Part 2

1313 Words
"Jendra ... aku mau makan bakmi dong, bisa beliin gak?"  Indira tengah hamil lima bulan saat ini, setelah memeriksakan kandungannya. Indira ingin memakan bakmi, ya , ia sedang ngidam. Hanya saja Jendra bukanlah tipe pria yang akan langsung memberikan sesuatu pada seorang wanita tanpa menguntungkan dirinya. "Semangkok bakmi, bayar pakek satu ronde," ujar Jendra. Indira menelan ludahnya kasar. "Iya, iya ... mau berapa ronde juga aku jabanin kamu," ujar Indira dengan percaya diri. "Satu aja, aku gak mau bikin anak aku dalam bahaya." Indira mengangguk, dan akhirnya Jendra menghentikan mobilnya didepan sebuah warung bakmi Jakarta yang letaknya tepat di depan gerbang masuk perumahan elit. "Mau di rumah aku atau di rumah kamu?" tanya Indira sembari menikmati bakmi. "Rumahku!" tegas Jendra. Indira hanya menganggukkan kepalanya, lalu setelah selesai dengan makanannya. Kedua pasangan itu segera kembali ke rumah Jendra. Saat masuk mereka bertemu admin yang bekerja di kantor milik Jendra. Letaknya di lantai satu. Sementara Jendra menuju lantai dua menggunakan lift yang khusus ia gunakan sendiri. "Tunggu di kamar," ucap Jendra. "Iya." Indira berjalan menuju kamar Jendra yang ada di bagian ujung, dekat dengan pintu balkon. Wanita itu melepaskan pakaiannya lalu masuk kedalam kamar mandi, seperti biasa. Setelah menemui rekan kerjanya, Jendra kini masuk ke dalam kamar. Ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Akhirnya ia pun ikut melepaskan pakaian ,dan masuk kedalam sana. "Ehm ... mau disini? Gak di kamar aja?" tanyaIndira saat Jendra memeluknya dari belakang. "Disini dulu, nanti pindah ke kamar kalau udah puas," jawab Jendra. "Ehm ... aahh," desah Indira. Wanita hamil memiliki hormon yang sangat sensitif, ia akan mudah b*******h meski hanya dengan disentuh saja. Jendra yang hanya dengan mendengar Indira mendesah ikut semakin b*******h. Tangan Jendra meremas dua gundukan kenyal milik Indira, dengan lembut pria itu membuat bagian bawah wanita itu semakin basah. Satu tangan Jendra kini membelai tubuh Indira, lalu berakhir pada pusat gairah wanita itu.  "Aahh, enak  ... teruss ... aahh," desah Indira saat satu jari Jendra berhasil masuk kedalam liang senggamanya. Jendra mencium bagian leher Indira, dengan meninggalkan tanda kemerahan disana. Sementara pinggul pria itu menggesek pada bagian pinggul Indira, hingga wanita itu merasa ada yang sudah mengeras dan ingin segera masuk ke dalam sarangnya. Perut Indira sedikit mengencang saat melakukan persetubuhan itu, hal itu membuat Jendra sedikit khawatir jika terjadi sesuatu pada anaknya. "Sakit?" tanya Jendra sembari menyentuh perut Indira yang terasa mengeras. "Gak sih, emang gini kalo lagi naik ," jawab Indira. "Ya udah, pindah kamar aja," ujar Jendra sembari meraih handuk untuk mengeringkan tubuh Indira dan juga tubuhnya. Indira berbaring di atas ranjang, tak lama kemudian Jendra berada diantara kedua kaki wanita itu. Jendra sedikit memperlebar kaki Indira agar dapat memasukkan miliknya dengan mudah. "Kalau sakit bilang! Jangan diem aja!" ujar Jendra. "Iya," jawab Indira singkat. Awalnya ,Jendra memasukkan kepala kejantanan miliknya, lalu terasa ada cairan yang keluar ,akhirnya Jendra berhasil memasukkan kejantanan itu sepenuhnya.  "Aaahh," desah Indira saat merasakan liangnya terasa penuh. Jendra mulai bergerak dengan perlahan, pria itu sungguh menikmati miliknya yang terasa terjepit di dalam sana. Hingga ia sedikit mempercepat gerakannya. "Aaaahhhh ... Jendra ... terus, aahhh," desah Indira yang terdengar menikmati kegiatan itu. Jendra terus menggerakkan pinggul dengan tempo yang tidak beraturan. Hingga sepuluh menit kemudian, Jendra melepaskan kejantanannya dari dalam liang itu. Pria itu berpindah tempat, ia kini berada disamping Indira. Jendra mengulum p****g payudaha Indira yang mengeras karena terangsang. Bibirnya melumat ,dan mengulum dengan sedikit kasar, hingga membuat Indira beberapa kali terpekik. "Aahhh, yeess ... ssttt." Desahan Indira menggema di dalam kamar, tetapi suara desahan itu tidak sampai terdengar keluar kamar, karena ruangan itu kedap suara. Sementara mulut Jendra penuh dengan d**a Indira, tangannya kembali bermain pada pusat gairah wanita itu. "Akh!" pekik Indira saat Jendra menggigit puncak dadanya. Tangan Indira meremas seprai, dengan mata yang terpejam merasakan setiap sentuhan dari Jendra yang membuat dirinya semakin mabuk ,dan menginginkan hal itu terus menerus. Puas bermain pada bagian d**a Indira, Jendra beralih kembali pada intim kewanitaan Indira. Kejantanan itu kembali masuk ke dalam pusat gairah Indira, dengan semakin memperdalam miliknya, Jendra merasakan akan mencapai puncaknya. Pinggulnya bergerak lebih cepat dari sebelumnya, sementara Indira sudah mendapat pelepasan beberapa kali, Jendra baru akan mendapatkan klimaksnya. "Aaaahhhh," desah panjang Jendra saat cairan putih kental itu keluar dari kejantanannya, dan memenuhi rahim Indira. Setelah selesai, Jendra melepaskan kejantanannya dari dalam liang senggama itu. Pria itu kini menggendong tubuh Indira menuju kamar mandi. "Emang gak berat?" tanya Indira. "Badan kamu itu kecil, meski lagi hamil juga tetep aja, paling nambah sekilo," celetuk Jendra. "Ih, kamu gitu. Kecil gini juga bis puasin kamu kan?" "Kali ini kamu bisa diem aja, awas kalo nanti udah lahiran, kamu harus aktif!" gerutu Jendra. Pria itu menurunkan Indira tepat di bawah shower, lalu Jendra menyalakan air dengan mode air hangat yang keluar dari sana. Tubuh Indira terasa nyaman karena guyuran air itu. Sementara Jendra secara perlahan menggosok punggung wanita itu. Memberikan rasa yang membuat tenang, adalah hal yang bisa dilakukan pria itu. Setelah dua puluh menit didalam kamar mandi, akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi kegiatan mandi itu. Jendra kembali mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh Indira dan juga tubuhnya. Indira yang telah selesai kini mengenakan kembali pakaiannya. "Aku antar pulang," ucap Jendra sembari mengeringkan rambutnya. "Iya." "Gak usah macem-macem. Di rumah lakuin hal yang berguna, perut udah kelihatan besar, jangan sampai terjadi sesuatu sama anak itu," ujar Jendra. "Aku tahu," jawab Indira singkat. Setelah mengenakan celana pendek dan juga kaos, Jendra mengambil kunci mobil miliknya, lalu mengantarkan Indira untuk kembali ke rumahnya. "Langsung istirahat! Jangan bertingkah aneh!" tegas Jendra saat Indira hendak turun dari dalam mobilnya. "Iya, kamu bawel ya!" celetuk Indira. Akhirnya wanita itu masuk ke dalam rumah, dan Jendra sendiri memutar kemudi untuk kembali ke rumahnya. Dering ponsel Jendra terdengar nyaring, nama Marcell terlihat jelas pada layar kecil itu. Jendra menekan ikon berwarna hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, om. Ada apa?" tanya Jendra. "Railo di rumah kamu? Anak itu bikin kesal saja," gerutu Marcell "Iya ,Om. Kenapa? Railo bikin ulah lagi?" tanya Jendra ingin tahu. "Iya. Om suruh Railo buat pulang ke Jakarta, tapi kabur." "Ya udah, nanti aku suruh Railo balik Jakarta kalau masih ada di rumah," ujar Jendra. "Ya udah, makasih ya." Sambungan telepon itu terputus, akhirnya Jendra sampai di rumahnya. Ia masuk kedalam dan mencari keberadaan Railo ,rekan sekaligus sahabat Jendra. "Om Marcell barusan telepon aku, kenapa gak mau pulang Jakarta?" tanya Jendra. "Males, di sana ada mantan yang gak mau diputusin. Nanti ngejar aku lagi kalau tahu aku di Jakarta," jelas Railo. "Kayak kamu artis ibu kota aja! Cepetan siap-siap! Aku anter kesana!" ujar Jendra. "Gak mau! Kenapa selalu maksa sih!" protes Railo. Usia Railo memang lebih mudah daripada Jendra, mereka terpaut lima tahun. Jendra selalu menganggap Railo seperti adiknya sendiri. Laki-laki yang berdarah Chinese itu sering kali membuat Jendra geleng kepala karena tingkahnya yang masih seperti anak kecil. "Mau berangkat atau aku seret pakai dokar kesana?" ancam Jendra. "Iya deh! Awas aja kalo di sana gak mau jagain aku dari cewek-cewek sadis itu!" ujar Railo. "Yang mana sih?" "Yang namanya Linda Hau," ucap Railo. "Yaelah, si keripik itu?" celetuk Jendra. "Iya, kok hafal banget sih." "Gimana gak hafal, dari sekian banyak pacar, yang paling kecil badannya kan cuma itu tadi," ujar Jendra. "Hehehe, iya juga sih," ujar Railo sembari memamerkan deretan giginya. Jendra berdecak kesal melihat tingkah Railo yang masih seperti anak kecil itu. Akhirnya ia menarik tangan Railo untuk segera ke bandara. "Berangkat sekarang?" tanya Railo yang terkejut karena Jendra langsung menariknya. "Bapak kau ngamuk kalo gak buru-buru otewe!"  "Hahaha, oke." Keduanya masuk kedalam mobil, dan langsung melaju menuju bandara. Jendra memegang kemudi dengan menghubungi seseorang melalui earpiece yang terpasang pada telinganya. "Pesenin dua tiket ke Jakarta, penerbangan sekarang! Aku dijalan ini," ujar Jendra. "Hah? telepon siapa sih?" tanya Railo. "Wiwit, aku lagi pesen tiket!" "Owh, kirain pesen apaan." Akhirnya Jendra harus ke Jakarta saat itu juga untuk mengantar Railo. Karena sikap Railo ,Jendra harus melakukan semua itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD