan yang sudah susah payah dibangun oleh orang tuanya. Meskipun sering bersikap semena-mena dalam bekerja, tapi tetap saja perusahaannya berkembang pesat. Diam-diam Erika memiliki otak bisnis yang bagus serta tim yang memang memiliki kinerja yang bagus.  "Baiklah, aku akan pulang sekarang. Jangan tidur terlalu larut malam, kau bisa melanjutkannya besok, mengerti." "Aku akan berhenti jika aku mau, tenanglah." Arin menggeleng kecil sembari tersenyum mendengar balasan sepupu sekaligus atasannya itu. Tidak ingin terlalu lama mengganggu Erika yang sedang fokus bekerja membuat Arin memutuskan untuk pulang. Lagi pula ia memang hanya berniat datang untuk memastikan bahwa Erika sudah di rumah dan memberikan laporan perusahaan hari ini yang harus Erika tahu yang sejak tadi sudah ia letakkan di atas meja. Tanpa memberi tahupun, Erika pasti sudah tahu karena itu sudah rutinitas mereka. "Oh iya Arin, sebentar." Arin yang hampir hilang dari penglihatan di balik pintu kembali menyembulkan kepalanya dari pintu mendengar panggilan Erika. "Kau tau Julian Emillio?" "Tentu saja, diakan Brand Ambassador parfum kita." "Menurutmu dia bagaimana?" Erika menopang wajahnya dengan kedua tangannya sembari menunggu jawaban dari Arin. Wajahnya terlihat sumringah membuat kerutan di dahi Arin heran. Kenapa tiba-tiba ia malah membicarakan pria itu. "Bagaimana apanya?" "Ya fisiknya ataupun kepribadiannya." "Aku tidak biasa menilai seseorang, apalagi baru sekali bertemu." Erika tampak mencibir, merasa tidak puas dengan jawaban sepupunya itu.  "Kau tidak memiliki insting yang bagus sebagai wanita." "Memangnya kau punya?" "Tentu saja. Julian adalah orang tampan dan berkharisma, bahkan saat ia diam saja ia terlihat luar biasa tampannya. Ah ternyata di Seoul benar-benar ada orang setampan itu." "Tentu saja banyak, kau saja yang tidak tahu." "Ah sudahlah, kau tidak akan paham tentang hal ini. Yang kau lakukan setiap hari hanya kerja, kerja dan kerja." Erika kembali pada rutintiasnya merasa memperbincangkan tentang hal ini pada Arin tidak ada menariknya. Arin hanya melenggang acuh kini benar-benar pergi untuk pulang ke rumahnya. Ia sudah sangat terbiasa dengan pembicaraan seperti itu dengan Erika, jadi rasanya tidak heran lagi. *** Julian memasuki ruang meeting yang sudah dihadiri oleh beberapa orang dari agensi dimana ia bernaung. Julian langsung membungkuk sopan untuk menyapa sembari tersenyum hangat. Hari ini ia harus mengadakan rapat untuk membicarakan beberapa agendanya dalam satu bulan ke depannya.  Julian merasa sangat senang karena mendapat kabar bahwa banyak pihak yang ingin bekerja sama dengannya. Sejak salah satu drama yang ia bintangi beberapa bulan yang lalu memiliki rating dan peminat yang cukup tinggi, Julian menjadi salah satu yang sangat dicari untuk bekerja sama karena namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dan selalu menjadi pusat perhatian. Yang membuat Julian senang adalah, ia merasa usahanya selama ini tidak sia-sia. Julian memulai karirnya di industri hiburan sebagai seorang model. Dulu ia sempat menjadi model produk kecil-kecilan. Hingga akhirnya ia menjadi trainee untuk aktor di salah satu agensi, ia mulai mendapatkan peran-peran pendukung. Ia kerap menjadi orang yang hanya masuk dalam satu atau dua episode saja. Bahkan kadang kehadirannya dalam drama itu sering tidak begitu dianggap. Ya begitulah susahnya memasuki dunia hiburan ini. Tapi Julian sadar juga bahwa dulu kemampuannya sangat minim sekali dan masih merasa sangat canggung.  Saat Julian dipercaya menjadi second lead di salah satu drama, ia merasa benar-benar bahagia karena saat itu adalah kali pertama ia mendapat kesempatan itu. Julian benar-benar memberikan seluruh kemampuannya hingga akhirnya bisa mencuri perhatian para penonton. Sejak saat itulah namanya mulai dikenal dan ia mendapat berbagai tawaran kembali hingga akhirnya menjadi pemeran utama. Meskipun prosesnya cukup sulit, tapi Julian sangat menikmati semuanya karena memang itu merupakan keinginannya sejak dulu.  Meskipun sudah cukup banyak dikenal, Julian tidak ingin cepat puas. Ia sadar bahwa dunia yang ia geluti sekarang ini sangat sensitif. Banyak orang yang namanya bisa tiba-tiba melambung tinggi, namun bisa juga tiba-tiba menghilang. Untuk itu kualitas dirinya harus selalu ditingkatkan untuk selalu bisa bertahan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD