Api dan Air

1452 Words
“Bhanu, lo gila!” pekik Cecil ketika mereka memasuki kelas. Keduanya kini menjadi sasaran perhatian anak-anak di kelas Bhanu. Kelas yang tadinya riuh karna bisik-bisik pagi atau kerusuhan beberapa anak yang mencari contekan pekerjaan rumah yang lupa dikerjakan semalam, mendadak sunyi sebab lengkingan suara cempreng Cecil. “Iya, baru sadar lo?” cowok itu menggaruk kepala dengan lugunya. “Hei, gue nggak bohong bawa nasi goreng buat sarapan. Makan yuk?!” “Kenyang sama tingkah alay lo tadi.” Nada cewek itu agak merendah setelah menyadari kesunyian yang menyelimuti perbincangan keduanya di dekat pintu kelas. “Sorry.” Bhanu memilih untuk mengakhiri perdebatan ini. Tidak ingin memperkeruh lagi karena dia sadar apa yang dia lakukan tadi kepada Ben—yang notabene adalah senior mereka—dapat dikatakan tidak sopan. Hanya saja prinsip Bhanu, kesopanan tidak bisa distratakan. Semua orang wajib berlaku sopan dengan siapapun, mau kepada yang muda kepada yang lebih tua bahkan sebaliknya, begitulah Bhanu dan cara berpikirnya itu. Nampak tak kenal takut, menggerus semua lawan di depannya. Yang juga terkadang, prinsipnya itu merasa ia sering tidak cocok jika berada di lingkungan masyarakat yang terkotak-kotak dengan nilai dan rasa hormat. “Hmm.” Cecil mendengus. “Gue tadi udah makan sama kak Ben.” “Nasi goreng mama?” “Gue aja yang habisin,”  Dharma menyahut dari belakang Bhanu. Cecil menunduk, mengetuk-ngetuk kakinya ke lantai gusar. Tak puas dengan itu, dia juga membuang muka ke arah luar pintu. “kalo Cecil udah kenyang.” Lanjutnya. “Nggak ada yang bisa nolak nasi goreng mama Bhanu selain …,” dia terhenti sontak membuat Cecil menoleh dan mendelik, tersinggung. “orang yang beneran kenyang.” Tambahnya. “Hei, gue bawa 3 porsi sekaligus jadi kita nggak perlu nambah beli gorengan di kantin.” Ujar Bhanu memberikan kotak makanan dari dalam tasnya. “Ekstra kacang polong dan wortel. Soalnya sosis di rumah lagi habis.” Bhanu antusias karena niat baiknya masih disambut oleh Dharma. “Jadi, gue kasih 2 telur!” “Wow, kentut gue bakalan bau hari ini.” Dharma tersenyum jahil tak mengindahkan keberadaan Cecil yang jengkel menatap keduanya. Terkekeh seperti tidak ada hal buruk yang terjadi di sini. Cowok itu berbalik dan kembali ke tempat duduknya yang ada paling belakang baris. Tiba-tiba Yura yang sedang duduk bercanda pagi dengan beberapa cewek di bangku sebelah bangku Dharma dan Bhanu itu mendekat dan mengendus-ngendus kotak makan yang Dharma baru saja buka. Cewek itu menatap Dharma penuh binar sontak membuat Cecil mengernyitkan alisnya. Bhanu yang melihat adegan itu hanya tersenyum kecil. “I’m sorry for ruining your morning date, Cecil.” Bhanu masih memegang satu kotak makan yang ia sengaja pegang di hadapan cewek itu. Bermaksud ada pergerakan lain atau jika tidak maka nasi goreng ini akan jatuh ke tangan Yura. “Makan sama kak Ben kalo lo mau.” Bhanu menawarkan nasi gorengnya lebih dulu. Sesekali melirik Yura dan Dharma tengah asyik berbagi satu suapan nasi goreng itu. “Go get back to your boyfriend, Cil. We’re ok.” Entah mengapa itu membuatnya begitu sakit hati. Kata-kata Bhanu sama sekali tidak melepasnya. Namun, terkesan sebaliknya. Cowok itu menembak tepat pada perasaan bersalah Cecil yang ia sadari semalaman itu. “Nu, lo mau apa sama gue?” “Gue nggak mau apa-apa, Cecil. Lakuin apa yang mau lo lakuin aja sekarang. Tapi, jangan bersitegang sama Dharma.” Kata Bhanu lalu mengulurkan lagi nasi goreng ke Cecil lebih tinggi. “Kenapa kalian nyebelin banget sih?!” Cewek itu mengambil nasi goreng dan berbalik dengan mata yang agak berkaca-kaca. Berjalan cepat dan dengan marahnya yang Bhanu sorot sampai Cecil menghilang di balik pintu kelasnya. Bhanu mengembuskan napas pelannya, merasa gagal. Ia berjalan lesu dan duduk di bangkunya. Suasana hatinya sudah berantakan. Semua tidak berjalan seperti yang dia pikirkan dan rencanakan dengan matang itu. Yura di bangku sebelah menyadari tingkah Bhanu yang memakan nasi goreng dengan murung. Dharma malah sebaliknya. Cowok itu selalu dengan tampang poker-facenya dan bawaan tenang. Seolah tidak ada apapun yang terjadi. Seperti mengelak, menutupi, dan lebih misterius dari Bhanu. “Mama lo ada acara apaan? Kok tumben masak banyak?” kata Dharma menggigit mentimun. “Nggak ada apa-apa kok, kepingin aja makan bareng bertiga.” “Yura,” panggil Dharma. “Makan yuk! Sini sama gue dan Bhanu.” Bhanu mendelik. Bisa-bisanya Dharma mengajak Yura, pikirnya itu. Sebuah pergerakan tak terduga dari cowok itu pagi ini. Ketika Yura berdiri di antara kedua cowok itu, Dharma melanjutkan kata-katanya. “Lo mau makan bertiga, kan? Nah, ini Yura.” Yura melirik Bhanu kaku, lalu mundur. “Sesuap aja deh, gue udah kenyang.” Seketika tidak nyaman. Apalagi Bhanu tersentak ketika Dharma mengatakan itu dengan tenangnya. Yura paham, yang dimaksud bertiga itu adalah Dharma, Bhanu, dan Cecil. Bukan dia, Yura tahu diri dan tidak ingin memperkeruh masalah yang terjadi di dalam persahabatan mereka itu. Dia hanya orang baru untuk mereka. Dan, setelah memakan nasi goreng yang Dharma beri untuknya, cewek itu pamit setelah menepuk pundak Bhanu. Pesan tersirat untuk tetap kuat menghadapi apa yang ada di depannya. “Bertiga tuh sama Cecil, Dharma.” “Orangnya nggak mau, kok dipaksa.” Bhanu diam, aura Dharma mengatakan untuk tidak melawannya. Ketika Cecil dan Bhanu sangat mahir saling melempar omongan dan pendapat bahkan membolak-balikkan omongan, untuk Dharma adalah pengecualian. Kata-katanya memang penuh kebenaran dan tak tersanggahkan. “Iya sih.” Sahutnya kebingungan. “Tapi, lo sama Cecil kayaknya kemarin berantem belum damai sampai sekarang.” Cowok itu menarik napasnya dalam-dalam. “Biarin aja. Nanti kalo butuh bakal dateng sendiri.” Bhanu memiringkan kepalanya, heran Dharma benar-benar setenang itu. Padahal kemarin dia juga ikutan meledak-ledak. Bhanu jadi penasaran, birth chart cowok itu. Penasaran untuk menjelajahi kepribadian Dharma berdasarkan zodiak-zodiak, seperti yang sering Yura lakukan itu. Ah, kok gue jadi ketularan Yura? Tanyanya dalam hati. “Ma, lo nggak apa-apa? Perasaan kemarin lo juga nggak suka deh kalo Cecil sama Kak Ben?” Cowok itu menatap balik Bhanu. “Gue?” Bhanu kaget mendengar reaksinya itu. “Iya elo lah, lo ambis pas nyari birth chart Ben kemarin, ih. Kepribadian ganda lo?” Bhanu menatap Dharma dengan mata menatap penuh keheranan, aneh, penuh dengan penilaian, nampak menusuk sampai bisa-bisa membuat orang tersinggung karena bereaksi berlebihan. Dharma yang terbiasa diberi tatapan kasar itu malah tertawa. “Yah, gue kemarin shock doang. Sekarang gue hanya perlu menerima fakta yang ada di depan gue. Jangan khawatir sama apa yang terjadi sama gue dan Cecil kemarin. Gue emang belum pernah berantem kayak  begitu sama dia. Tapi, gue bisa jamin kalo ini nggak akan kenapa-napa, Bhanu. Mungkin kita harus berantem biar makin akrab.” Sumpah, Bhanu nggak paham dengan konsep Dharma itu. “Kenapa harus berantem, Dharma? Jangan aneh-aneh lo. Udah mau undur diri dari Dharma si pecinta kedamaian lo?” “Kedamaian tidak akan tercapai tanpa ada pertikaian, Nu. Ini tuh namanya harmoni kehidupan.” Bhanu tertegun, kupingnya dari kemarin selalu disumpal dengan kata-kata harmoni dari Yura dan Dharma, mereka satu otak?, pikirnya. “Kalo gue sih udah ngebiarin apa yang terjadi antara gue dan Cecil terlepas dari tingkah kekanakan gue kemarin. I try to understand her even if it’s hard. She is my friend.” “Tapi, gue masih belum bisa, Ma. Gue aja tadi pagi denger kakak gue kalo kita cari cewek itu mending yang bisa membebaskan kita untuk memiliki ruang sendiri, punya waktu sendiri.” Dharma diam, tangannya menggenggam sendok semakin erat. “Gue merasa, Ben nggak kasih Cecil waktu bahkan untuk dirinya sendiri. Gue takut, itu bisa bikin Cecil terjerumus dalam hubungan nggak sehat. Dan, buktinya bikin kita jadi kurang interaksi kayak begini. Gue mau tahu yang sebenarnya, gue kepingin Cecil cerita apa yang dia rasakan sama Ben selama kurang lebih seminggu ini.” Bhanu mengungkapkan isi hati terdalamnya, ia galau dengan dirinya sendiri. Tadi berpikir begini kemudian berpikir begitu. Penasaran mencari jawaban tapi berusaha menerima fakta, walaupun dipaksa dengan susah payahnya. “It’s too far, Bhanu. Dia juga punya ruang untuk perasaannya sendiri bahkan ketika bareng sama kita.” Dharma mendebat Bhanu pagi ini dengan nada yang masih juga tenang. “But, we are friend!” sangkal lawan bicaranya. “Iya, gue tahu. Kita harus nunggu, Nu. Nunggu dia open sama kita.” Seperti biasa, Dharma itu memang air untuk Bhanu. Yang siap mengguyurnya dengan air bergentong-gentong untuk memadamkan api yang membakar kepala, jantung, hingga matanya itu. Membakar emosi dan jiwa-jiwanya yang masih tidak terima atas apa yang terjadi padanya. Kini, hanya ada asap berkat api yang dipadamkan oleh air itu. Bhanu tidak tahu harus seperti apa lagi. Ia benar-benar merasa hampa dan tak tahu harus berbuat apa untuk membuat semuanya membaik. Apalagi, melihat mata Cecil yang nampak menahan air mata. Semakin membuatnya gila. Gila sebab ingin mencari tahu jawaban.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD