Aliya tengah mematut dirinya di kaca sambil memakai kerudung putih seragam sekolahnya hari ini, sambil bersenandung kecil Aliya memasukkan buku-bukunya juga beberapa barang yang tak boleh ketinggalan, dompet, earphonenya serta ponsel selalu di genggamnya.
Ia turun ke lantai bawah, sambil mengetik pesan di ponselnya, ada Anneke dan Mai di sana sedang mengobrol. Aliya mencium pipi Ibu, morning kiss setiap hari lalu duduk di sampingnya. Seperti tercubit, hati Mai terasa sakit saat menyaksiksan mesranya Aliya dengan Anneke namun ia berusaha sekuat mungkin untuk menutupinya.
"Bu, Yaya pamit ya." Aliya pamit setelah menghabiskan sarapannya, ia meraih punggung tangan Ibunya lalu di kecupnya.
"Hati-hati, ya bawa sepedanya jangan ngebut." pesan Anneke.
"Aliya, kamu ke sekolah naik apa?" Mai mencoba meyakinkan walau ia tahu jawabannya.
"Bukannya Tante udah tahu ya?" Aliya masih saja skeptis dan sarkas.
Mai tersenyum canggung mendengar jawaban Aliya, sementara Anneke hanya bisa menepuk dahinya. "Tante antar, ya?" tawarnya.
"Makasi Tante, sekolahnya dekat kok, nggak usah." tolak Aliya sehalus mungkin lalu keluar rumah sebelum di paksa berangkat dengan Mai.
Mai menghela napasnya pasrah, Anneke pun tak bisa membantu banyak. Ya, setidaknya Aliya sudah sedikit lebih ramah walaupun masih sarkas. Anneke dan Mai saling terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, selama 15 menit.
Mai melirik ke arah tempat duduk Aliya tadi, ponsel Aliya tergeletak begitu saja di sana. Ia tersenyum seketika. "Ke, ini handphone nya Aliya ketinggalan, aku yang antar ya?"
"Ya-yaudah, antar aja."
Bergegas Mai segera mengganti baju dan kerudungnya, secepat mungkin ia masuk ke dalam mobilnya. Di lain sisi, Anneke salut dengan kegigihan sahabatnya itu demi mendapat perhatian Aliya, apapun sepertinya akan Mai lakukan dan seperti tadi, sungguh Anneke tidak enak hati, Aliya memang sulit di prediksi, tapi ya biarkan saja. Aliya akan melunak dengan sendirinya, ia akan terbiasa dengan Mai lalu akan merasa kehilangan ketika Mai pulang nanti.
.
.
.
Kini Mai terjebak dalam macetnya Jakarta, astaga, ini kah yang Aliya bilang dekat? Ini sudah dua kilo dari rumah dan Aliya mengayuh sepedanya sejauh itu? Jalanan Jakarta bukan tempat yang aman untuk para pesepeda, terlalu banyak motor dan mobil serta kendaraan lain yang membuat lajur sepeda menghilang.
Mai memijat pelipisnya pelan membayangkan selama ini Aliya memilih sepeda daripada di antar atau setidaknya naik bus kuning alias bus sekolah yang di sediakan pemerintah kota Jakarta secara gratis.
Akhirnya ia sampai di sekolah Aliya tepat setelah upacara selesai, terlihat dari anak-anak yang berhamburan dari lapangan dan masuk ke kelasnya. Ia turun dari mobil ketika semua sudah masuk ke kelasnya, ia berjalan ringan sampai di depan meja piket dan bertanya soal Aliya.
"Permisi, Ibu, saya mau tanya. Kelasnya Aliya, di mana ya?" tanyanya ramah.
"Aliya siapa ya bu? Di sini ada 3 orang yang namanya Aliya." sahut si guru piket berseragam PGRI ini.
"Oh, Aliya Ariana."
"Oohh Yaya? Mari Bu, saya antar." mereka beranjak naik ke lantai 3 sekolah. "Dia ada di kelas 12 IPA, bu. Tumben, biasanya Ibu Anneke yang kemari, Ibu Adiknya ya?"
"Iya, saya Adiknya Ibu Anneke." sahutnya di sertai senyum lalu hening setelah guru tadi ber-oh ria menanggapi jawaban Lanny hingga mereka sampai di lantai 3, sayup terdengar suara riuh anak-anak. Ibu guru ini langsung mempercepat langkahnya karena penasaran ada apa di kelas 12.
***
"ALIYA! Kurang ajar lo ya!" teriak seorang anak yang berambut hitam panjang sedang berkelahi dengan Aliya.
"EH! s****n! Lo yang kurang ajar, lo duluan yang hina-hina gue! Lo nggak pernah tahu rasanya ada di posisi gue!!" Aliya terisak sambil terus menarik rambut temannya itu.
“Ehhh…, pungut! Urusan kita belum selesai!” Tiara lalu menarik kerudung putih Aliya hingga lepas dan memamerkan rambut panjang Aliya ketika membalikkan badan, semua orang di kelas tercenung melihat rambut indah milik Aliya.
“Eeehh!! Anjrit!! Kok lo kurang ajar sih?” Aliya mendorong tubuh Tiara hingga menabrak tembok.
BUGGGHHH
Hilang sudah kesabaran Aliya.
“Lo boleh hina-hina gue seenak jidat lo yang lebar segede stadion GBK! Sesuka hati lo! Tapi jangan pernah lo tarik kerudung gue!” ucap Aliya sarkas lalu terjadilah adegan tarik menarik rambut dan ciput kerudung juga adegan cakar-cakaran antara Tiara dan Aliya, hingga guling-gulingan di lantai.
Tak ada yang berani melerai perkelahian Tiara dan Aliya. Yang lain hanya menjadi penonton dan berteriak-teriak. “Hajar aja, Ti!” dan yang lain “Jedotin aja, Le!” mereka semua memprovokasi Tiara dan Aliya, perkelahian semakin sengit.
“Yaya!! stop, Ya! Nanti Ibu lo marah!” pekikkan Amel dan Tya tak mampu melerai mereka berdua.
Rino dan Riko sedang berusaha melerai mereka, namun yang terjadi bukannya Tiara dan Aliya yang berhenti berkelahi justru si kembar kena sasaran pukul Tiara dan Aliya.
“Buset, si Aliya ganas juga kalau ngamuk. Sakit juga pukulannya.” ucap Rino yang masih mengusap-usap kepalanya yang terkena pukulan.
“Sama, Tiara juga. Aduh, gegar otak nih gue, aduh.” Riko juga terkena bogem mentah.
Ibu Rika, guru piket--sekaligus guru BK yang mengantar Mai ke atas pun segera menggebrak pintu ketika ia melihat keributan di dalam sana.
"Astaga! Alamakjang!" teriaknya. "Yaya, Tiara! Kalian ini mau ibu jemur di lapangan lagi ya?" sergahnya, ia sudah hapal, Aliya dan Tiara memang sering sekali bertengkar seperti ini, ya siapa lagi pemantiknya kalau bukan Tiara Kinandari.
"Kau lagi Tiara, nggak kapok ya? Yaya pakai kerudung kamu!" perintahnya dengan logat Batak yang khas.
Aliya memakai kerudungnya asal lalu menarik jaket yang tersampir di tempat duduknya. Ada bagian wajah yang lebam, lengan kemeja dan roknya sobek, Aliya sudah acak-acakan.
"Pas sekali, Yaya, ada Tante kamu di depan kelas, kamu nanti nyusul ke ruang BK."
"I-iya bu," Aliya lalu berjalan keluar kelas dan menemukan seseorang yang di sebut Ibu Rika tadi.
Mata mereka bertemu pandang, ingin rasanya Lanny menangis melihat apa yang terjadi pada Aliya dan apa yang di ributkan dengan temannya tadi. Aliya mendekat menghampiri.
"Ada apa, Tante?" tanyanya.
Mai menyentuh lebam di pipi Aliya. Aliya mendesis menahan sakit. "Sebenarnya Tante kemari mau kasih ini," ia mengeluarkan ponsel berwarna putih berlogo apple tergigit di sampingnya. "Sebelah mana lagi yang sakit, Sayang?" tanyanya lagi sambil berusaha menyentuh wajah Aliya namun di tepis.
"Aku nggak apa-apa, Tante pulang aja." pintanya lalu berbalik.
"Sama kamu." Mai mencekal tangan Aliya.
"Selesaikan dulu apa yang tadi tejadi. Ayo, kamu di panggil ke ruang BK kan?" ajaknya lalu Aliya di bawa turun ke lantai bawah dengan beberapa tatapan dari teman-temannya yang keheranan dengan siapa Aliya saat ini.
Tiara dan Aliya tertunduk, mereka terlihat acak-acakkan, dan penuh memar. Kini mereka berada di ruang BK bersama wali mereka masing-masing. “Apa-apaan ini? Ini sekolah! Bukan pasar! Apa perlu Ibu seret kalian ke lapangan lagi?”
"Tapi Aliya mulai duluan Bu." sergah Tiara membalikkan fakta.
Aliya diam saja tak menanggapi, Ibu Rika serta Ibu Melly tahu mana yang paling sering berbuat onar di kelas ini.
Ibu Melly menatap Ibu Rika yang ada di sampingnya dan menganggukkan kepala. “Ini udah kesekian kalinya Tiara berkelahi, lagi-lagi hampir mencelakai temannya sendiri jadi hukuman yang pantas adalah skorsing selama 2 hari dan tidak akan mendapatkan nilai di pelajaran saya."
“Terus Aliya dapat apa Bu Melly? Dia kan juga menyerang saya!” ucap Tiara yang masih saja membela dirinya yang seolah-olah tak bersalah. Playing victim.
Priska memelototi anaknya. “Tiara, diam!”
“Aliya? Aliya Ibu izinkan untuk pulang hari ini dan bebas dari hukuman Ibu ataupun Ibu Rika. Ibu juga mengizinkan Aliya istirahat besok. Kalau kamu tidak memulai, Aliya tidak akan menyerang kamu Tiara. Bepikirlah logis.” ucap Bu Melly tenang.
Wajah Tiara terlihat murka mendengar pernyataan itu. “Enak banget bu! Nggak bisa gitu dong!” protes Tiara.
“Tiara!” Priska membentak Tiara sekali lagi dan kini menamparnya.
Tamparan itu mendarat di pipi kirinya yang kini memerah. “Mama?” Rintih Tiara.
“Stop! Kamu ini salah! Kamu udah hampir mencelakai anak orang! Sekarang kita pulang! Hukuman dari Mama, kamu nggak boleh keluar rumah dan uang jajan kamu Mama potong!” ucap Priska sambil terus menatap anaknya dengan tajam.
Tiara hanya bisa tertunduk malu akibat teriakkan dan tamparan yang ia terima dari Mama nya. “Minta maaf sama Aliya,” namun Tiara enggan. Priska lelah menghadapi Tiara, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan membawa Tiara pulang.
"Kita pulang ya Sayang?" ajak Mai, Aliya masih diam saja enggan bicara.
Sejak tadi juga tidak berusaha untuk membela dirinya sendiri, tanpa perlu membela pun sesungguhnya Mai juga tahu bahwa Aliya adalah bullying victim di sini. Mai lalu pamit membawa Aliya serta tas sekolahnya keluar dari ruang BK, ia membawa Aliya lebih dulu masuk ke dalam mobil sementara dirinya mengambil dan melipat sepeda Aliya yang berada di parkiran sekolah lalu di masukkan ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan juga tak ada percakapan berarti, hanya hening saja kecuali suara radio mobil memutarkan lagu Anji-Dia menambah suasana sendu yang sejak tadi Aliya ciptakan.
Rasanya sulit untuk menembus dinding es yang Aliya bangun tinggi-tinggi, ia seolah menutup diri walau sesungguhnya Mai tahu Aliya anak yang baik.
Sampai di halaman rumah, Aliya cepat-cepat turun dari dalam mobil walau susah payah, jam segini Ibunya belum berangkat ke panti. Beliau pasti masih ada di dalam.
Aliya segera masuk dan menemukan Ibunya berada di dapur, beliau sedang memasak untuk dibawanya ke panti. Anneke heran mengapa anaknya bisa ada di sini, dan saat ia melihat lebam di wajah Aliya ia sudah tahu karena apa Aliya pulang.
Aliya lantas menangis tersedu di pelukan Anneke, sejak tadi ia berusaha menahan air matanya dengan pura-pura tertidur sepanjang perjalanan.
Mai masuk dengan menenteng tas sekolah Aliya, ada perih di hatinya saat ia melihat Aliya bahkan lebih terbuka dengan Anneke ketimbang dirinya yang bagi Aliya, ia bukanlah siapa-siapa.
"Bajumu nanti beli yang baru ya, roknya bisa kok Ibu jahit lagi." ujar Anneke saat ia melihat beberapa sobekan di seragam Aliya yang hanya ditanggapinya dengan anggukan.
"Yaya, Tante obati ya lukanya?" Mai kembali ke ruang tengah dengan baskom berisi air dan batu es serta handuk kecil untuk mengompres luka di pipi Aliya namun lagi-lagi Aliya menolak dengan diam namun punggungnya masih bergetar lalu memilih naik ke atas, masuk ke kamarnya dan segera ganti baju.
Anneke dan Mai terpekur menatap Aliya perlahan menghilang masuk ke kamarnya. Sebulir air mata jatuh dari mata Mai, oh, sakitnya terabaikan. Mengapa rasanya bagai terhujam ribuan jarum, perih.
"Sabar. Ke kamarnya sana. Aku mau berangkat ke panti, titip Aliya ya." Anneke mengusap punggung Mai perlahan, mencoba menguatkan sahabatnya itu.
"Kalau dia menolak lagi, gimana?" ucap Mai pesimis.
"Nggak akan kali ini. Percaya aku, kalau udah kesakitan biasanya Aliya menurut." Anneke menepuk pundak Mai perlahan lalu kembali memintanya naik dan masuk ke kamar Aliya.
Dengan segenap keberanian yang ia miliki, kali ini Mai sudah berdiri di depan kamar Aliya membawa P3K serta air es tadi. Ia buka pintu kamar itu perlahan dan mengedarkan pandangannya, kamar bernuansa baby blue serta pink ini terlihat cerah ceria namun sang penghuni kamar kini tengah meringkuk kesakitan di atas tempat tidurnya.
Mai meletakkan bawaannya di nakas samping tempat tidur, perlahan ia duduk di tepi, ia mendengar desissan dan rintihan kecil dari Aliya, ia mencoba membalikkan tubuh Aliya perlahan. Mai usap kening hingga kepala Aliya yang kini terlepas dari kerudungnya menguraikan rambut hitam legamnya di atas bantal.
"Sayang, Tante obati ya?"
Aliya tak melawan, ia membuka matanya perlahan dan mengangguk kecil. Dengan sangat hati-hati Mai menempelkan handuk dingin ke pipi lebam Aliya agar tak keperihan lalu di olesi salep agar lukanya tak tambah parah.
Selesai di pipi, ia beralih ke lengan Aliya, penuh cakaran di sana. Ya Tuhan, mengapa mereka bertengkar hingga sebrutal ini?
"Awwwhh, jangan di pegang, Tante! Sakit!" pekiknya saat Mai menyentuh luka cakar itu sedikit.
"Kita ke dokter sekarang ya? Tante takut ada luka dalam." ajaknya dan Aliya kembali menolak lalu memilih tidur dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Ingin Mai menelusup ke dalam selimut dan memeluk Aliya dalam kesakitannya ini, ia tahu ini semua salahnya kalau bukan karena dirinya mungkin kini Aliya takkan jadi bahan bully temannya tadi.
Mai menyelimuti Aliya lalu keluar dari kamar Aliya. Tangisnya pecah saat dirinya sudah turun ke dapur, ia tak pernah tahu bahwa di sekolah Aliya di bully karena statusnya dan sampai separah itu mereka bertengkar.
Rasa bersalah di hati Mai semakin menjalar ke mana-mana. Ia ingin bongkar itu semua sekarang namun rasanya tak mungkin, ia tak ingin Aliya semakin menjauhinya karena hal itu.
"Ibu macam apa aku..." batinnya sambil matanya tak henti mengeluarkan air mata.
---------