Kehendak

1348 Words
Sepulang sekolah, Dharma langsung berpamitan ingin kumpul ekskul. Ketika Bhanu berlari dengan cepat hendak menjemput Cecil, nyatanya cewek itu lagi-lagi lebih dulu dijemput lebih dulu oleh Ben. Telat terus, selalu telat. Apalagi Dharma dengan suasana hatinya yang buruk gara-gara pertengkaran adu mulut dengan Cecil di kantin tadi membuatnya lebih banyak diam. Tak menggubris perkataan Dharma. Membantu Bhanu dalam membaca seadanya. Cowok itu tampak grusak-grusuk dengan buku-buku. Sedikit-sedikit mengdengus keras dan rahangnya juga nampak mengeras. Bhanu tak mengira jika akan berada di antara pertengkaran aneh ini. Bhanu mengira Dharma itu menyukai Cecil tapi apakah asumsinya benar? Maksud Bhanu, mengapa kedua orang itu selalu bereaksi berlebihan? Apakah karena cemburu sebatas teman atau ada perasaan lebih? Bhanu mengakui dirinya yang begitu dangkal memahami perasaan-perasaan orang-orang di sekitarnya. Hanya saja, dia selalu merasa ada yang tidak benar di sini. Ia ingin mengembalikan dan mempertemukan keduanya. Agar ketigaan bisa kembali tertawa bersama tanpa ada keributan. Bhanu juga sadar, jika dia bukanlah Dharma yang begitu tenang hingga mampu mendamaikan keributan separah apapun. Dan, dia juga sama kerasnya dengan Cecil. Apapun argumennya bisa dibalas, begitupun sebaliknya. Saling beradu argument bisa-bisa niatnya ingin mendamaikan malah memperkeruh keadaan, sama-sama menyebalkan. Bhanu berdiam diri sambil menatap punggung Cecil dengan mengembuskan napas kerasnya. Menggaruk kepala kebingungan. Rasanya lebih menakutkan ketika berada dalam situasi genting ini. Bhanu menyayangi sahabat-sahabatnya. Dia hanya berharap, mereka tidak terlalu lama bertengkar. Sebab, dia sendiri juga bingung bagaimana menempatkan diri menjadi sosok netral dan dewasa sedangkan dalam egonya, dia tahu Cecil seolah perlahan meninggalkan teman-temannya. Serba salah dan bingung. “Bhanu, lo nggak apa-apa?” Yura menepuk punggung Bhanu yang nampak gusar itu. Cewek itu lalu mengulurkan coklat dan hanya dihadiahi tatapan tanya Bhanu. “Makan coklatnya, biar mendingan.” Bhanu mengambil dan memotongnya menjadi 2, membaginya agar mereka bisa makan bersama-sama. “Thanks, Bhanu.” Sahut Yura ketika diberi balik oleh Bhanu. “Emang cinta-cintaan tuh bikin runyam ya?” “Emang. Tapi, yang lagi menimpa lo ini adalah ego aja sih. Lo paham, kan? Desire?” “Enggak.” Katanya ketus. Yura menyadari posisinya sedang berada di tempat yang tidak bisa diterima oleh Bhanu. Cowok itu mungkin sedang ingin menutup telinganya dari serangkaian kalimat positif apapun. Membiarkan amarah menguasainya sebab begitulah manusia. Yura paham akan hal itu. “Oke, lo pulang hati-hati ya?” ia hendak berpamitan pergi. “Gue harap kalian jangan sampai marahan gara-gara gue waktu itu yang mencocokkan zodiak mereka berdua. Ada hal lain yang menjadi faktor ketidakcocokan lainnya yang bisa bikin mereka memutuskan untuk nggak saling suka.” “Kalo zodiaknya aja begitu dan bisa kita konfirmasi perilaku mereka, pasti udah bener, kan?” “Iya, tapi kalo intuisi seseorang mengatakan tidak dalam hal-hal yang berada di sekelilingnya, maka jadinya akan tidak. Kuncinya kehendak.” Bhanu menatap cewek itu kembali bingung. “Kalo Cecil berkehendak mau jatuh cinta sama Ben, maka Ben orangnya. Kalo dia berkehendak untuk terpaksa jatuh cinta, maka dia akan menderita untuk beberapa saat. Kalo dia berkehendak untuk menolak Ben dan kembali dengan kalian, ya silahkan dihargai.” Katanya. “Bhanu, ini sama aja kayak yang waktu lo belain gue waktu itu, bukan?” Bhanu sadar, kehendak itu sangat penting. Kehendak adalah sebuah hakikat semua manusia yang layak dan patut dihargai. “Gue menghormati segala macam keputusan Cecil. Tapi, kenapa dia pergi terlalu jauh? Itu pertanyaan gue. Ini tuh kayak…” “Kayak temen lo diculik?” selanya. “Iya bukan?” Yura paling tahu itu karena Bhanu punya sisi scorpio yang bisa saja posesif bahkan cemburu tak beralasan terhadap sesuatu bahkan seseorang.  “Nggak tahu ah, kayak mereka berdua bener-bener bersitegang banget sekarang. Gue jadi bingung mau bikin mereka akur lagi gimana? Gue takut salah aja dan malah memperkeruh. Sumpah, drama apaan ini?” Bukannya prihatin, Yura malah tertawa lirih dan mengambil duduk di sebelah Bhanu. “It’s oke. Birth Chart kemarin jangan sampai dibikin ribut buat masalah percintaan dong. Gue tuh pakai birth chart buat nemuin harmonisasi kedua belah pihak atau orang-orang di dekat gue, Bhanu. Jangan dijadiin patokan banget. Kalau misalnya itu mengusik lo banget, lo harus cari tahu bagaimana caranya supaya nggak terjadi seperti itu? Lo udah ada informasi dengan melihat interaksi mereka melalui karakter-karakternya. Dengan begitu, lo bisa keluar dari permasalahan ini.” Bhanu tertegun mendengar penjelasan Yura. “Gue kebiasaan kalo ada cowok yang mendekat pasti bakalan baca birth chartnya. Hanya untuk mengetahui sifat-sifat melalui rasi bintangnya. Jadi, gue bisa menempatkan diri nantinya. Dari situ juga, gue bisa mengonfirmasi apakah betul sifat-sifat zodiak itu menempel pada kepribadiannya. Kalo ternyata benar dan itu cenderung menyebalkan, pasti gue hindari. Kayak Fero waktu itu, dia keliatan Leo banget, kan? Dan, firasat gue ternyata benar. Dia narsistik dan cenderung pemaksa.” Cowok yang ada di sebelahnya itu masih memasang telinga untuk mendengar ocehan Yura siang sepulang sekolah itu. “Mungkin, Cecil emang lagi memastikan dengan instingnya—sayangnya itu agak lambat karena cara gue yang pakai baca birth chart terbukti lebih cepat—dan instingnya yang bekerja lama itu sedang mencari jawaban juga. Apa dia benar-benar suka Ben, apa teman-temannya baik-baik saja dengan dia yang dekat dengan Ben.” Yura mengakhiri penjelasannya dengan mengendikkan bahu. “Tapi, waktu itu Cecil kelihatan marah banget pas di dekati sama Ben.” Inilah yang Bhanu masih bingungkan. “Cecil emang grumpy nggak sih anaknya? Suka meledak-ledak, padahal hal itu bisa jadi biasa aja?” Bhanu menghembuskan napas gusar. “Iya juga sih. Mungkin gue aja yang belum pernah kayak gitu. Karena anggapan gue saat ini paling penting adalah teman.” Yura mengernyitkan alisnya. “Dan, sekolah. Sama ngelancarin kemampuan baca dan menulis gue.” Yura mengangguk, “Anyway, gue penasaran dari lama tapi gue takut lo tersinggung kalo gue tanya begini.” “Tanya apa?” alisnya terangkat. “Gimana caranya lo bertahan dengan kekurangan lo itu? Gue kemarin cari tahu, kalo lo bisa mudah stress jika dipaksa belajar? I mean, yang biasa aja pasti stress apalagi lo. Iya kan?” Bhanu tersenyum kecil. “Gue stress kok sewaktu SD. Stress parah sampai nggak mau sekolah pokoknya. Tapi, gue nggak mau dipandang berbeda sama orang-orang. Mereka dulu ngatain gue bodoh dan nggak bisa membaca maupun menulis. Sejujurnya, gue agak nggak terima waktu itu. Jadinya, gue tetep menyangkal dan malah nggak mau sekolah, hehe.” “That’s your hard time.” “Iya, setelah mama ngajak gue ke psikolog waktu itu dan gue ketahuan punya disleksia, akhirnya gue paham kalo gue agak berbeda dari segi kemampuan dan gue bodoh bukan karna malas belajar. IQ gue aja di atas temen-temen SD gue waktu itu. Sama sekali membingungkan guru-guru waktu itu.” “Terus, gimana? Temen-temen lo reaksinya gimana?” “Gue nggak punya teman, Yura. Nggak ada satupun gue punya teman selama ini kecuali Dharma dan Cecil.” Yura menatap Bhanu iba. “Oh, pantes lo sayang banget sama mereka. Jadi, panjang juga ya ceritanya.” “Iya, that’s kinda long story of me.” Kemudian cewek itu berdeham. “Bhanu, jangan patah semangat. Lo coba pelan-pelan ngobrol sama mereka. Hitung-hitung ini latihan jadi diplomat. Hehe.” Katanya sambil tersenyum manis. “Kalo lo butuh teman cerita sambat soal mereka berdua, kasih tahu aja. Lagian, gue juga kan yang ngide cari birth chart kak Ben dan Cecil sampai bikin kalian ricuh makin salah paham.” Bhanu mengangguk, “Thanks, Yura. Gue traktir es krim kalo gue berhasil mendamaikan mereka berdua.” “Hm, boleh. Gue sebenarnya masih penasaran sama yang lo omongin waktu itu. Kapitalisasi dan eksploitasi alam. Hehe. Lo anaknya aware dan kritis sama masalah sosial ya. Meskipun lo disleksia, lo nggak malas untuk belajar hal-hal kompleks.” Sahut Yura, gue suka semangat belajar lo itu, Bhanu. Batinnya. Bhanu tertawa dan mengajak Yura berjalan ke depan gerbang. “Yah, lagian gue tahu juga. Nilai Cuma indikator, sedangkan indikator itu selalu dipukul rata padahal kecerdasan anak-anak tidak melulu soal kemampuan bahasa atau berhitung, kata mama gue begitu Yura.” “Your mom is wise.” “Wise banget, kapan-kapan lagi, main ke rumah yuk? Nasi goreng mama gue enak, katanya Cecil dan Dharma ngalahin restoran-restoran deh.” “Haha, okeeee.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD