Chapter 1 - Impian yang Hancur (1)
= Dini hari, di salah satu jalan bebas hambatan. Kota NY. Amerika =
Suara dentuman itu memekakkan telinga. Benturan dan decitan dari besi yang bergesekan dengan jalanan memberikan sensasi ngilu bagi yang mendengarnya. Tidak ada yang tahan. Tidak ada yang sanggup bereaksi ketika tubrukan itu terjadi. Kejadian itu sangat cepat, tanpa seorang pun menyadarinya.
Tabrakan luar biasa itu terjadi tengah malam, saat jalanan kosong melompong.
Ketika situasi kembali senyap, hanyalah suara deru air hujan turun dari langit membasahi bumi. Siramannya membersihkan debu-debu dan juga kepulan asap serta api yang muncul dari rongsokan besi yang terbakar. Setelah beberapa saat, terdengar erangan dan gerakan pelan dari salah satu sisa mobil yang terbalik.
"Uh..."
Pandangannya kabur. Kepalanya pusing. Otaknya kosong dan seluruh tubuhnya sakit.
Merangkak keluar dari beban yang menghimpitnya, ia berteriak keras saat merasakan kesakitan yang tidak tertahankan dari kedua kakinya. Rasa sakit yang membuatnya akhirnya terlentang di jalanan beraspal.
Menatap ke langit-langit, mata dan mulutnya terbuka. Air hujan terasa menampar wajahnya yang kini kebas.
Kesadarannya makin lama makin menipis.
Sebelum kegelapan menghampirinya, sebaris kalimat keluar dari mulutnya, "Apa... aku akan mati...?"
***
= Flashback sekitar seminggu yang lalu. Rumah keluarga Kennedy =
Suara pecahan kaca terdengar nyaring di ruangan itu, yang diikuti jeritan melengking dan histeris seseorang.
"Hey! Ada apa ini!?"
"Dad!"
Seorang gadis berwajah cantik segera memeluk pria yang baru masuk itu. Pria berusia awal 50 tahunan.
Bahu gadis itu naik-turun saat ia tersedu-sedu di pelukan ayahnya yang terlihat melindunginya.
Raut pria baya itu gelap saat pandangannya terangkat dan terarah pada orang lain yang berdiri di sana. Gadis lain yang penampilannya 180 derajat berbeda jauh dari seseorang yang saat ini sedang dipeluknya.
Gadis yang berusia lebih muda itu tampak berpenampilan lebih dewasa. Rambutnya dicat pirang platinum dengan riasan mata yang cukup tebal. Wajahnya terlihat sangat cantik sekaligus liar.
"Kau! Apa lagi yang kau lakukan sekarang, huh!?"
"Dia mencuri dariku, dad! Orang itu pencuri!!"
Dahi pria itu berkerut bingung, "Mencuri? Mencuri apa-"
"BOHONG!! Daddy, aku tidak mencuri apapun!"
Kegeraman amat sangat mulai muncul di wajah gadis berambut platinum itu. Mata birunya menyala terang.
"Kau... Kau... masih berani-beraninya berbohong!?"
Penuh kemarahan, gadis itu melemparkan map cukup tebal ke arah punggung gadis di depannya. Saat jatuh ke lantai, berserakan banyak lembaran kertas dan juga foto-foto.
"Apa... ini?"
Berusaha mengatur emosinya, gadis itu menunjuk ke lantai.
"Dia mencuri design-ku, daddy! Kau sendiri tahu, aku telah mengajukannya padamu beberapa hari yang lalu! Tiba-tiba saja design ini sudah dia upload di akun sosmed-nya! Dia juga ternyata sudah deal dengan beberapa vendor dan perusahaan lain untuk kerja sama! Dia telah MENCURI design itu dari kamar-ku, dad!!"
Air mata kemarahan dan juga kecewa mulai mengaliri wajah gadis itu.
"Kau tahu sendiri, aku sudah kerja keras untuk membuat project ini berhasil, dad! Aku BUTUH project ini!"
Ruangan itu hening beberapa saat. Hanyalah deru nafas dan isakan pelan yang terdengar. Gadis di pelukan ayahnya itu makin mengkerut meminta perlindungan.
Raut gadis berambut platinum itu yang tadinya penuh kemarahan, mulai berkerut dan terlihat memohon. Ia tampak memohon pada ayahnya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Daddy... Please... Tolong tarik design itu dari vendor... Please... Aku butuh ini untuk-"
"Stop, Kara. Kau BELUM membutuhkannya."
Tangisan Kara langsung terhenti. Tampangnya sangat shock, "Dad...?"
Mengelus kepala anak tertuanya, pria baya itu berkata rendah, "Kau tidak butuh design itu sekarang. Tapi Chrissy yang lebih butuh. Kau tahu kalau kakak-mu sedang pendekatan dengan keluarga Krieger, kan?"
Sejenak, Kara terdiam dan terlihat kebingungan di wajahnya.
"Keluarga Krieger? Apa hubungannya-"
"Sudahlah! Kau tidak akan paham sekarang! Kau itu masih kecil, masih ingusan!"
Kata-kata itu membuat rasa shock Kara dengan cepat berubah menjadi kemarahan lagi.
"Ini bukan masalah aku masih kecil atau tidak, dad! Aku sudah 18 tahun! Design itu akan aku gunakan tidak hanya untuk job-ku, tapi juga jalan masukku ke universitas, daddy! Kau tahu aku sedang berusaha masuk ke universitas lewat jalur prestasi! Bagaimana kau bisa membela seorang pencuri seperti ini yang telah-"
Kalimat itu tidak penah selesai.
Tubuh Kara terdorong ke tembok dengan cukup keras. Nafasnya terengah dan ia bisa merasakan panas serta rasa sakit mulai menjalar di salah satu pipinya yang memerah.
Ayahnya telah menempelengnya.
Mata Kara nanar saat menatap pria baya di depannya yang balas memandanginya bengis.
"Pekerjaan? Apa yang kau maksud berpakaian minim di sosial media dan menjajakan tubuhmu itu kau bilang pekerjaan!? Jalur prestasi apa!? Kau tidak punya prestasi apapun selain pembuat masalah dan aib keluarga!"
Suara Kara bergetar saat ia berusaha menjawab, "Aib keluarga? Dad... Aku-"
"Jangan sekali-kali kau berlaku kurang ajar di rumah ini, Kara! Kau harus ingat, kau ada di sini karena ibumu! Kalau tidak ingat jasa wanita itu dulu, sudah sejak awal aku menendangmu ke jalanan! Selama ini kau hanya beban bagi keluarga Kennedy! Perilakumu sudah tidak bisa aku tolerir lagi!"
Setetes air turun dari salah satu kelopak mata Kara. Gadis itu menelan ludah dan tubuhnya gemetar.
"Dad... Apa maksud, daddy? Aku tidak pernah memintamu membawaku ke rumah ini. Mom juga tidak-"
"Mommy-mu itu w************n! Sama seperti kau sekarang! Kau tahu berapa orang telah menidurinya dulu? Aku bahkan tidak yakin kau itu berasal dari benihku! Apalagi dengan kelakuanmu yang liar selama ini! Ibumu memintaku membawamu ke sini, ke rumah ini, karena tahu dia akan mati! Aku yakin, penyakitnya itu pasti berkaitan dengan kehidupan liarnya dulu yang seperti p*lacur!"
"Jangan kau sebut ibuku seorang p*lacur!! Dia bukan w************n! Mom hanya tidak beruntung karena bertemu dengan b*jingan seperti kau ini!!"
"DIAMMM!!!" Kembali ayahnya menamparnya di tempat yang sama.
Tubuh Kara beringsut ke sudut tembok. Tangannya memegangi pipinya yang mulai membengkak.
Betapa ingin dia membalas pukulan lelaki yang dibencinya ini. Betapa ingin ia menyakiti pria yang telah sering menyakiti ibunya ini. Pria br*ngsek yang telah menghamili ibunya dan meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Pria yang telah membuat nama baik ibunya hancur di kampung halamannya.
Sebaliknya, ia juga sangat marah pada dirinya sendiri yang tidak mampu membalas pria yang telah menghina ibunya. Apapun perkataan yang keluar dari mulutnya akan dapat digunakan untuk menyerangnya.
Ia masih butuh tempat tinggal. Dia masih BUTUH UANG dari ayahnya.
Menyadari posisinya yang lemah, kepala Kara menunduk dengan mata nanar menatap lantai.
Mendengus, lelaki itu merangkul anak sulungnya dan memandang penuh kebencian pada anaknya yang lain.
Pria itu kembali mengucapkan kata-kata yang menyakitkan pada darah dagingnya sendiri.
"Bagus kalau kau sadar, Kara! Kau tinggal di rumah ini hanya sementara. Segera setelah ibumu mati, kau juga harus pergi dari tempat ini! Jangan datang lagi ke rumah ini! Keluarga Kennedy hanya punya satu keturunan! Meski ibumu menyematkan nama Kennedy padamu, aku tidak pernah mengakunya. Negara tidak pernah mengakuinya! Itu hanya angan-angan ibumu sebelum dia menemui ajalnya. Tanamkan itu di otakmu!"
Lama setelah ayahnya pergi, kepala Kara masih tertunduk. Air matanya mulai mengering.
Sejak datang ke rumah ini, ayahnya telah beberapa kali menyakitinya tapi baru kali ini, pria itu melukainya secara fisik. Pria itu benar-benar memukulnya karena membela anak pertamanya.
Tidak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar, Chrissy Kennedy akan selalu menjadi prioritas ayahnya.
Untuk pertama kalinya sejak menginjak rumah Kennedy, Kara akhirnya sadar, ia tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga ini. Benar kata pria itu tadi, itu hanyalah impian omong kosong ibunya saja.
Rasa marah dan juga kecewa terasa mulai membakar hati gadis 18 tahun itu.
Bangkit berdiri, gadis itu lari ke kamarnya sendiri dan langsung membanting pintunya kencang.
Dari dalam kamar, terdengar teriakan penuh frustasi, kemarahan dan juga kesedihan. Hanyalah para pelayan di rumah itu yang saling berpandangan, menjadi saksi bisu dan memandangi kasihan dari kejauhan.
Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang anak, telah dilahirkan dan hidup di dunia tapi tidak diakui oleh orangtuanya sendiri. Karena anak tidak bisa memilih.
Seorang anak tidak bisa memilih untuk TIDAK dilahirkan.