Bab 10

1352 Words
Pov : Arina "Rin, cepet sehat. Aku berangkat kerja dulu, ya? Kalau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Atau tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan. "Kamu mau makan apa?" tanya Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, kadang membuat sakit kepala. Kulirik dari ekor mata, ibu menatapku cukup serius dari tempat duduknya. Di atas sofa yang tak jauh dari pembaeingan. Dia menatapku lekat, tak berkedip hingga beberapa saat lamanya. Bagaimana mungkin aku minta ini dan itu mendapati tatapannya yang setajam itu? "Hei, Rin ...." Mas Feri menggoyang lenganku pelan. Kedua matanya menatap manik mataku. "Nggak, Mas. Di sini juga sudah dapat jatah makan," balasku lirih. Mungkin nyaris tak terdengar. Entah mengapa, kedua sudut mataku basah, namun aku berusaha menahan tangis itu agar tidak tumpah. Nelangsa sekali jika mengingat semua perlakuan ibu padaku. Jika omelannya di dalam rumah, hanya aku dan dia yang mendengar mungkin tak terlalu masalah. Namun dia mengomel tak tahu tempat, di mana pun bisa saja mengumpat, benar-benar membuatku malu bahkan takut ke luar rumah. Takut jika ibu kembali mengomeliku di depan orang banyak seperti hari-hari sebelumnya. Orang-orang pikir, aku sombong karena tak mau berbaur. Padahal aku lebih senang menyendiri salah satunya karena takut ibu kembali mengumpat di tempat yang tak sepatutnya. Selain itu, aku merasa tak percaya diri dengan penampilanku di depan orang banyak. Entah lah, aku merasa terlalu berbeda dengan mereka. "Kamu kenapa, Rin? Ada masalah apa?" Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng dengan sedikit senyum. Lebih tepatnya mencoba untuk tersenyum meski sangat terlihat jika ini terlalu dipaksakan. "Dokter bilang, kamu kena radang lambung, Sayang. Kamu makannya jangan sampai telat, ya? Kalaupun nanti di rumah banyak pekerjaan tapi jangan sampai telat makan, nanti bisa fatal kalau keterusan. Jaga diri baik-baik, kamu bilang ingin segera hamil kan?" ucapku lagi sembari tersenyum tipis. Aku hanya mengangguk pelan, bahkan rasanya sudut mataku masih terus berair. Mungkin mendung masih menggantung di wajahku detik ini. Aku tak peduli. "Mau berangkat jam berapa kamu, Fer? Sudah siang ini," ucap ibu yang baru menyelesaikan sarapannya. "Ini juga mau berangkat, Bu," balas Mas Feri kemudian. "Nanti mau pulang dulu karena tak bawa baju buat ke kantor. Ohya Rin, nanti pulang kerja aku balik ke rumah dulu ambil baju ganti kamu sekalian baju kantor biar besok nggak bolik-balik lagi, ya? Biar besok bisa langsung ngantor sekalian mandi dan beberes di sana," ucap Mas Feri lagi. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala sembari menatapnya tanpa kata. Entah sampai kapan aku menyimpan semua beban ini sendirian. Entah sampai kapan pula aku menunggu dia sadar dan mengerti apa yang kurasakan. Beban di hati ini cukup berat, namun aku tak mungkin membeberkannya satu persatu. Dia tak akan percaya jika ibunya sejahat itu padaku. Yang ada aku akan kembali mendapatkan omelannya seperti waktu itu. Bahkan mendapat tuduhannya jika aku ingin menjauhkan dia dengan surganya. "Berangkat dulu, ya, Rin. Cepat sembuh, nanti kuajak jalan-jalan." Mas Feri mencium keningku lalu tersenyum. Mendengar kata jalan-jalan, entah mengapa sudut bibirku melengkung bahagia. Aku bahkan sampai lupa kapan terakhir Mas Feri mengajakku jalan-jalan. Tiap weekend dia hanya tiduran di rumah dengan alasan waktunya mengistirahatkan badan dan pikiran karena capek bekerja. Aku tak ingin menjadi istri yang dzalim, yang memaksa suami untuk menuruti kemauannya di saat dia sedang lelah. Karena itu lah aku memilih diam, kembali dengan kegiatan harian yang begitu monoton dan seolah tak ada habisnya. Apalagi saat sakit begini, Mas Feri pasti sangat capek karena pulang kerja ke rumah sakit untuk menjagaku hingga pagi lalu berangkat lagi untuk bekerja. Semalaman dia hanya tidur di sofa dengan selimut seadanya. Melihatnya pamit dan ke luar dari ruanganku, entah mengapa ada ketakutan sendiri yang saat ini kurasakan. Mungkin lebih baik aku tidur saja, atau pura-pura tidur agar tak mendapatkan omelan ibu. Kupejamkan mata perlahan meski rasanya mata dan pikiran tak bisa diajak kompromi. Tak ada kantuk sedikit pun di sana. "Gara-gara jagain kamu di sini nih, aku nggak bisa rujak-an sama tetangga. Mana kemarin sudah janjian siang ini rujak-an di rumah Bu Salamah," gumam ibu. Mungkin ibu pikir aku sudah terlelap padahal aku masih bisa mendengar dengan jelas omelannya. "Sudah mandul, manja pula!" Deg. Astaghfirullah, teganya ibu bilang begitu padaku. Padahal jelas sudah dua kali aku keguguran. Itu berarti aku nggak mandul, kan? Jika dia mau introspeksi, harusnya dia mengerti jika keguguranku waktu itu bukan tanpa sebab. Namun karena aku terlalu kecapekkan. Semua pekerjaan rumah dia bebankan padaku tanpa mau membantu sedikit pun meski aku sedang hamil muda. Padahal ibu juga tahu kalau aku mual hebat dan lemas, namun tetap saja dia tak peduli. Dia memperlakukanku sama seperti biasanya, menyuruhku ini dan itu tak ada habisnya. Sakit sekali rasanya mengingat itu semua. Saat di hadapan orang-orang dia bilang jika aku tak pandai menjaga buah hati hingga dua kali kehilangan. Dua kali keguguran. Lelah rasanya namun aku masih berusaha untuk sabar karena yakin bahwa semua ini adalah bagian dari takdir Tuhan. Aku pun yakin, sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.¹ Setelah air mata ada senyum bahagia, karena roda kehidupan terus berputar, tak hanya diam di tempat tanpa perubahan. *** Seminggu setelah pulang dari rumah sakit aku pergi ke bank untuk membuat rekening. Penghasilan sebagai marketer dagangan Yasmin sudah lumayan, untuk bertemu kembali dengannya itu tak mungkin karena ibu pasti akan mengikutiku. Aku malas ribut, nanti dia pikir aku kembali pinjam uang seperti tempo hari. Karena itu lah jalan paling aman adalah transfer. Kebetulan besok ada arisan bulanan ibu dan tetangga lainnya, jadi hari ini ibu memintaku belanja ke pasar dengan catatan belanja yang lumayan banyak. Dia juga memintaku untuk mencatat satu persatu harga belanjaan. Takut aku korupsi, katanya. Ini lah kesempatanku mencuri waktu ke bank untuk membuat rekening. Bayangan memiliki penghasilan sendiri membuatku cukup bersemangat hari ini. Setelah semua catatan terceklis aku segera memesan ojek untuk pulang ke rumah. Meski capek, saat ini aku cukup bahagia karena sebentar lagi punya uang sendiri. Aku ingin jualan makanan online. Mas Feri sering memuji masakanku enak, mungkin ini bisa menjadi sumber rejekiku yang lain nantinya. "Assalamu'alaikum." Kuucap salam saat membuka pintu rumah. Ibu masih duduk santai di sofa sembari nonton sinetron favoritnya. Mendengar salam dariku, dia menoleh seketika sambil membalas salam. "Wa'alaikumsalam. Kamu lama banget sih, Rin? Jangan-jangan sekalian jalan-jalan ya? Nggak fokus belanja," tuduh ibu begitu menggebu. "Belanja segini banyak nggak mungkin cuma satu jam, kan, Bu? Butuh waktu," balasku. Kulangkahkan kaki menuju dapur, menata satu persatu belanjaan ke dalam kulkas. "Maaf, Bu. Uang buat beli token listrikku habis buat nambahin belanja ibu ini jadi tolong belikan tokennya ya, Bu. Sudah berisik begitu," ucapku lagi saat ibu memeriksa catatan belanja di atas meja. "Ibu kasih uang 300ribu, sementara ini hampir habis 400ribu. Ojek juga aku bayar sendiri, nggak pakai uang ibu." "Kamu perhitungan banget jadi menantu. Lagipula besok juga gajian. Feri sudah bilang kalau mau kasih jatah sendiri buat kamu selain jatah belanja. Kamu pasti seneng karena drama sakitmu itu berhasil meluluhkan hati Feri," ucap ibu ketus. "Ibu nggak rela kalau Mas Feri kasih jatah lebih buatku?" "Nggak lah. Kamu nggak ngapa-ngapain di rumah kok dikasih jatah lebih. Lebih baik buat bantu keponakannya karena bapaknya kena PHK." Kuucap istighfar lagi dan lagi. Ibu terlihat begitu geram saat menceritakan rencana Mas Feri itu. "Ya sudah kalau memang ibu nggak setuju. Besok aku kembalikan jatah pribadi dan jatah belanja dari Mas Feri buat ibu. Biar tensi ibu nggak naik lagi. Makin capek nanti aku ngurusin ibu juga," ucapku sekenanya. Kulihat kedua mata ibu melotot lebar. Sepertinya sangat kaget mendengar ucapanku barusan. Jujur saja, baru kali ini aku berani menjawab selancar itu padanya. Aku sudah memiliki penghasilan sendiri sekarang, aku nggak mau diinjak-injak terus-terusan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD