Morning Fight

1459 Words
Pagi-pagi Bhanu sudah siap di meja makan dengan rambut dan dasi belum tersisir rapi. Dia memasukkan nasi goreng yang baru jadi dan masih mengepul itu ke dalam kotak makan. Tak lupa telur dan beberapa mentimun dia masukkan sebagai lauk pendamping. Semalam dia tercetuskan sebuah ide untuk mendamaikan bersitegang antara Dharma dan Cecil setelah mengobrol lewat telepon dengan Yura. Sebuah ide untuk mengajak Cecil dan Dharma sarapan. Entahlah, akankah usahanya ini mendapat penolakan atau malah sebaliknya. Dia tak peduli, dia ingin mencobanya. Pikirannya menjadi lebih terbuka berkat pembicaraan tentang zodiak-zodiak sepulang sekolah kemarin dengan Yura. Cewek yang selalu membawa-bawa unsur-unsur zodiak di setiap ucapan kata-katanya menyadarkan Bhanu bahwasanya bisa saja ada kemungkinan kecil yang bisa merubah dan mempengaruhi perasaan Cecil dan memperbaiki hubungan keduanya. Kemarin, Bhanu juga bertanya pada Dharma, apakah Cecil menghubunginya? Ternyata tidak. Namun, Cecil hanya mengirimkannya sebuah pesan menanyakan tentang topik yang bagus untuk diulas ke dalam tugas cerpen pelajaran Bahasa Indonesia cewek itu. Tidak lama, hanya sebentar saja. Dan itupun, Cecil sama sekali tidak membahas apapun tentang perang dingin ini. “Bhanu, biar mama aja. Kamu pasang dasi sama siap-siap.” “Nanggung, ma.” Bhanu ribet dan gugup menata kotak makannya. “Kamu tumben-tumbenan minta dibanyakin nasi gorengnya, ada apa? Mau pulang telat nanti? Kalo makan siang di luar, duit jajan masih ada?” “Enggak, ma. Cecil sama Dharma kangen nasi goreng mama.” Katanya, tetapi memang itu kenyataan. Hanya saja sudah lama mereka berdua utarakan. “Aduh, bisa aja anak-anak ini. Lain kali ajak kesini kalo akhir pekan. Besok mama nggak ada kegiatan penelitian di hutan mangrove lagi kok.” Bhanu menoleh, “Lho, sudah selesai ambil sampel di hutan mangrovenya? Mama dapat spesimen apa?” Mama Ratna tertawa, “Kerang-kerang lumpur kecil. Kerang patok, pasti kamu nggak tahu? Soalnya masih kecil banget dan nggak banyak.” “Nanti aku cari deh, bisa dimakan?” Mama Ratna mengangguk, “Bisa, kalo yang dijual ke resto itu pasti yang seukuran setelapak tangan mama. Ini udah besar banget.” Bhanu ternganga melihat telapak tangan mamanya yang melebar seolah menggambarkan besar kerang tersebut. “Tapi, yang mama temuin kemarin kecil-kecil. Sama nemu beberapa biota laut. Ambil sampel air buat diliat plankton-planktonnya. Mau main ke laboratorium mama?” “Boleh ma?” matanya berbinar sambil kesusahan menutup tempat makan rapat-rapat. “Kan, Aku masih SMA.” “Nggak apa-apa, kalo mama ambil berkas ketinggalan di laboratorium kamu ikut aja. Nanti mama tunjukin deh. Soalnya di tempat baru mama, mama dikasih kunci laboratorium sama dosen seniornya.” Bhanu bertepuk tangan, ikut senang ketika sang mama tahu bahwa anak bungsunya ini sangat menyukai hewan-hewan dan biota-biota kecil yang menghuni alam. Kemudian Bhanu diantar sekolah oleh kak Bhina soalnya dia juga ada kelas pagi di kampusnya hari ini. Tumben-tumbenan, pagi ini sang kakak malah menyetel lagu bergenre alternative-rock sambil memukul-mukul setir untuk menikmati musiknya. “Kak, tanya dong. Pernah berantem sama temen cewek?” “Hah? Ngapain?” “Ya tanya doang, pernah enggak?” “Aku nggak banyak main sama cewek sih. Biasa aja kalo ada teman cewek. Nggak dekat-dekat banget. Emang kenapa?” “Nggak apa-apa. kali aja ada.” Katanya lalu melanjutkan ke topik lainnya. “Kalo ada temen yang tiba-tiba ninggalin temen gara-gara pacar gimana?” “Wah, parah sih. Males banget kakak kalo ketemu orang kayak begitu, Nu. Ini mah anggapannya teman dijadiin tempat sampah doang.” Bhanu tersentak, menyangkal. Tidak mungkin cecil menjadikan mereka berdua sebagai tempat sampah. “Kalo seneng, temen ditinggal. Kalo lagi sedih baru mendekat. Kalo kakak sih bodoh amat ya, dia mau ngebucin sama ceweknya. Ilfeel!!!!” pekiknya. “Diajakin main game, malah ‘eh bentar cewek gue telepon.’ Alaaaaah males!” kata Bhina terkesan sangat maskulin itu. Memang sang kakak lebih tegas dari pada Bhanu. Terlihat dari caranya menghadapi orang-orang di sekitarnya. “Tapi, kalian temenan. Kenapa lo males? Kali aja kakak yang belum kenal cewek.” “Lah, cewekku biasa kok kalo aku lagi main sama temen-temen. Nggak ganggu banget malah.” Bhanu kaget, dan melototi abangnya itu. “LO PUNYA CEWEK?” Bhina terjingkat dibentak, “Punya laaaahhhh, kali anak kuliahan nggak punya!” “Kok nggak dibawa ke rumah?” “Lah ngapain?” Bhanu langsung bungkam. “Bhanu, nyari pacar jangan yang sampai memanipulasi kehidupan pasangan lainnya. Contohnya adalah sampai mempengaruhi kehidupan pribadinya. Itu sangat nggak sopan dan nggak sehat. Kakak ngasih tahu karna kamu itu cowok. Yang lebih sering toxic ke cewek. Tapi sekarang juga banyak kok cewek toxic yang mempengaruhi cowoknya jadi ikutan toxic. Akhirnya posesif banget dan sampai nggak bisa main sama temen-temennya.” Jelas Bhina. Bhanu tertegun, apakah Ben sudah memanipulasi Cecil? Makanya Cecil susah main sama aku?, batinnya. “Tapi, ada juga sih yang emang bucin banget. Masih awal-awal pacaran tuh maunya nempeeeel terus. Haha. Lo nggak tahu ya?” ledeknya. “Makanya, coba deh deketin cewek!” dia menoyor kepala Bhanu. “ISHHHH, SISIRAN GUE BERANTAKAN!” “Elah, disisir lagi juga masih bisa kali!” katanya lalu memberhentikan mobilnya di depan gerbang. “Turun, belajar yang bener.” Bhanu hanya membalasnya dengan dehaman dari bibirnya lalu turun. Cowok itu datang ketika banyak siswa juga baru berdatangan, suasananya sudah agak ramai. Ketika sampai di depan kelas Cecil. Dia melihat Ben tengah duduk bersama Cecil di depan kelas. Dia menggeleng dan gemas dengan kelakuan mereka berdua. Nampak sangat bahagia ketika berbincang-bincang bersama. Namun, Cecil malah tersenyum kecut ketika dia bertatapan dengan Bhanu. Terdapat sorot bersalah hingga malu ketika Bhanu terus berjalan mendekat dan berhenti di depan keduanya. “Cil, mau sarapan nggak?” ajak Bhanu. “Cecil udah sarapan sama gue, jadi thanks.” Jawab Ben. Bhanu benar-benar tidak suka dengan cara cowok itu menghalangi interaksinya dengan Cecil. Dia bukan juru bicara cecil sehingga tidak perlu dia melalukan hal yang menjijikkan itu. Apalagi, Cecil hanya mengernyit ketika Ben menyela dirinya. Bhanu tidak mengindahkan tatapan Ben, ketika Ben bersuara seperti itu tadi, kini Bhanu menganggap cowok itu seolah benar-benar tidak ada. “Ini bikinan mama, Cil. Katanya lo kangen nasi goreng mama.” “Bro, Cecil udah sarapan sama gue tadi, iya kan Cecil?” jawab Ben. Cecil bingung harus menjawab yang mana. Bhanu dengan napasnya agak memburu, sorot datar terkesan sangat marah menatap lurus kian menusuk Cecil ketika semakin lama dia menunda untuk tetap mendiamkan Bhanu. “Gue udah bawa banyak banget, jangan sampai ke buang dong. Mama nambahin kacang polong sama wortel biar kita nggak sembelit.” Kata Bhanu tersenyum kecil, terus menekan Cecil. Ben mencebik, sulit percaya jika ada orang yang berani bertindak tidak sopan padanya. Padahal dia sudah menjawab dengan sangat jelas kepada Bhanu. Cowok itu berdiri lalu menatap Bhanu yang lebih pendek darinya. “Lo mau apa?” “Cecil, makan di kelas gue yuk?” ajak Bhanu tidak menghiraukan Ben, dia hanya mau ikut bersamanya makan nasi goreng di kelas bersama Dharma yang dia ketahui sepertinya sudah datang dan duduk di dalam sana. “Heh!” ia masih santai. “Kak Ben. Mending kakak balik ke kelas deh, gue mau sama temen gue dulu.” Bhanu tersenyum melirik Ben, dan Ben hanya menghela napas. “Pulang sama gue ya? Gue kepingin makan siang di Mall. Gue mau refreshing sebelum bimbingan nanti sore.” Bhanu langsung menyela, “Cil, cerpen lo semalem, gue ada ide lebih bagus dan nggak menjijikkan kayak semalem. Temanya horror gitu, lo mau nggak kita bahas? Gue yakin ide gue bakalan bikin tugas lo dapat nilai 100!” seru Bhanu. "Lagian bentar lagi mau UTS, nggak ada waktu nunda bahas-bahas tugas." “Heh, lo bocah!” “Lo juga bocah!” Bhanu sudah tidak tahan. “Lo juga masih dibawah 21 tahun yang mana secara hukum lo masih anak-anak!” tukas Bhanu emosi. Tak kenal takut kepada orang yang berbuat tidak sopan lebih dulu. "Bisa nggak sih kasih waktu temen gue main? Kalo lo stress sama bimbingan, ya jangan jadiin temen gue terus-terusan buat sama lo dong? Lo pikir teman gue therapist??!” cemooh Bhanu membuat Ben mendelik. “Ngaco lo, siapa nama lo?” “Kak Ben, udah ya kak.” “Bhanu.” Cecil mendengus keras. “Kak, sorry. Nanti gue hubungin lagi. Maaf.” “Lo nggak perlu minta maaf sama orang nggak sopan kayak dia. Lo pikir, lo siapa ngejawab pertanyaan gue buat cecil? Jubir?” Bhanu sudah kesetanan, Tidak memandang siapa lawannya. “Sejak kapan lo buka lowongan juru bicara? Tanya gua?” Cecil hanya menunduk sambil memegangii tangan Bhanu. Ben melihat itu malah menepisnya. Bhanu semakin emosi dan menarik tangan Cecil. “Berani lo mukul temen gue. Cowok sinting! Yuk, Cil sarapan aja. Daripada gue sarapan muka orang yang belagu ini.” Bhanu dan Cecil meninggalkan Ben yang nampak diam tertegun diomeli oleh adik tingkatnya itu. Menjadi tontonan pagi orang-orang di kelas Cecil. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD