[18] 010010: Bunga Abu-abu

1401 Words
Aku memasuki kelas Fisika Elektronik pada rabu pagi itu. Sepi. Lebih tepat lagi jika aku katakan tidak ada kehidupan, karena kelas itu kosong. “Sepertinya libur minggu lalu membuat mereka ogah datang pagi,” komentarku datar. Dan aku melihat kelas akan dimulai dalam 10 menit lagi. Aku berjalan menuju salah satu kursi paling depan di kelas itu. “Bahkan untuk yang rajin seperti-” “Assalamu’alaikum,” suara Latifah memotong kalimatku. “Wa’alaikumussalam,” sapaku balik. Aku menoleh balik ke arah sumber suara, Latifah, yang baru masuk ke kelas. Zahra tidak bersamanya. “Tidak bersama Zahra pagi ini?” tanya ku tanpa ekspresi. Latifah tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku. “Umm ... dia tidak menjawab teleponku. Aku ke tempat dia ju-,” kalimat Latifah terpotong, dan dia mengambil ponselnya. “Assalamu’alaikum.” “Oke, Zahra, aku sudah di kampus. Kamu buruan ya, sudah mau jam kelas.” “Hati-hati Zah.” Latifah tertawa kikuk, “Dia ketiduran ternyata. Pantes aku telepon gak ngangkat.” Ekspresinya berubah menjadi sedikit lebih cerah. “Asal dia bisa datang dalam 9 menit sisa waktu yang ada,” komentarku seraya menunjuk ke arah jam digital di belakang kelas. Angka 07:51 tertulis jelas di jam tersebut. “Zahra dekat kampus kok, Sar,” balas Latifah. Aku hanya menganggukkan kepalaku. “RSVP sudah aku kirimkan subuh tadi,” komentarku tanpa ekspresi, seraya kembali duduk di kursi ku. “RSVP?” balasnya bingung. “Konfirmasi jadwal mentoring kamu dan Zahra,” jawabku datar. “Ah iya, aku lupa. Maaf maaf. Aku cek segera,” balas Latifah dengan antusias. Aku tidak mendengar kalimat dari Latifah lagi, dan hanya gerakan kakinya yang mencari tempat duduk. Lagipula, aku tidak peduli dia duduk dimana, novelku lebih menyenangkan daripada mengurusi orang seperti dia. Kelas Fisika Listrik, dapat di setarakan dengan kelas Fisika II di jurusan teknik lainnya, membahas tentang fisika yang berkaitan dengan listrik seperti namanya. Banyak melibatkan hukum seperti Coulumb dan Ohm, serta perhitungan matematis untuk perkara fisika listrik. Dosen pengajarnya ditunjuk dari Jurusan Fisika, sehingga kemungkinan kami hanya akan bertemu dalam satu semester ini. “Sekian untuk kelas hari ini. Jangan lupa tugasnya dikumpulkan pekan depan. Saya harap pekan depan tidak telat lagi,” ucap sang dosen mengakhiri kelas Fisika Listrik. Satu hal yang mengganggu, beliau tidak merasa bersalah absen pekan kemarin, atau setidaknya yang aku lihat selama kelas. Waktu di dinding, saat aku menoleh sekilas, menunjukkan angka 08:59. Beliau hanya membuang satu jam saja dari jatah semestinya yang berisi 3 sks. Setelah dosen itu keluar kelas, mulai desas-desus para mahasiswa yang membalas kesal kepada dosen tersebut. Yang aku ketahui, sudah biasa untuk ada cekcok antara dosen dan mahasiswa di belakang masing-masing. Namun, melihat langsung itu tentu berbeda dengan mendengar katanya dan katanya. Selain terkait dosen, tentunya juga aku akan dibisikkan mereka di belakangku. Jika aku ingin sarkastis, aku bisa berlagak kalau aku terkejut mendengar bisikan mereka. Sayangnya, hal seperti itu tidak menarik. “Aku sudah terima apa itu namanya ... RPSS? Sudah aku konfirmasi,” komentar Zahra yang datang ke mejaku bersama Latifah. Aku memutar bola mataku malas mendengar dia salah mengucapkan RSVP. “RSVP,” komentarku datar, “dan makasih. Besok kita sesuai waktu,” jawabku datar. Mereka memberikan anggukan kepala mereka. Sebuah pesan masuk ke ponselku. [Fatimah]: Kita bicara di kantin pusat. [Fatimah]: Sebaiknya sekarang. [Assar]: Ok. “Sepertinya aku ada yang harus diurus dulu. Kita bicara lagi sewaktu kelas Etika Profesional ya,” ucapku kepada mereka. Zahra tampak menaikkan sebelah alisnya, sementara Latifah menganggukkan kepalanya. “Sampai nanti, Assalamu’alaikum Assar,” ucap Latifah. “Wa’alaikumussalam,” jawabku datar sebelum meninggalkan mereka. “Aku tidak mengira kamu datang,” komentar Fatimah pelan kala kami bertemu di gazebo area kantin pusat. “Toh, ada benda milikmu yang aku pegang, dan kita ada deal,” jawabku tanpa ekspresi. “Apa tidak cukup kamu bermasalah di jurusan akibat perkara dengan si cantik Latifah?” tanya Fatimah, nadanya terdapat racun tipis yang dia tutupi sebisa mungkin, namun jelas aku tangkap. Mendengar kalimat itu seperti melihat bayangan yang sangat kontras dengan apa yang sebelumnya aku kenal tentang Fatimah. Aku mengamati ke sekeliling, memastikan tidak ada anak dari jurusan kami yang mengawasi. Setidaknya, aku rasa cukup aman untuk membawa semua percakapan utama kami. Tidak ada wajah familiar. “Itu juga bukan keinginanku, Latifah dan Zahra membawaku pada predicament itu, kalau aku jujur,” komentarku datar, “tapi itu bukan inti percakapan kita.” Fatimah menganggukkan kepalanya. Aku mengeluarkan cincin itu dari saku milikku, dan menggenggamnya. “Kamu tahu sendiri benda ini adalah aslinya ‘kan? Aku ingin tahu, informasi apa yang aku dapatkan dengan mengembalikannya?” tanyaku datar. Untuk sekali ini, aku benar-benar merasa perlu untuk mengambil kendali. Tidak ada lagi emosi lemah dan dipermainkan seperti dengan Latifah. Aku akan memastikan situasi kali ini benar-benar advantageous. “Aku mengira kamu anak ansos yang malas berkomunikasi, Assar,” komentar Fatimah dibalik cadar yang dia kenakan. Aku hanya melukiskan senyuman tipis sebelum kembali menetralkan wajahku. “Oh, aku berkomunikasi dengan keuntungan sebagai pertimbangan,” balasku datar. Seperti konsep perdagangan, komunikasi bagiku sangat memperhitungkan keuntungan dari komunikasi tersebut. “Oke. Kamu tahu cukup banyak bahwa tampilan di kampus ini tidak sepenuhnya diriku toh?” tanya Fatimah. Aku menganggukkan kepala. Aku orang yang menjaga kecurigaan pada derajat tertentu, dan masa lalu cukup mengajarkan perlunya kecurigaan dan ketidakpercayaan. Lagipula, dua kali melihat Fatimah dengan pakaian terbuka tentu memberikan impression yang jauh berbeda dengan penampilan tertutupnya di kampus. “Kamu tahu apa jawaban yang aku pinta sebagai bayaran cincinmu kembali,” jawabku datar. Tentunya, aku hanya menguji Fatimah, karena aku yakin dia tahu dari percakapan kami lewat chat kemarin. “Informasi tentang kehidupanku,” jawab Fatimah, matanya menatap tajam kepadaku. Aku melukiskan senyuman kemenangan. “Bingo. Not just any information, but something related to our two encounters. Jadi, kapan aku bisa mendapatkannya?” tanyaku dengan santai. Fatimah tampak bimbang. Dia terlihat memikirkan jawaban selanjutnya. “Beri aku waktu,” jawab Fatimah pada akhirnya. Dia sepertinya sudah pasrah. “Oh, mungkin sampai akhir pekan ini ya. Ini lumayan kalau dijual,” balasku memancing dengan ancaman. Aku akan terus mencoba mengambil advantage, dan aku tahu bahwa terlalu lama dia bisa membuat kebohongan yang kompleks. “Kamu tidak-” Aku meletakkan jariku di depan mulutnya yang tertutupi cadar diikuti dengan isyarat mulut untuk dia diam. Dia tampak sedikit terkejut. “Kamu tahu aku baca satu novel sampai aku apatis ‘kan?” tanyaku santai. Dia menganggukkan kepala. Aku yakin soal hobi membaca novelku lumayan diketahui oleh mereka yang sekelas denganku. “Jangan anggap aku tidak tega berbuat ekstrem ya. Aku memutuskan, masa kuliah ini, aku akan melakukan sesuai aku ingin lakukan. Jadi, waktumu terbatas, Fatimah. Aku punya jaringanku untuk memastikan benda ini terjual,” jawabku dengan senyuman sinis. Sirat mata Fatimah mengisyaratkan pucat pasi. “Kita bicara lagi setelah Etprof di sini. Kelas sudah mau dimulai,” komentarku lagi seraya keluar dari gazebo kecil itu. Dengan senyuman mengejek, aku menawarkan tanganku. “Tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri,” balas Fatimah dingin, namun matanya menunjukkan amarah. Aku meletakkan tanganku ke bawah sebelum tertawa kecil. Ini menyenangkan. Sekali-kali, aku punya upper-hand dalam pertarungan. “Sampai jumpa di kelas. Aku duluan. Tidak ingin rumor menyebar di jurusan kita sendiri ‘kan?” balasku datar. Fatimah hanya menganggukkan kepalanya. Wanita itu pasti sadar image yang dia bangun akan dalam bahaya jika aku bersamanya. “Wah, kirain telat bro,” komentar Ismail kala aku datang di kelas Etika Profesional, dua menit sebelum kelas dimulai. Prof belum menampilkan diri beliau, sehingga ku rasa masih bisa dikatakan sangat tepat waktu untuk kehadiranku. “Masih awal semester, masa sudah telat,” komentarku santai. Dia terkekeh kecil. Aku mengambil tempat duduk baris belakang kali ini. Dua menit kemudian, Fatimah memasuki ruangan, namun Prof Ayyubi tidak terlihat sedikit pun. Wanita itu mengambil tempat duduk tepat di sampingku, lebih karena tempat lain sudah terisi oleh mahasiswa, sehingga tidak ada pilihan bagi wanita itu. Tidak ada interaksi di antara kami, dan aku ingin tidak ada interaksi yang tidak perlu hingga waktu kesepakatan tiba. Ismail yang duduk di sampingku meminta untuk bertukar tempat, dan aku kabulkan. Lagipula, tidak perlu seorang jenius untuk memahami Ismail. “Assalamu’alaikum,” suara Prof Ayyubi memasuki ruangan menghentikan keramaian para mahasiswa, dan semua terfokus pada Profesor tersebut. “Silakan dikumpulkan data kelompoknya dalam lima menit ya, baru kita mulai kelasnya.” Latifah berdiri dan membawakan data kelompok kami ke Prof Ayyubi. “Baiklah. Kita mulai kuliah Etika Profesional.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD