Chapter 4

789 Words
Selamat membaca Beberapa jam kemudian, akhirnya Ajeng tiba di depan padepokan yang terlihat sangat besar dan luas. Ajeng tersenyum lebar. Ia melentangkan kedua tangannya sambil menikmati semilir angin di kampung halamannya. Ajeng menghirup udara dalam-dalam. Ia benar-benar sangat menghayati penuh penjiwaan. Udara di sini dan di Jakarta memang sangat berbeda. Ia mencium aroma kebebasan. "Hahahaha!" Ajeng tertawa sendiri. Tentu saja ia merasa bebas, karena sekarang ia bisa pergi sepuasnya dengan keluarga dan semua teman-temannya yang berada di sini tanpa harus meminta ijin kepada Sultan terlebih dahulu. Di sini semua orang menyayanginya, dan memperlakukannya dengan baik. Berbeda 180 derajat dengan saat ia tinggal bersama Sultan di Jakarta. Di Jakarta ia tidak bisa pergi kemana-mana dan hanya bisa berdiam diri di rumah. Karena di sana tidak ada satu pun orang yang ia kenal. Ditambah lagi ia harus tinggal dengan seorang suami yang tidak mempunyai perasaan seperti Sultan. Lengkap sudah penderitaannya. Seorang suami yang tidak mau bicara sedikit pun dengan istrinya sendiri. Mengingatnya saja sudah langsung membuat darahnya mendidih. "Mbak Ajeng!" seru seorang anak remaja sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Ajeng. Dia berjalan menghampiri Ajeng dengan wajah ceria. Ajeng yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh ke arah sumber suara yang sangat ia kenal. "Lintang!" panggil Ajeng senang. "Loh? Sendiri aja, Mbak?" tanya Lintang yang tidak menemukan keberadaan Sultan. "Emang sama siapa lagi?" tanya Ajeng jengah. "Mas Sultan mana? Nggak ikut?" "Alah, udah-udah. Nggak usah bahas dia, aku males!" tukas Ajeng kesal sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Bagus deh Mbak kalau nggak ikut, soalnya aku nggak suka sama dia." Ajeng hanya tersenyum. Tidak heran jika adiknya ini tidak menyukai Sultan. Dilihat dari sifat Sultan yang susah diajak berkomunikasi dan tidak bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, jadi wajar saja jika banyak orang yang tidak menyukainya. Karena Sultan terlihat sangat angkuh dan arogan. "Oh iya, kakek di mana, Dek?" "Kakek lagi ngelatih anak-anak. Mana Mbak, aku bawain kopernya." Ajeng tersenyum tipis. "Uluh-uluh, adik Mbak udah gede ternyata bisa bawa koper," ledek Ajeng sambil mengacak-acak rambut Lintang. "Apaan sih, Mbak? Aku bukan anak kecil lagi." Ajeng terkekeh saat melihat wajah Lintang yang terlihat sangat kesal dengan ucapannya itu. Walaupun usia Lintang sudah 21 tahun, tapi Ajeng memang masih saja menganggap dan memperlakukan Lintang seperti layaknya anak kecil. "Iya, iya, adik Mbak udah gede," ucap Ajeng dengan nada yang terdengar menyebalkan di telinga Lintang. Lintang mengabaikan ucapan Ajeng dan langsung masuk ke dalam begitu saja. meninggalkan Ajeng yang masih tertawa terbahak-bahak karena sudah berhasil menggodanya. Ajeng memegang perutnya yang kaku karena terlalu lama tertawa. Rasanya sudah lama sekali ia tidak pernah tertawa sampai seperti ini. Akhirnya ia menyusul Lintang masuk ke dalam padepokan kakeknya. "Kakek!" panggilnya riang ketika melihat kakeknya sedang melatih anak-anak beladiri. Sedangkan Prabu menatap Ajeng datar. "Kakek, gimana kabarnya?" tanya Ajeng setelah mencium punggung tangan Prabu. "Ingat Kakek juga kamu!" tukas Prabu sinis. "Mana laki-laki itu?" tanyanya dengan nada menyindir. Ajeng memutar bola matanya malas. Ternyata kakeknya ini masih marah dengannya. Sejak awal Prabu memang tidak menyukai Sultan. Di matanya Sultan bukanlah laki-laki yang baik untuk Ajeng. "Dimana dia?" tanya Prabu sekali lagi dengan nada ketus. "Di rumah," jawab Ajeng seadanya. "Kenapa nggak ikut?" Ajeng terdiam. Prabu menghela napas panjang. Sebenarnya ia juga malas membahas tentang laki-laki lemah itu. "Makan dulu sana, awak mu tambah kuru nduk (badan mu tambah kurus nduk)." Ajeng tersenyum lebar. Walaupun kakeknya ini masih marah dengannya, tapi dia tetap kakeknya yang sangat perhatian dan penuh kasih sayang. "Berapa hari kamu di sini?" "Ajeng belum tau, Kek. Maunya di sini terus, soalnya di sana sepi." Prabu mengangguk. "Jangan kembali ke sana sebelum dia jemput kamu!" "Siap, Komandan!" tutur Ajeng patuh sambil meletakkan tangannya di pelipis seakan memberi hormat. Prabu tersenyum puas. "Nah ini baru cucu kebanggaan Kakek." ***** Lima hari kemudian. Pyarrrr Sultan membanting gelas ke dinding. Ia baru saja pulang dari kantor dan sama seperti biasanya. Ketika ia masuk ke dalam rumah, ternyata masih belum ada tanda-tanda keberadaan Ajeng. Sudah lima hari Ajeng belum balik ke Jakarta. Dan sudah lima hari pula, ia tidak pernah bercinta,l dan menahan gairahnya mati-matian. Bahkan terkadang ia melakukannya sendiri di kamar mandi. Ia seperti laki-laki yang kurang belaian dan kasih sayang. "Arghhhh!!" teriaknya frustasi. "Beraninya dia tidak pernah memberi kabar!" geramnya murka sambil menggebrak meja. Tidak mungkin jika ia yang harus menyusul Ajeng ke Yogyakarta. Karena itu pasti akan membuat Ajeng besar kepala. Sultan mengeluarkan ponselnya dari kantong celana hitamnya. Ia membuka kontak dan mencari-cari nomor telepon seseorang. Sultan menepuk jidatnya saat mengingat sesuatu. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Jika ia tidak mempunyai nomor telepon Ajeng. Pasangan suami-istri macam apa ini? Nomor teleponnya saja tidak punya. Sekarang bagaimana caranya ia bisa menyuruh Ajeng pulang? TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD