Drama

1639 Words
Yura terkikik di belakang Bhanu dan Dharma yang gigit jari ketika Ben menjemput Cecil di kelasnya. Seharian ini adalah hari pertama mereka bertiga tidak berinteraksi. Tidak berbicara bukan karena sibuk ada tugas, bahkan jika ada tugas malah ketiganya akan berkumpul untuk membahasnya. Kalau kali ini berbeda, kali ini karena Cecil seperti dimonopoli oleh Ben. Cowok itu tidak berhenti menempeli kemana Cecil pergi dan akan selalu menjemput bahkan istirahat kedua dan pulang sekolah. Bhanu dan Dharma sama-sama mengeluh jengkel. Merasa kehilangan, namun Bhanu lebih ikhlas menerima jika memang suatu hari Cecil akan dikukung pergerakannya oleh si pacar. Tidak dengan Dharma, sahabat Cecil sejak SMP itu. “Nu, lo pulang apa mau ngelayap?” kata Dharma. “Pulang ah, omong-omong Cecil belum laporan apa-apa ya?” tanya Bhanu ke Dharma menggeleng. “Tumben dia nggak cerita-cerita. Hpnya disabotase Ben apa gimana nih?”ujar Bhanu. “Tunggguin aja deh, mungkin kak Ben emang lagi seru banget buat dia sekarang.” Bhanu dan Dharma langsung menoleh Yura, “Bukan berarti kalian nggak seru lagi, tapi dia lagi kasmaran juga, guys. Please, don’t be so jealous.” Dharma berdeham, “Gue balik ya, tunggu sampai 3 hari kalo Cecil ingetnya Ben mulu, baru kita labrak.” “Asyik, labrak-labrak. Labrak Cecil, kan?” kata Bhanu kegirangan. “Ben.” “WOYYYYY!!” pekik keduanya, sukar percaya. Mau melabrak Ben itu sama seperti masuk kandang singa terus keluar malah kejeblos ke kolam penuh buaya alias nggak ada jalan keluar, nggak ada jalan damai, cari perkara. “Dharma, istigfar Dharma.” Kata Bhanu. “Astagfiru… eh, gue Buddha!” “Oh iya, lupa.” Celetuk Bhanu. Yura tertawa miris dengan ulah kedua sahabat beda agama ini. Memanglah pengaruh mayoritas itu sangat berdampak. Kata-kata ucapan yang biasa digunakan umat islam saja bisa secara spontan diucapkan oleh umat agama lain. Sebab, sudah sangat melekat dan menjadi napas bagi seluruh masyarakat khususnya di Indonesia. Realitanya begitu.                                                                                           … Lusa harinya, Bhanu dan Dharma pergi ke laboratorium kimia sambil membawa tumpukan buku tulis dan modul praktikum yang mereka kolektif tadi pagi. Bu Ayana, guru kimia kelas Bhanu, meminta keduanya untuk membantunya membawa buku-buku itu ke laboratorium agar bisa beliau koreksi nantinya. Kebetulan jam istirahat sudah berbunyi, keduanya langsung pergi ke kantin untuk mengisi perut keroncongan mereka. Keroncongan sebab dihajar oleh rumus-rumus reaksi dan persamaan kimia. Hilang sudah nasi goreng buatan mama Bhanu yang mereka makan bersama tadi pagi sebelum pelajaran di mulai. Hilang berubah menjadi energi sekaligus peluh berkat berpikir terlalu keras. Setelah menemukan kursi, Bhanu dan Dharma makan bersama dalam diam. Sesekali berbicara mengenai film-film monster koleksi Bhanu dan mainan gundam yang Dharma ingin beli namun uang tabungannya selalu terpakai untuk membeli hal-hal lain. Tiba-tiba Cecil muncul dan duduk bersama mereka. “Hai.” Sapanya ceria. “Excuse me, who is she?” kata Bhanu ke Dharma. “I don’t know, bisa diusir aja nggak sih?” balasnya. “You can’t sit with us.” Cebik Bhanu, menatap tajam dan sangat sengak itu. “This is me, Cecil. Please, don’t playing your drama, Bhanu.” Sindir Cecil. Dharma berdeham, “How can she know your name, Bhanu? I even didn’t call you.” Menambahi bumbu drama Bhanu. Cecil mendesih, “Guys, what’s wrong with you?” “Seems like someone got dumped by his boyfriend soon-to-be.” Bhanu dan Dharma tertawa. Cecil mengerang kesal, “You know what? You suck.” “Us? Not you? Where have you been yesterday? These two days? Tanpa kabar atau cerita apapun? Hp lo kemana? Tukeran hp lo sama dia?” cecar Dharma menuntut jawaban. Bhanu kini memilih mundur saja. Dharma yang biasanya tenang mendadak cerewet. Oh, orang yang pembawaan menenangkan itu justru lebih menakutkan. Sebab, mereka sangat menganyutkan. Nampak dari luar itu tenang, namun dalam hatinya terdapat aliran air sangat deras, sama derasnya dengan air terjun di gunung paling tinggi dan jatuh menghamtam batu-batu besar yang kian hari kian terkikis air itu. Menakutkan. Bhanu tersentak ketika Dharma mencecar Cecil dengan gemuruh amarah dalam diamnya itu, tak mampu membalas sedikitpun pertanyaan Dharma. “I ask you, where have you been?” dengan nadanya yang masih tenang namun rendah, terdengar menuntut apalagi jeda di setiap kata yang ia ucap. “You even didn’t text or call us, not just like you used to be.” Dharma memuntahkan pertanyaannya. “Is he good to you?” “Yes.” Dharma diam tak bergeming. Betah dengan wajah poker face-nya itu. Lalu kembali melahap makanannya. Bhanu merasakan tensi yang menegangkan ketika Cecil terus menatap Dharma yang acuh akan keberadaannya duduk di situ. Bhanu juga melihat Dharma sesekali melirik Cecil yang nampak tidak terima dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan Dharma yang begitu menekannya. Padahal tinggal dijawab apa susahnya sebab Dharma dalam diamnya masih menunggu. Bhanu tidak bisa berhenti melirik Dharma lalu Cecil bergantian hingga kerupuk ketiganya habis juga belum ada yang ingin bersuara. Hanya ada suara kerupuk dan dentingan sendok Dharma mewarnai adu tatap yang dingin siang ini. “Lo pada kenapa sih? Kok nggak suka gue pedekate sama cowok?” “Suka sih. Tapi, lo nggak harus menjauh dari kita, Cecil. Maksud Dharma begitu. Don’t get him wrong.” Jelas Bhanu, ia tak ingin ada kesalahpahaman meskipun hatinya juga ikut risih dan tak nyaman karena ketiadaan Cecil akhir-akhir ini di antara mereka, apa perasaan ini bisa dibenarkan?, dalam hati Bhanu kebingungan. “Lo kemana aja dan ngapain sama kak Ben sampai susah banget buat ngehubungin kita? Bahkan sekadar ngobrol aja, loh.” “Ck, kenapa kalian bikin ribet? Nggak usah terlalu mendrama dong, teman-teman. Kita itu temenan chill banget, loh, padahal. Gue cuma …” kata-kata cewek itu terhenti. “Cuma lagi kasmaran, iya?” sela Dharma dengan tenangnya. Oh, demi apapun Bhanu rasanya ingin menjambak rambutnya sendiri, gemas dengan Dharma yang begitu tenang tetapi terdengar sangat menusuk.  Bhanu menghela napas, ia mengatur kata-katanya agar tidak terlihat seperti kompor yang memanaskan adu pendapat kali ini. “Lo kalo kasmaran itu nggak apa-apa, Cecil. Semua orang berhak suka, kan? Lo nggak perlu berlagak overreacted pas Dharma juga lupa nemenin lo ke kantin dan memilih bantu anak jurnalistik kayak kemarin. Dan, sekarang juga lo nggak perlu…”  “Oh, lo mau bales dendam sama gue, Ma?” potong Cecil justru membelokkan maksud Bhanu, ia memperkeruh kata-kata Bhanu. Padahal Bhanu hanya ingin menasehati saja tetapi malah timbul salah paham. “No, enggak lah. Buat apa gue balas dendam. Sepanjang hidup gue, gue berjanji untuk banyakin karma-karma baik ketimbang karma buruk. Karena karma baik dibalas karma baik juga, meskipun nggak pasti selalu baik tapi itu prinsip hidup gue. Lo jangan mikir sampai segitu jauhnya, Cil. Gue nggak sehina itu balas lo yang ngambek karena siklus bulanan cewek. Gue bisa ngertiin lo lebih dari siapapun.” Bhanu berkedip saat Dharma berkilah hal panjang lebar itu. “Cil, maksud kita itu…” Bhanu mencoba memposisikan dirinya sebagai penengah, lagi. Meskipun kurang membuahkan hasil. “Wow, makasih ya sudah bisa ngertiin gue yang PMS waktu itu. Tapi, kalo lo bilang bisa memahami gue harusnya lo paham dong keadaan gue saat ini seperti apa. Kak Ben itu nggak ngebiarin gue kedip sedikitpun ke kalian.” Bentaknya. Dharma semakin culas melirik Cecil. Bhanu memegang tangan Cecil agar cewek itu sedikit lebih terkendali, “Eh, Cil. Maksud kita tuh…” “Lo pada nggak suka ya gue punya cowok? Bilang!” “Woiiiiii!!!” sergah Bhanu, jengkel. Sama sekali tidak digubris padahal dia ingin melunak. “Dengerin gue, anjir! Lo ribut berdua, gue masukin gudang sekolah ya?!” ancamnya, sebal. “Dengerin dulu, Cil. Maksudnya kita tuh lo terserah dah mau keluar sama kak Ben, kita mah bodoh amat ya. Soalnya udah denger dari orang-orang kalo kak Ben itu baik. Lo juga bisa jaga diri, kita percaya kalo lo nggak akan membiarkan orang berbuat jahat sama lo. Tapi… lo nggak perlu ngilang dari kita juga. Kita ini temen.” Cecil tertegun dan Dharma membuang muka dengan rahang bahkan leher sudah menegang. “Kita cowok-cowok udah biasa ngeliat temen cowok lain pasti maunya 24/7 sama cewek yang dia taksir. Tapi, loyalitas kita ke temen nggak pernah diragukan juga, Cecil. Lo jangan sampai lupa sama temen meskipun punya pacar.” “Gue belum pacaran.” “Tapi lo suka.” Tuduh Dharma. “Enggak.” Kata Cecil. “Gue cuma bilang dia baik. Udah gitu doang. Apa yang bisa dilakukan seseorang yang baru pedekate dua hari? Hei, kalian sadar dong?” “Oh, jangan tanya gue. Gue belum pernah pedekate sih.” Bhanu enteng mengundang rasa jengkel lawan bicaranya. “Tapi, zodiak kalian…” Dharma membekap mulut Bhanu itu. “Kenapa zodiaknya?” “Nggak, nggak apa-apa.” sahutnya. “Sorry, kita overreacted kalo menurut lo. Gue cabut, mau ke anak-anak radio dulu.” Cowok itu bangkit dan meninggalkan Bhanu beserta Cecil yang melongo. Kaget dengan gelagat aneh Dharma yang tak biasa itu. “Nu, kenapa sih?” “Masih sama persis yang gue bilang, Cecil. Jangan pernah tinggalin teman hanya untuk seorang cowok. Meskipun kalian lagi kasmaran, tetapi kita ini juga temen lo. Kalo lo terbebani dengan ungkapan perasaan kami ini, gue juga minta maaf. Sorry, kedekatan pertemanan kita harus dikasih bumbu berantem karena kita nggak mau lo terlalu jatuh dan dimonopoli sama cowok. Kita nggak mau lo terlalu jatuh disakiti karna terlalu terpesona sama dia. Gue sadar, gue dan Dharma cuma teman. Kita harusnya ngedukung lo yang mau pendekatan sama Ben. Tapi, kalo lo pergi dan nyuekin kita, emangnya lo mau dicuekin juga sama seperti Dharma yang nggak sengaja mengabaikan lo waktu itu, lagi?” “Gue masih punya lo, setidaknya.” “Kita bertiga, selamanya akan bertiga. Gue mau lo ngobrol baik-baik sama Dharma. Dia agak terpukul. Gue merasanya begitu.” “Jangan ngaco.” He maybe likes you, Cecil, kata Bhanu dalam hati. Sebuah spekulasi tentang keduanya yang hanya Bhanu saja yang mengamati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD