Bab 3

1656 Words
Bab 3 Jalan-jalan ke Taman Sari. Aku jemput jam 8 ya ara—itu pesan dari Adam yang muncul di layar ponsel Ara. Dia baru saja selesai sarapan dan hendak berganti baju ketika melihat pesan singkat itu. Hari ini Adam memang mengajak Ara jalan-jalan. Sejak kunjungan adam ke kafe Ara, hubungan mereka memang menjadi lebih dekat. Sekalipun itu hanya sebatas chat singkat di WA yang berisikan sapaan basa-basi, tapi Ara sudah senang. Setidaknya itu menunjukkan Adam serius mendekatinya. Yang Ara tau, Adam ini tipe laki-laki cuek di chat. Setiap mereka chatting Adam pasti hanya membalas seperlunya. Membuat Ara harus berpikir lebih jika ingin chatting itu bertahan lama. Adam juga tidak pernah mengirimkan chat perhatian pada Ara, tidak pernah menanyakan Ara sudah makan apa belum, atau memberi ucapan selamat malam ketika Ara pamit tidur. Ara tentu saja tidak berpikiran aneh-aneh, ia memaklumi. Mungkin memang seperti itu karakter Mas Adamnya. Yang tidak suka mengirim chat romantis seperti anak remaja yang baru mengalami pubertas. Setelah mengenakan baju, kerudung dan berlenggak-lenggok di depan kaca, Ara meraih ponsel. Mengecek jam yang sudah hampir pukul delapan. Ia pun meraih tas bewarna hitam yang ia isi dompet, tisu kecil, lipstick dan ponsel. Beberapa menit lagi, Adam pasti sudah sampai di depan rumahnya. Benar saja, ketika Ara keluar dari rumah suara motor CB Klasik terdengar mendekat ke arah rumahnya. Adam juga menggunakan jaket hitam dengan helm bewarna senada. "Pakek motor mas?" Tanya Ara dengan raut wajah ragu. Pasalnya ia kira dia dan Adam akan naik mobil. Tapi...sungguh mengejutkan. Cinta pertamanya itu malah membawa motor CB klasik yang sudah dimodifikasi sehingga terlihat sangat keren. "Kamu nggak mau?" Jawab Adam, ia melepas helm miliknya. Menampakkan wajahnya yang ganteng. Tatanan rambutnya yang rusak itu tidak membuat ketampanannya berkurang. "Ha..eh..gpp sih, ga masalah aku. Aku juga lebih suka pakek motor." Arra tak bohong, buktinya mobilnya di garasi itu mungkin sudah hampir satu bulan tidak dia keluarkan. "Yauda, ambil helm kamu." Ara menurut, langkah kakinya kembali ke dalam rumah. Mengambil helm bogor dengan corak batik favoritnya. "Mas, kita mau kemana si?" Tanya Ara sembari naik ke atas motor Adam. Adam tak menjawab, mulutnya hanya diam dan gerakan tangannya bersiap menyalakan motor. "Ke taman sari." Jawab Adam setelah motornya berhasil keluar gang perkampungan rumah Ara. "Taman sarii? Ngapainn?" Ujar Ara. Ara itu asli jogja, jadi dia uda sering ke taman sari. Jarak rumahnya dengan taman sari juga deket banget, makanya ketika Adam ngomong gitu dia jadi bingung. "Pengen aja, lagian aku uda ga pernah ke sana. Terakhir ke sana waktu kelas enam SD." Kata Adam. "Serius mas? Oh iya mas Adam sempet mondok kan yaa?" Kata Ara. Ia sedikit memajukan tubuhnya agar bisa mendengar suara Adam. Tapi tak sampai menempelkan dadanya. Sekalipun begitu, jarak mereka dekat sekali, Ara bahkan mampu mencium aroma tubuhmu Adam yang mampu membuat hatinya bergetar. "Loh kamu kok tau?" Tanya Adam. Mampus, Ara keceplosan! Adam emang ga pernah cerita masalah ini ke Ara. Lebih tepatnya obrolan mereka belum sejauh itu—yang sampai menceritakan masa lalu. "Oh itu...em....tante Bilqis yang bilang.." Kata Ara dengan suara gagap. Pikirannya blank tak tau harus ngarang macam apa. Alhasil ia mengkambinghitamkan Ibunda Adam. "Emangnya kapan ketemu Bunda?" "E...itu mas..bukan aku yang ketemu, Mama. Jadi aku diceritani Mama kalau dulu Mas mondok." Ya bagus...terusin aja ngarangnys Araa. Baguss—batin Ara. "Oh.." Di depannya, Adam mengangguk-anggukan kepala. Tampaknya ia percaya dengan alasan Ara. "Iyaa, aku mondok dari lulus SD sampek kuliah. Jadi yaa bisa dibilang separuh hidupku aku habisin di kota orang." "Lama juga ya Mas," Kata ara. "Pantes aja aku ga pernah denger berita Mas lagi." "Lagian kamu juga uda pindah kan." "Iyaa, hehe." Adam tak mengatakan apapun lagi. Membuat perbincangan mereka berhenti. Di jok belakang, Ara pun menikmati jalanan Jogja yang pagi itu mendung. Berbeda sekali dengan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga. "Mas mondok dimana si?" Mulut ara gatel, dia nggak betah kalau diantara mereka cuma diem-dieman. Akhirnya dia bertanya sesuatu yang sebenarnya dia sudah tau jawabannya. "Di daerah Jawa Timur Ra, di pondoknya Abah dulu." "Oh..mas disuruh Abah mondok disitu?" "Iyaa." "Dipaksa gitu ya mas?" "Awalnya sih dipaksa, tapi waktu lulus MTS aku nggak mau pulang. Keenakan mondok." "Oh.. Seru ya Mas mondok itu?" "Iya Ra, seru." "Mas Adam kalau punya anak juga mau anaknya mondok?" "Ha?" Zara baru menyadari apa yang ia tanyakan. Gadis itu pun sedikit panik tapi kemudian ia tutupi kepanikannya itu dengan tawa yang cukup keras. "Tiba-tiba aja pengen nanya itu Mas." Kata ara yang membuat suasana semakin canggung. Adam juga nggak ngomong apa-apa. Sampai motor mereka berhasil parkir di tempat parkir Taman Sari. Mereka sudah tiba, di taman sari yang pagi itu masih belum ramai. Terbukti di parkiran hanya ada sepuluh motor yang sudah terparkir. Biasanya jika ramai, parkiran itu penuh. Setelah mendapatkan karcis dari tukang parkir, mereka pun memasuki area Taman Sari. Keduanya masih diam, Ara membuka pembicaraan karena takut membuat suasana semakin canggung. Sementara Adam tak berniat membuka pembicaraan. Apa seperti ini pribadi Adam sebenarnya? Tidak bicara jika tidak diajak bicara terlebih dulu. Langkah kaki mereka menyusuri pintu masuk Taman Sari. Karena tak tahan untuk diam, Ara akhirnya mengatakan sesuatu. "Ke Umbul Pasiraman dulu yuk Mas?" Ujar Ara. Adam mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Ara. "Makin bagus ya sekarang.." Ujar Adam. Matanya menelisik setiap sudut umbul pasiraman. Menikmati dinding-dinding coklat dan birunya kolam. Umbul pasiraman ini adalah dulunya tempat pemandian para putri, selir dan para permaisuri sultan. "Iya Mas, akhir-akhir ini emang diperbaiki buat narik para wisatawan." Kata Ara. Tiba-tiba saja ketika mereka hampir sampai di pinggir kolam, berjatuhan air dari langit. Menimbulkan suara berirama yang membuat siapapun ada disana panik. Termasuk Ara. Ara sontak menarik baju Adam, dan mengajaknya menuju bangunan yang dulu merupakan ruang ganti baju para putri. Mereka memasuki ruangan itu, berlindung dari hujan yang turun dengan derasnya. "Allahumma sayyiban nafi'an," Ucap Ara dengan suara pelan. Di sampingnya, mendengar Ara mengucap doa itu membuat Adam menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Maaf ya Ra," Kata Adam. Sejak lima belas menit yang lalu, mereka hanya diam. Zara sibuk mengusap-usap tangannya karena suhu udara di sana menjadi dingin. Hujan pagi itu memang cukup deras. "Ha," Ara menoleh pada Adam, menatap.wajah cowok itu sekilas. "Maaf buat apa mas?" "Ya maaf uda ajak kamu ke sini tapi ujan." "Gpp, lagian hujan juga berkah kan mas?" Kata Ara dengan senyum mengembang. Adam melihat senyum itu, kemudian mengangguk tanpa mengatakan apapun. Suasana ini sangat canggung. Lebih canggung dari yang tadi karena keduanya tak ada yang berniat memecahkan keheningan. Akhirnya dua puluh menit berlalu dan mereka hanya saling diam. "Mas," Ara membuka suara. "Pernah denger mitos yang bilang kalau orang ciuman di taman sari bikin hubungannya langgeng ga?" "Pernah," "Mitos itu ga bener mas." "Ha?" "Aku dikasih tau sama tour guide yang disini," Kata Ara. "Oh, lagian aku juga ga percaya si Ra." "Hahahah ya barang kali aja Mas percaya gituan." "Yang aku percaya, kalau doa waktu ujan dikabulin." "Beneran mas?" "Iyaa." "Ya uda aku mau doa dulu." Ujar Ara sembari menengadahkan tangannya. Matanya tertutup dan mulutnya mengucapkan sesuatu tanpa suara. Di samping Ara, Adam diam-diam menatap perempuan itu sembari menyunggingkan senyum. Sebuah senyum yang sejak tadi ia simpan sendiri. "Udah?" Kata Adam, ketika Ara membuka matanya dan mengangkat kepalanya. "Udah," Jawab Ara sembari tersenyum senang. "Doa apa?" "Ha?" "Kamu doa apaa?" "Kok mas kepo?" "Doa biar aku jodohmu?" "Ih, pede sekali!" "Terus?" "Aku gamau bilang." "Yauda aku tinggal aja kamu di sini." "Ya jangan gituuu Mas" "Yauda makanya, kasih tau aku." Ara menatap Adam kesal, ternyata Adam juga bisa ngeselin yaa? "Aku doa semoga kamu selalu bahagia." "..." Adam diam, tidak tau harus bereaksi seperti apa. "Maaf ya mas," "Maaf kenapa?" "Maaf kalau aku nyebut nama mas di doaku." "Gpp ra, toh doa baik kan?" Ara mengangguk. "Aku yang seharusnya makasih." "Makasih?" "Iyaa, makasi uda do'ain aku." Hujan pagi itu tampaknya akan reda. Buliran air yang jatuh tak sederas tadi. Sinar matahari sedikit demi sedikit mulai menampakkan diri. Melihat hal itu, membuat Ara bernafas lega. Setidaknya ia bisa terhindar dari situasi aneh ini. --- "Lorong bawah tanah ini nyambung sampai keraton loh mas." Ujar Ara. Hujan sudah reda, dan mereka melanjutkan perjalanan untuk mengelilingi Taman Sari. Adam di samping Ara hanya memasang wajah tenang sembari mengangguk mengerti. Sejak tadi, Ara memang menjadi tour guide dadakan Adam. Berasa Adam tourist dari luar negeri. "Dulu kalau keadaan keraton ndak aman, sultan sama permaisurinya bakal ngelewatin lorong ini biar bisa sampai di Taman Sari. Para prajurit juga lewat lorong bawah tanah ini kalau mau ke benteng...benteng...aduh aku lupa namanya lagi." "Pojok benteng maksud kamu?" "Iya! Ih, kok mas tau?" Adam hanya tersenyum. "Mas sebenarnya tau ya?" "Tau apa?" "Ya tau tentang yang aku omongin tadiii?" "Tau." "Kok mas nggak bilang sih?" "Ya kamu lucu, aku ini masih orang jogja Ara..masih tau sejarah kotaku. Bukan wisatawan yang lagi liburan." "Ya mas kan bilang ga pernah ke sini lagi." "Ga pernah bukan berarti lupa kali Ra," "Ah! Ngeselin ah! Mas Adam ternyata ngeselin bangett!" ara menjauh, dengan raut wajah yang terlihat kesal. Adam terkekeh, kemudian menahan tangan kanan gadis itu. "Mau kemana?" "Mau pulang." "Naik apa?" "JALAN KAKIII!" Melihat Ara yang seperti orang marah itu, Adam malah terkekeh geli. Ia kemudian mengikuti Ara yang kini tengah berjalan cepat. Mereka menuju pintu keluar. "Jangan ngambek Raa," ".." Ara diam. "Yaauda deh, kalau ngambekan berati ga jadi aku ajak ke pantai kesirat." Ara sontak berbalik, "apa?" Katanya dengan raut wajah terkejut. "Apanya yang apa?" "Mas tadi bilang apa?" "Mas bilang apa emang?" "Jangan mulai ngeselin deeeh!" "Ahaha, iyaa minggu depan kalau kamu free mas mau ajak ke pantai kesirat." "Pantai Baru kan itu?" "Iyaa, mau nggak?" "Mauuuuuuuuu." Ucap Ara dengan antusias. "Yauda, jangan marah." "Oke!" Adam pun hanya bisa tersenyum lebar melihat mood Ara yang berubah menjadi membaik. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, Ara mengajak Adam ke kafenya untuk memakan sesuatu. Sekalipun sempat menolak, Adam akhirnya mau. Dia bahkan makan dengan lahap masakan buatan Ara. Katanya masakan Ara enak sekali. Dan jujur, pujian itu membuat Ara terbang melayang. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD