Part 3. Malam Pertama

1066 Words
Tidak ada kesempatan bagi Gadis menolak perjanjian itu. Dia harus melakukannya apa pun yang terjadi. Memang benar apa yang dikatakan oleh Leo, dengan dirinya menerima perjanjian itu, dia akan mendapatkan segalanya. Bahkan setelah dia berhasil melahirkan seorang anak lelaki, dia akan mendapatkan satu milyar. Kini, perjanjian sudah disepakati. Hubungan saling menguntungkan itu pun segera dimulai. Gadis yang tadinya perempuan bebas, kini terikat, dan entah cepat atau lambat, dia juga akan menjadi seorang ibu setelah pernikahannya dengan Leo dilaksanakan. Gadis tak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya setelah statusnya berubah. Berumah tangga tanpa cinta, dikekang, tapi sayangnya dia tak memiliki pilihan lain selain menerimanya. Dua minggu setelah itu, setelah luka yang Gadis dapatkan dari aksi melarikan diri malam itu, pernikahan diadakan. Jangan bayangkan ada pesta mewah, karena pernikahan mereka hanya dilakukan di KUA. Tanpa orang tua dari Leo apalagi Gadis. Sementara, hubungan mereka adalah hubungan yang tersembunyi. Entah sampai kapan. Tapi, bukankah itu lebih baik untuk Gadis? Dengan begitu, dia masih akan terlihat seperti perempuan single pada umumnya. “Hari ini, kita pergi ke dokter.” Suara Leo menyentakkan Gadis yang tengah menekuni sarapannya. Ini adalah minggu pertama mereka sudah menjadi suami istri. Dan hari-hari mendebarkan bagi Gadis. Setiap malam, dia merasa ketakutan kalau-kalau Leo ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Tapi, seolah tahu jika Gadis belum siap, Leo masih memberinya waktu. “Kenapa? Bapak sakit?” tanya Gadis. “Kita ke dokter kandungan.” Gadis menghentikan kunyahannya. “Kita periksakan kandungan kamu dan memastikan kamu siap dibuahi.” Ucapan frontal itu membuat Gadis tersedak ludahnya sendiri. Leo mendorong air minum Gadis dengan pelan untuk didekatkan pada sang istri. Leo bahkan mengimbuhi, “Saya hanya ingin memastikan jika kandungan kamu aman dan normal. Saya juga akan memeriksakan diri saya sendiri.” Gadis tidak tahu ada lelaki seperti Leo. Begitu mudah melontarkan kata yang bagi Gadis sangat rawan untuk didengar. Bagaimanapun, dia masih sangat muda. Dia bahkan belum pernah ciuman karena sejak dulu dia tak pernah memiliki kekasih. “Kamu dengar, Gadis?” Karena Gadis tak kunjung menjawab, Leo memastikan lagi. “Ya, Pak,” cicit Gadis dengan wajah merona merah. Ada seringaian yang muncul di bibir Leo tanpa ada yang menyadarinya. Gadis merasa tenggorokannya tidak bisa menelan makanan lagi. Sendok dan garpu yang tadi di genggamnya pun diletakkan di samping piring. Kepalanya menunduk menatap nasi yang ada di piringnya tanpa berniat melanjutkan makan. Pukul sepuluh pagi, mereka berangkat ke dokter kandungan terbaik di sebuah rumah sakit. Melakukan sejenis pemeriksaan yang diperlukan dan meyakinkan jika Gadis benar-benar memiliki kandungan yang sehat. “Kenapa Bapak ingin buru-buru punya anak?” Pertanyaan itu akhirnya Gadis keluarkan setelah mereka keluar dari rumah sakit. Untuk mengeluarkan pertanyaan ini saja, Gadis menahan ketakutannya setengah mati. Dia takut kalau Leo akan memarahinya. Ya, memang selama dia tinggal satu atap dengan lelaki itu, tidak sekalipun dia diperlakukan buruk. Tapi, bagaimanapun dia sudah menanyakan sesuatu yang bersifat ‘pribadi’ kepada Leo yang tak seharusnya dia lakukan. Namun, Leo menjawabnya. “Alasan saya melakukannya, kamu tidak perlu tahu. Tugasmu hanya satu, melahirkan anak laki-laki untuk saya.” *** Pintu kamar Gadis terbuka dan memunculkan Leo di ambang pintu. Lelaki itu menatap ke arah Gadis sebelum menutup pintu kemudian menguncinya. Gadis yang tadinya hanya berdiri di depan jendela kaca menatap pada langit malam, segera mengalihkan tatapannya pada sosok tinggi yang kini berjalan ke arahnya. Jantung Gadis yang tadinya normal, lantas bereaksi cepat. Berdetak maksimal. “Sudah waktunya, Gadis,” bisik Leo tepat di depan gadis itu. Mata tajamnya menatap Gadis, memindai profil sang istri dari atas sampai bawah. Tangan lelaki itu terangkat mengelus pipi, berpindah ke rambut dan menyelipkannya di belakang telinga, lalu telunjuknya bermain di lengan Gadis yang tak tertutup. Gadis mengenakan baju tidur sutra tanpa lengan. Kulit putihnya terlihat begitu indah di bawah cahaya lampu. Gadis tidak bermaksud mengenakan pakaian seperti itu untuk menggoda Leo. Tapi entah ide dari siapa, baju tidurnya semuanya memiliki jenis yang sama. Tidak ada baju tidur gambar kartun yang selama ini dia sukai. Tubuh Gadis membeku tak bisa bergerak. Perempuan itu bergetar ketakutan. Kedua tangannya saling meremas merasakan tangan Leo menyentuh kulitnya. Sudah waktunya? Itu artinya, Leo ingin meminta haknya? “Pak, Saya ….” Suara Gadis terdengar bergetar. “Jangan takut. Aku tahu kamu belum berpengalaman. Tapi, aku berjanji tidak akan menyakitimu.” Gadis merasakan tubuhnya melayang saat Leo mengangkatnya ke dalam gendongannya. Membuatnya segera mengalungkan kedua tangannya ke leher lelaki itu. Tatapan mata Leo yang memerangkapnya membuat Gadis tak bisa berkutik. Gadis pasrah saat Leo menguasai tubuhnya. Pada akhirnya, Gadis harus merelakan sesuatu yang berharga dalam dirinya diambil oleh lelaki yang disebutnya sebagai suami. Malam ini akan menjadi malam pertama yang tidak akan pernah Gadis lupakan. Kesedihan Gadis bertambah saat dia membuka matanya di pagi hari, Leo sudah tidak ada di sampingnya. Dirinya ditinggalkan seperti seorang p*****r yang hanya didatangi saat dibutuhkan. Gadis menertawakan dirinya sendiri. Berguling ke kiri dan menggenggam selimutnya erat, menatap kosong pada dinding yang ada di depannya tanpa ekspresi. Air matanya bahkan tak sanggup untuk keluar meskipun hatinya menangis pilu. Ketukan pintu kamar Gadis terdengar saat dia baru saja keluar dari kamar mandi. Dia segera membukakan pintu kamarnya dan mendapati Bu Yuni – kepala pelayan – bersama pelayan yang lain, berdiri di depan kamarnya. “Selamat pagi, Non,” sapa Bu Yuni dengan senyum ramah. “Kami mengantarkan sarapan untuk Non Gadis.” “Kenapa diantarkan? Saya bisa turun.” Bu Yuni tersenyum lagi. “Tidak ada-apa, Non. Kami juga ingin memberikan beberapa barang untuk Non Gadis.” Gadis membuka pintu kamarnya lebih lebar mengizinkan mereka masuk. Pelayan yang membawa nampan berisi sarapan segera meletakkan nampan itu di atas meja sofa, lalu kembali keluar. Menyisakan Bu Yuni dan Gadis hanya berdua saja. “Bapak meminta saya memberikan barang-barang ini untuk Non Gadis. Dan juga kartu ini.” Gadis yang tadinya berdiri di samping ranjang pun segera duduk di sofa dan melihat tumpukan barang mewah tersebut. Laptop, ponsel, dan kartu debit. “Barang-barang ini buat saya?” Gadis memastikan lagi. “Benar, Non.” Gadis menatap benda-benda itu dalam diam. Dia memang membutuhkannya, tapi dia tak pernah menyangka kalau Leo akan memberikannya secepat ini. Lamunan Gadis buyar ketika suara pintu tertutup terdengar. Bu Yuni sudah pergi meninggalkan Gadis di kamarnya. Seolah tahu ponsel itu sudah ada di pemilik baru, sebuah nomor tanpa nama muncul di layar ponsel. “Halo.” Gadis berbicara lirih. “Ini nomerku.” Suara Leo terdengar. “Pastikan kamu menyimpannya.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD