Lanturan Yura

1107 Words
“Tau nggak, Ra, kalo gue itu selalu merasa bahwa alam itu bisa berbicara. Yah, bukan dengan kata-kata karena bakalan serem banget ketika kita bisa denger batu tiba-tiba ngomong. Haha.” Kata Bhanu mendominasi perbincangan di telepon itu. Pembicaraan Bhanu dan Yura berlanjut hingga mereka pulang sekolah dan hingga makan malam selesai. Bhanu memegang pensilnya sedang membuat sketsa gambar untuk tugas kesenian menggambar perspektif ditemani dengan berbincang-bincang bersama Yura yang juga sibuk menghitung persamaan-persamaan latihan soal kimia seraya bersiap untuk UTS Kimia lusa. “Meskipun alam nggak bisa berbicara seperti kita, bukan berarti mereka tidak bisa memahami manusia. Pohon mangga tempat favorit itu, biasanya gue ajakin ngobrol.” “Haha, lucu banget, Nu. Dia ngejawab elu?” “Iya. Orang bakalan menganggap gue gila hanya dengan menganggap bahwa daunnya yang gugur dan jatuh di pundak atau kepala gue itu sebagai jawaban. Bahkan, nggak jarang dia menjatuhkan buah-buahnya yang masih kecil ketika gue bertanya sesuatu. Kalo gue cerita begini, lo akan menganggap gue aneh?” “Enggak, Bhanu. Karena gue sendiri juga percaya kalo alam itu hidup. Alam bukan benda mati. Ketika elemen seperti udara, air, tanah, dan api dianggap sebagai benda mati dalam buku-buku kimia, akan tetapi mereka memiliki energi, bukan? Energi itu bisa hidup dan menggerakkan energi lainnya. Gue pernah baca tentang fengshui, lo tanya Dharma pasti dia tahu fengshui itu apa.” “Kalo menurut lo itu apa? Gue tahu sebatas dipakai untuk menentukan posisi rumah dan perabotan doang. Hehe.” Cowok itu terkekeh sambil menghapus gambarnya yang kurang proporsional itu. Satu-satunya kegiatan dan mata pelajaran yang sangat ia sukai adalah kesenian, dimana dia bisa mengistirahatkan otaknya dari huruf dan angka, tentunya. “Yah, itu juga bisa sih. Tapi, fengshui itu ilmu tua yang digunakan untuk menentukan keharmonisan. Karena elemen yang dipakai di budaya China itu ada 5 dan itu saling mempengaruhi bahkan mengikat satu sama lain. Kalo gue berpikirnya, alam itu bergerak dan hidup. Seolah memiliki nyawa dan berenergi. Saling mempengaruhi namun manusia lebih memilih acuh.” Katanya, Bhanu masih mendengarkan dengan seksama. “Itu sama halnya yang gue lakukan dengan memahami zodiak, supaya gue bisa hidup dengan harmoni bersama orang-orang di sekitar gue. Gue berharap orang tuh ngerti, tapi gue bodoh amat lah. Kita itu nggak bisa mengontrol orang.” Deg… Bhanu jadi teringat kata-kata Dharma beberapa waktu lalu. “Lo pernah nggak sih, nyoba ngomong sama diri lo sendiri?” “Sering bangeeet, karena gue nggak ada teman. Haha.” “Haha, iya. Dulu sewaktu SMP gue nggak punya teman. Akhirnya yang gue lakuin adalah jalan sendirian, ngomong sama pohon, ngomong sama udara dan air. Ah, gue pikir gue gila waktu itu. Cuman, kalo gue gila tuh kenapa masih bisa mikir lebih waras dari teman-teman gue yang nakal di sekolah?” “Haha, lo bayangin dong, nenek moyang jaman dulu gimana ketika mereka masih menganut animism? Mereka ngobrol sama roh, sama pohon, sama air, batu, dan udara. Mereka berbicara dengan alam melalui nyanyian, mantra, doa, bahkan music dan tarian.” Mendengar perkataan itu membuat Bhanu berhenti menggoreskan arsiran pensil pada kertas penuh sketsa gambarannya. Animisme, roh, nyanyian, mantra, doa, dan music? Kegilaan apa lagi yang mau kamu sampaikan ke aku, Ra? Aku pikir, hanya aku yang berpikir bahwa jauh sebelum adanya agama, orang-orang itu melebur bersama alam untuk memenuhi kebutuhan batin spiritualitas dan pengetahuannya terhadap alam? Yura, kamu bener-bener… ugh, aku nggak tahu harus bilang apa, batinnya. “Nu, lo kenapa diem?” “Nggak apa-apa, terusin aja. Gue dengerin.” “Ih, enggak ah. Takut gue dianggap aneh sama lu. Karena yang mau gue omongin ini bener-bener di luar ranah agama pada umumnya.” “Serem deh lo.” Ia berbohong, padahal Bhanu juga suka mencari-cari tentang hal-hal spiritualias jauh sebelum umat manusia mengenal agama. Ia ingin mencari tahu, terus mencari tahu. Dan, kini dia memiliki seorang teman yang berpikiran sama dengannya. Hanya saja, dia takut untuk membahasnya. Takut salah paham, takut memperburuk, dan hanya ketakutan yang menyelimuti apabila hal yang ia temui tidak sesuai dengan ajaran agamanya, lalu bagaimana? “Lo baca apaan sih, Ra?” “Gue? Baca apa aja pokoknya, Nu. Hehe. Gue suka baca karena gue mau tahu apa yang ingin gue ketahui. Termasuk tentang yaaahhh… hal-hal yang begituan deh.” “Hal begituan? Animisme itu?” “Yah, kemarin gue udah bilang juga sama lo. Gue juga mau tahu bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan dan alam selain bagaimana interaksi manusia dengan manusia. Gue juga mau memahami, bagaimana manusia bisa terikat dengan roh bahkan alam atau sebuah agama.” “Tapi, lo beragama. Kenapa lo mempertanyakan bagaimana keterikatan manusia dengan agama? Lo bertanya pada diri lo sendiri gitu?” celetuk Bhanu. “Um…” suara Yura nampak tertahan. “Gue nggak tahu bagaimana reaksi lo setelah ini, tetapi religi dan spiritualitas adalah dua hal yang berbeda, Nu.” Bhanu terperangah. Entah mengapa hatinya mendadak lega, seperti ia bertemu dengan kawan lama. Ia senang jika tidak hanya dia yang berpikir seperti itu. Akhirnya, ia menemukan teman untuk berbagi pikiran yang sangat-sangat liar. Dengan catatan, Yura sepertinya lebih liar. “Yah, gue tahu itu. Gue paham soal itu. Gue pernah diam-diam baca buku tentang spiritualitas dan religi. Yang mana, spiritualitas itu cangkupannya lebih luas dari religi itu sendiri. Gue belum memahami kenapa alasan itu bisa terjadi sehingga yang gue lakukan untuk memenuhi kekepoan otak random gue ini dengan googling sampai gue nemu istilah-istilah kayak chakra, starseed, ritual-ritual klenik wicis itu rada…” kalimatnya terputus. “Bertentangan sama agama lo?” “Iya.” “Gue bisa paham kok.” “Gue sih menganggap sebenarnya yang mereka lakukan adalah eksplorasi diri mereka sendiri bersama alam dan Tuhan yang mereka percayai. Tapi, gimana yah? Gue rada bingung terkadang.” “Hehe, nggak usah bingung, Nu. Kalo malaikat dan Tuhan mengijinkan lo untuk tahu tentang semua itu, akan ada waktu dan orang yang bakalan bantu lo untuk memahaminya. Gue pernah baca seseorang mengatakan kalau religi ibarat sebuah bangunan sekolah, yang kosong. Spiritualitas adalah orang yang mengajar di sana, memberi kita pelajaran. Artinya, tanpa spiritualitas maka religi ibarat cangkang kosong. Lo pernah dengar ada orang yang religius banget tapi mannernya kosong? Mungkin dia itu religius, tapi spiritualitasnya patut di pertanyakan. Karena menurut gue, orang yang spiritualis itu hanya akan membawa kedamaian kemanapun dia pergi.” Bhanu tertegun, cukup lama. Dia benar-benar seolah mengikuti khotbah shalat jumat namun khotibnya Yura. “Ra, gue berasa dapet siraman rohani malem-malem. Haha.” Mereka berdua tertawa dengan hangatnya. Hati Bhanu rasanya sejuk mendengar kata-kata dari Yura itu meskipun itu juga yang membangkitkan semangatnya untuk memborbardir Yura dengan serangkaian pertanyaan besok mengenai pembicaraan malam ini di handphone mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD