Chapter 3

699 Words
Selamat membaca Keesokkan harinya. Ajeng sedang bersiap-siap untuk berangkat ke bandara. Ia sudah memesan tiket pesawat secara online dan lebih memilih penerbangan pada pagi hari. Tentu saja, karena ia ingin segera bertemu dengan kakeknya dan secepatnya pergi dari rumah terkutuk ini untuk mencari udara segar. Ia merasa bosan terus berada di dalam rumah mewah ini. Bagaikan burung di dalam sangkar emas. Percuma saja tinggal di dalam sangkar emas jika ia tidak bisa terbang bebas melihat indahnya dunia. Setelah Ajeng selesai menyiapkan kopernya. Ia segera turun menuju lantai bawah sambil membawa kopernya. Ternyata di lantai bawah sudah ada Sultan yang sedang membuka lemari es untuk mengambil minuman. Ajeng melirik ke arah jam dinding. Masih jam tujuh pagi. Tapi kenapa Sultan sudah bangun? Tidak biasanya Sultan bangun pagi saat hari libur. Jika Sultan pulang ke rumah, dia hanya akan menghabiskan waktunya di ruang kerja dan tidur bersama dokumen-dokumennya. Ajeng berdecak. Ia sudah berniat pergi tanpa berpamitan dengan Sultan, tapi sialnya ia malah bertemu dengan manusia batu itu. Ajeng membuang napas kasar. Ia berhenti di depan meja makan. "Aku mau jenguk kakek di Jogja," pamit Ajeng singkat. "Bukan urusanku," sahut Sultan datar sambil menutup lemari es. Ajeng mengepalkan tangannya erat. Memang seharusnya ia tidak perlu berpamitan dengannya. Buang-buang tenaga aja! Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Tin Tin Tin Ajeng segera bergegas keluar saat melihat taksi yang ia pesan sudah datang. "Berapa lama?" tanya Sultan masih dengan nada datar saat melihat Ajeng ingin membuka pintu. Ajeng menatap Sultan dingin. "Bukan urusanmu!" jawab Ajeng ketus dan langsung membuka pintu kasar. Ia sudah sangat kesal dengan sikap Sultan yang acuh tak acuh kepadanya. Padahal ia bicara dengan nada biasa, tapi kenapa Sultan selalu bicara dengan nada sinis dengannya? Apakah harus bicara dengan nada seperti itu? Apa Sultan tidak bisa santai sedikit saja? Apa harus memasang wajah kaku itu setiap hari? Memikirkannya saja sudah membuatnya emosi tingkat dewa. "Hei!" panggil Sultan kencang saat Ajeng membuka pintu mobil. Ajeng tersentak kaget. Hei? Apa-apaan dia? Kurang ajar! Ajeng masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobil kasar Ia sama sekali tidak berniat bicara dengan Sultan. Sesekali ia juga harus mengabaikan manusia batu itu. Saat mobil sudah di nyalakan, tiba-tiba Sultan menghampirinya. "Aku antar," ucapnya dengan nada memerintah seakan tidak menerima penolakan apapun. "Nggak usah!" tolak Ajeng ketus. "Maaf, Pak. Tidak jadi pesan. Saya yang akan mengantarnya," ucap Sultan ramah kepada sopir taksi. Ajeng menggertakkan giginya. "Nggak usah dengerin, Pak. udah jalan aja," ucap Ajeng menahan emosi. Sopir taksi terlihat sangat bingung dan bimbang. Sebenarnya dia harus mendengarkan kata siapa? Ajeng yang dari tadi moodnya sudah memburuk menjadi tidak sabaran. "Pak, sekarang saya harus ke bandara. Kalau Bapak diam aja saya bisa terlambat, Pak!" "Tapi ...." Sopir itu terhenti saat melihat stir kemudi ditahan oleh Sultan. "Minggir tangannya!" bentak Ajeng kasar. "Tidak akan!" tolaknya tegas. Ajeng mengepalkan tangannya erat. Tiba-tiba ia keluar dari mobil dan memukul wajah Sultan keras. Sekarang emosinya sudah benar-benar sampai puncaknya. Sopir itu ternganga lebar saat melihat Ajeng memukul Sultan. Bahkan dia sampai melongo. Dia tidak menyangka jika seorang wanita sanggup memukul seorang pria sampai terhuyung. Bahkan tenaganya sangat besar untuk ukuran wanita. Sultan menatap Ajeng dengan tatapan tidak percaya. Walaupun hanya satu pukulan, tapi pukulannya benar-benar sangat kuat. Bahkan bibirnya sampai robek dan berdarah. Sultan meringis kesakitan saat menggerakkan bibirnya. "Udah pak jalan," suruh Ajeng tegas setelah memasuki mobil. "I-iya, Bu," ucap sopir itu gugup. Tapi saat mobil itu sudah akan dijalankan, Sultan justru berdiri di depan mobil. "Jancok!!" umpat Ajeng kasar. "Bu, itu ...." "Awas, Pak. Saya aja yang nyetir," tukas Ajeng emosi. Sopir itu hanya mengangguk dan pindah duduk di kursi penumpang. Sultan sangat yakin Ajeng pasti tidak akan menjalankan mobil itu. Ajeng tidak mungkin berani menabraknya. Tapi di luar dugaan, Ajeng justru tidak ragu-ragu untuk menabrakkan mobil itu ke arah Sultan. Sultan membelalakkan matanya lebar. Ia segera menyingkir saat Ajeng melajukan mobilnya dengan sangat cepat dan tersenyum miring ke arahnya. Sultan memegang dadanya yang terasa sesak seakan ia sulit untuk bernapas. Jantungnya berdegup sangat kencang. Ia merasa jika baru saja melakukan sport jantung Ia benar-benar tidak menyangka jika Ajeng senekat itu. Sultan mencoba mengatur napasnya agar kembali stabil. Wanita gila! TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD