Setelah pulang dari panti kemarin, Mai benar-benar tidak keluar dari rumahnya. Ia mengurung dirinya di kamar, gelap, sendirian hingga ia terbangun saat langit sudah gelap di luar sana.
Ia butuh teman untuk berbagi kisahnya hari ini, tapi untuk saat ini sepertinya ia hanya bisa memendam sendirian saja. Walaupun ada Ellea, tapi ia tak ingin membuat Adiknya ikut memikirkan apa yang ia rasa saat ini, cukup ia saja yang tahu.
Mai menatap langit-langit kamar, rumah ini harusnya penuh canda dan tawa, rumah ini harusnya hidup, rumah ini harusnya menjadi satu-satunya tempat untuk pulang. Mai selalu membayangkan ada anak berseragam SMA yang pulang dari sekolah dan mencari dirinya di dapur.
Menanyakan apa yang menjadi menu makan siang dan malamnya hari ini, menghabiskan waktu bersama, berdiskusi tentang PR-PR dari sekolah atau bahkan hanya menonton serial televisi di Jumat malam sambil menikmati camilan.
Mai bergetar membayangkan hal itu, ia kembali menangis mengingat hal itu selalu ada dalam kepalanya. Khayalan itu, kapankah akan terwujud?
Ada helaan napas yang sangat berat, Mai lelah, tapi ia harus mencoba lagi meskipun diabaikan atau bahkan kembali diusir seperti tadi siang, Mai tak masalah.
Mai duduk di tepi tempat tidurnya, ia membuka tasnya mencari ponsel hitamnya di dalam sana. "Lho, mati?" ujarnya sambil menekan tombol home namun tak menyala, baterainya habis. "Oh ya, lupa charger." ponselnya kembali menyala setelah kabel charger terpasang, Mai tinggal ke kamar mandi dan beberapa detik setelah menyala semua notifikasi masuk berbarengan.
.
.
.
Di belahan dunia lain, ada Hardi yang berusaha menelepon Mai namun ponsel Mai tidak aktif hingga Hardi kesal sendiri. Saat sudah aktif, tak ada tanda-tanda teleponnya akan di jawab.
"Ke mana Mai ini?" gumamnya sendiri sambil terus berusaha menghubungi Istrinya itu. "Selalu kebiasaan kalau ke mana-mana nggak pernah bawa power bank." gumamnya lagi sampai akhirnya panggilan terjawab.
"Yang!"
"Iyaa, apa sih Mas? Biasa aja dong," sahut Mai di sana sambil menyalakan lampu-lampu rumahnya.
"Gimana mau biasa sih? Kamu di teleponin nggak nyahut, w******p nggak bisa! Dari mana sih?" cecarnya tak sabaran.
"Iya, maaf. Tadi aku habis mandi, lupa charger ini aku lepas lagi karena kamu telepon."
"Kamu bikin khawatir tahu nggak. Kamu udah ketemu sama Aliya?" tanyanya.
"Udah dan reaksinya... Dingin." Mai menghela napasnya berat.
Hardi sempat terdiam sebentar, ia membayangkan bagaimana reaksi Aliya dan kagetnya Mai dengan hal itu. "Nggak apa. Namanya baru ketemu sekali, coba lagi nanti."
"Ya." sahut Mai pendek.
"Mai? Besok Bik Minah datang ke rumah, aku minta buat jagain kamu sekalian bersih-bersih rumah." ujar Hardi membuat mata Mai membulat.
"Lho aku nggak butuh ART, Mas. Biar aja Bik Minah di villa kita." elaknya enggan.
"Nggak bisa, Mai. Kamu sendirian di sana, aku tahu kamu nggak mungkin mau nyusahin Adik kamu kan?" skak. Mai terdiam lagi. "Pokoknya besok pagi Bik Minah udah ada di rumah, jangan pergi ke mana-mana dulu."
"Iya deh.." Mai pasrah akhirnya. Ingin sekali ia menceritakan apa yang di alaminya, tapi ia tak ingin membuat Suaminya itu kepikiran.
"Satu lagi, besok beli power bank. Kebiasaan buruk kamu tuh harus di hilangin, biar aku tahu kamu ada di mana."
Mai terkekeh, ia tahu Hardi memang se-posesif itu padanya. "Iya Mas.., maaf ya aku suka ceroboh kalau udah low battery, hehehe."
"Hmm, ya udah aku siap-siap berangkat ke kantor dulu. Love you,"
"I love you more.." sambungan telepon itu terputus dan layar kembali ke panel utama.
Besok weekend, Mai sudah punya rencana akan pergi ke panti siang hari jika Bik Minah datang tepat waktu di pagi hari sebelum berangkat. Ya, ada benarnya Hardi mengirimi ART yang selama ini tugasnya hanya menunggui villa keluarga milik Mai di Bandung sana.
Villa peninggalan kedua orang tua Mai dan El, semoga saja nanti, suatu saat ia bisa membawa serta Aliya ke sana. Ke villa, kebun teh, kebun berry. Mai hanya tersenyum getir mengingatnya.
"Kapan, ya?" batinnya lagi.
******
Tepat pukul 6 pagi, Bik Minah sampai di rumah Mai. Ya, ART itu sudah lama bekerja dengan keluarganya, orang kepercayaan setelah kedua orang tua Mai wafat saat dirinya mengandung Aliya empat bulan.
"Jadi non Aliya teh di mana sekarang, Bu?" tanya Bik Minah setelah mereka berdua banyak cerita.
"Ada Bik, cuma ya dia nggak ngenalin saya. Salah saya baru cari dia sekarang, tapi nanti pasti dia pulang ke rumah ini. Sekarang saya mau berangkat, kalau jadi mau menginap dulu seminggu di panti, Bik. Titip rumah ya." ujar Mai sendu.
"Iya Bu."
Mai segera siap-siap setelah menungaskan beberapa hal untuk dikerjakan Bik Minah selama dirinya tak ada, yang paling penting adalah jangan lupa menyirami tanamannya.
Ia segera meninggalkan rumah, mengendarai mobilnya ke arah Pejaten, ia yakin sekali Aliya ada di sana karena sekarang hari Sabtu. Ia tak peduli lagi dengan Anneke yang mungkin saja akan memintanya pergi seperti kemarin.
Mai sudah sampai di halaman panti, ada juga beberapa mobil yang terparkir sepertinya ramai dan di sana ada sepeda Aliya juga. Turun atau tidak sama sekali.
"Bismillah.." Mai turun dari mobilnya, melangkah pelan ke arah pintu masuk panti.
Mai masuk ke sana di sambut beberapa volunteer panti yang pasti mengiranya adalah salah satu orang tua yang akan mengadopsi anak di sini. Ia telusuri banyak foto yang tertempel di tembok hingga ia sampai di ruang tengah, ada perform dari anak-anak. Mai melihatnya dari jauh, ia edarkan pandangannya dan ia melihat Aliya tengah serius dengan kameranya. Mai hanya tersenyum, ia tak berani menegur duluan sampai akhirnya Anneke yang melihat Mai lebih dulu, Mai tersenyum canggung ke arah Anneke, ia tahu masih ada sirat kecewa itu.
Tepat saat anak-anak selesai perform, Anneke menghampirinya dan menyeret Mai ke ruang kerjanya. "Mau apa kamu ke sini, Mai?!"
"Urusan kita belum selesai, Ke. Please, i need that chance." mohonnya sekali lagi.
"Kesempatan apa lagi yang kamu mau? We've waiting for you to come, many years ago. Tapi kamu dan Suami kamu tidak ada itikad baik untuk itu jadi aku rasa, kesempatanmu sudah habis." ujar Anneke dingin.
"Kami juga berusaha cari kalian! Tapi kalian pindah, kamu nggak tahu kalau empat tahun yang lalu Mas Hardi datang ke rumah lama kamu tapi kalian nggak ada di sana sampai semua informasi aku dapatkan dari Ellea." balas Mai tak kalah dingin, ia berusaha menahan semua gejolak untuk marah dan mencerca.
Anneke yang kini balik terdiam. Ia juga salah, padahal bisa saja ia juga mencari Mai dan Hardi lewat media sosial tapi nyatanya tidak.
"Kenapa kamu diam? Merasa bersalah juga nggak pernah coba cari kami lewat media sosial?" tanya Mai, Anneke jadi keki sendiri.
"Mau kamu sekarang apa?" tanya Anneke akhirnya.
"Aku mau menginap di sini. Seminggu."
Anneke mengerutkan dahinya. "Aku dan Aliya tidak tinggal di sini. Rumah kami di Kebagusan." ujar Anneke.
"Oke, nggak apa. Lebih bagus dan sering ketemu sama Aliya."
Anneke hanya bisa geleng kepala dengan kelakuan Mai yang seperti ini. Kalau sudah begini apa bisa ia mengusir Mai seperti kemarin itu? Pasti Aliya akan curiga bila hal itu terjadi dan untuk saat ini Anneke akan membiarkan Mai untuk tinggal di rumahnya selama satu minggu ke depan.
"Tunggu di sini." ujar Anneke meminta Mai menunggu di ruangannya saja sementara Anneke mengurusi anak-anak di depan.
Mai memindai sekelilingnya, ia melihat banyak foto menggantung di dinding, tak jarang ia melihat foto Anneke dan Aliya di dalam bingkai yang menggantung di dinding, foto yang tak pernah ia miliki bersama Aliya. Seketika mata dan hatinya terasa perih, ia lewatkan semua tumbuh kembang Aliya, ia lewatkan semua hal tentang anaknya itu dengan sia-sia.
.
.
.
"Bu, Yaya pulang ya. Amel, Tya sama kembar mau ngerjain tugas di rumah." ujar Aliya pada Ibunya saat selesai dengan pekerjaannya.
"Oh ya udah. Tapi bareng sama temen Ibu ya?"
Aliya menatap Ibunya heran. "Siapa?"
"Ada pokoknya, dia di ruangan Ibu. Yuk!" Anneke membawa Aliya ke ruangannya dan betapa terkejutnya Aliya bahwa wanita yang kemarin di temuinya ada di sini.
"Hai Aliya," sapa Mai. "Kita ketemu lagi." ujarnya, Aliya diam saja tak merespon apapun.
Ada getir terasa di hati Mailanny, kenyataan bahwa Aliya menolaknya saat ini sungguh kentara. Sakit rasanya, namun sepertinya rasa sakit yang Lanny rasakan kemarin dan hari ini tak sebanding dengan apa yang Aliya rasa sepanjang hidupnya ini.
"Ah, sepertinya anak ini harus di dekati pelan-pelan." gumamnya dalam hati.
"Ya udah, Aliya pulang sama Tante Mai, ya?" Aliya kembali memandang Ibunya sambil menggelengkan kepalanya. "Lho katanya ada tugas, lagian kamu nggak ada kerjaan lagi kok."
"Tapi.. -"
"Tante Mai mau nginap di rumah kita, jadi Yaya temenin dulu ya? Nanti malam Ibu pulang." ujar Anneke lagi.
"Iya deh..." jawabnya pasrah setengah hati lalu pamitan pada Ibunya dan pulang bersama Mai.
Sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang berarti, Aliya hanya sesekali menunjukkan jalan menuju rumahnya hingga mereka sampai di depan sebuah rumah minimalis bercat biru putih.
Rumah itu nampak rapih sekali karena penghuninya jarang ada di rumah. Aliya mempersilahkan Mailanny masuk dan menunjukkan kamarnya di lantai 1.
“Kamar Tante di sini ya. Kalau mau ke toilet atau mau mandi lurus di sana tuh, terus dapur juga. Kalau mau apa-apa ambil sendiri ya, feels like your own home.” Aliya menjelaskan. Sejauh ini, kalimat tadi lah yang terpanjang Aliya ucapkan.
“Iya, terima kasih ya, Nak.” jawabnya seraya tersenyum. "Oh ya, katanya teman kamu mau datang? Mau Tante masakin apa, Al?"
Aliya berpikir sejenak. "Apa aja." jawabnya singkat lalu pergi naik ke kamarnya sambil menunggu teman-temannya datang.
Mai hanya tersenyum maklum di depan kamar saat melihat Aliya meninggalkannya. Seperti ini kah rasa sakitnya terabaikan? Mai tahu, Aliya bukan anak yang seperti itu, feelingnya bilang kalau Aliya hanya begini pada orang yang baru di kenalnya, ia akan buat Aliya luluh padanya dalam waktu singkat.
Mai masuk ke kamar yang akan di tempatinya selama seminggu ke depan, ia duduk di tepi tempat tidur mengamati kamar mungil ini. Dari beberapa barang yang ada, sepertinya ini adalah kamar Aliya waktu kecil karena ada banyak fotonya terpasang di dinding dan nakas.
"Maafin Mama, Sayang." Mai meraba foto Aliya kecil yang ia ambil dari atas nakas.
.
.
.
Mai kini berada di dapur, tadi ia mencari bahan untuk di masaknya hari ini karena teman-teman Aliya akan datang untuk mengerjakan tugas.
"Ada keju, makaroni dan susu." gumamnya. "Masak mac n cheese aja deh." gumamnya lagi dan mulai merebus makaroninya.
Ada suara ramai-ramai di pintu depan, tak lama kemudian Aliya turun dari lantai dua dengan tergesa-gesa dan segera membuka pintunya. Teman-temannya datang, Mai tersenyum dari jauh melihat Aliya begitu semringah.
"Ada Ibu, Ya?" tanya Amel saat melihat ada orang yang memakai kerudung di dapur.
"Bukan, itu temennya Ibu." jawab Aliya pelan sambil sibuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Mai datang membawa makanan juga minuman untuk teman-teman Aliya. "Ayo makan dulu, pasti lapar kan?"
"Waahh.."
"Apa tuh, Tante?"
"Hmm mac n cheese.."
Mereka nampak antusias, lain dengan Aliya yang biasa-biasa saja padahal itu makanan kesukaannya yang tersaji di depan matanya.
"Ya, demenan lo tuh." ucap Tya tiba-tiba, Aliya hanya mengangguk saja.
"Ayo dimakan dulu, Al." Mai menyodorkan satu piring untuk Aliya.
Aliya hanya mengangguk patuh saja, ia menyuap sesuap demi sesuap ke dalam mulutnya. Enak, ini enak, Aliya belum pernah makan mac n chesee seenak ini walaupun Ibu yang membuatnya. Aliya tak kuasa lalu mengambil sesendok besar lagi mac n cheese dari piring saji.
"Enak, ya?" tanya Mai yang sedari tadi memperhatikan Aliya dengan seksama saat makan. "Yang lain, ayo nambah."
"Bener Tante?" tanya Riko dan Rino bersamaan, Mai mengangguk.
Mai menyimpul senyumnya. Rasanya hangat melihat Aliya dengan lahap memakan masakan buatannya. Ini kah rasa bahagia yang hakiki?
Jika iya, sungguh amat sangat sederhana bahagia itu.
Sebahagia dan sesenang itu melihat Aliya mengapresiasi masakannya walau tanpa kata-kata yang terucap. Mai jadi semakin semangat.
---------