Bab 2

1247 Words
Mas Adam serius ketika bilang dia pengen mampir ke cafe Ara. Buktinya hari ini lelaki itu menelpon Ara dan memberitahu akan merealisasikan rencananya. Kemarin waktu Mas Adam main ke rumah Ara, mereka memang sempat bertukar nomor telepon. Sekalipun begitu Ara masih merasa ini tidak nyata. Ia seperti menjadi pemeran utama disebuah cerita khayalannya sendiri. dimana ia akan menikahi cinta pertamanya. Dulu Ara berharap Mas Adam akan menelponnya atau mengiriminya pesan, kini harapan Ara menjadi nyata. Perempuan berusia 25 tahun itu hampir memekikkan suaranya ketika melihat nama Mas Adam ada di layar ponselnya. Mas Adam Calling... “Halo Mas?” ujar Ara sembari menenangkan jantungnya yang kini berdegub kencang. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam, Ara kamu dimana?” Ucap Mas Adam dengan suara khasnya. Suara berat yang nyaman sekali di telinga Ara. “Di cafe mas, kenapa? Mas mau ke sini?” Ara teringat ucapan Mas Adam dua hari yang lalu, yang bilang akan mampir ke cafenya. “Iya, gpp kan?” Ya gpp sih, tapi..Ara sontak menatap kacaa yang ada di dekatnya. Menatap pantulan dirinya yang dibalut gamis dan kerudung biasa dengan warna yang senada. Dia terlihat jelek sekali. tapi..biarlah, toh sejak awal Ara memang ingin tampil apa adanya kan di depan Adam? “Bolehh dong Mas, Ara tunggu yaa? Eh tapi emangnya Mas ga kerja?” Tanya Ara. Ia melirik jam di ruangannya, yang masih menujukkan pukul sepuluh siang. “Mas habis ngirim barang ke penginapan deket malioboro ra, mumpung ada di sini, mas mau mampir, boleh kan?” “Boleh dong mass.” “Yaudaa, kamu kirim alamatnya yaa. Mas jalan dulu.” “Okeh.” Ara tak berhenti tersenyum. Hatinya mendadak penuh mendengar Adam memanggil dirinya sendiri ‘Mas’. Astaga...gemas sekali! Sembari menunggu Adam datang, Ara pun keluar ruangannya. Mengecek keadaan kafe yang siang itu masih sepi. wajar, jika masih jam kerja kafe Ara memang sepi. mungkin hanya ada tiga atau empat pengunjung yang berjalan-jalan di malioboro. Kafe bernama “Matahari” itu memiliki disain interior yang astetik. Seluruh dinding bewarna putih, dan ada banyak hiasan dinding yang terbuat dari kayu. Khas kafe jaman sekarang yang bagus banget kalau dimasukin feeds ig. Mungkin karena itu kafe Ara ini menjadi kafe yang cukup terkenal di daerah Malioboro. Apalagi makanan yang enak dan harganya terjangkau, membuat para muda-mudi ketika malam asyik nongkrong di kafe itu. “Kak Ara uda sarapan?” seseorang mendekati Ara yang tengah sibuk membersihkan area pantri. Dia adalah Citra—salah satu barista di kafe itu. “Uda sarapan Cit, Bara uda dateng?” Kata Ara menanyakan pegawai yang bertugas sebagai koki di dapur. “Uda kak, baru aja.” Jawab Citra yang kini entah sibuk apa. yang jelas ia merasa tak enak jika diam saja sedangkan bosnya tengah sibuk beres-beres. “Bagus deh, ini kamu terusin ya...coba kamu tata lagi biar lebih rapi. aku mau ketemu Bara dulu.” Ujar Ara sembari meninggalkan area pantri itu dan menuju dapur. Di kafenya ini memiliki dua juru masak, dua barista dan tiga pelayan. Dan mereka semua Ara pekerjakan dari awal kafe ini berdiri. Untungnya mereka betah, karena akan susah jika melatih pegawai baru yang belum berpengalaman. “Baraa,” sapa Ara pada pria yang kini sibuk di depan kompor. Pria dengan kulit putih dan ramput gondrong itu sontak menoleh ke arah Ara, “Ada apa Mbak? Butuh sesuatu?” “Nggak, kamu lagi sibuk apa? ada pesenan?” “Iyaa, ini ada yang gojek Nasi goreng. Tapi uda hampir selesai kok, kenapa Mbak? Ada yang perlu dibantu?” “Nanti ada Mas Adam ke sini, kamu masakin menu andalan kafe kita yaa.” “Mas Adam?” ujar Bara bingung,”siapa tuh? Pacar Mbak Ara?” tebaknya dengan menatap Ara penasaran. “Bukan pacar Bar,” kata Ara sembari menahan senyumnya. “Dia temen masa kecilku.” “Ohh, Cuma temen masa kecil...okay,” kata Bara dengan wajah menggoda. Ara pun meninggalkan Bara dengan wajah sumrigah. Melihat itu tentu saja Bara sudah tau, jika Mas Adam bukan hanya sekedar teman masa kecil. Apalagi selama Bara mengenal Ara, wanita itu tak pernah terlihat dekat dengan lelaki manapun. Jadi jika ada yang sampai datang ke kafe, dan Ara ingin dimasakkan yang enak, tentu saja itu bukan lelaki biasa. Ponsel di saku Ara bergetar ketika wanita itu berjalan menuju gudang. Ia hendak mengecek persediaan bahan baku hari ini, sebelum Adam datang. Ara mengambil ponselnya dan berjalan memasuki gudang. Tanpa melihat siapa yang telepon, Ara menganggkatnya. Perhatiannya kini terbagi pada lemari es yang menyimpan bahan baku organik. “Halo, Assalamu’alaikum..” ujar Ara. “Wa’alaikumsalam wr wb.” Suara Adam, Ara sontak menutup lemari es itu dan mengecek nama yang tertera di layar ponselnya. Nama Adam! “Mas Adam sudah di mana?” tanya Ara sembari keluar dari gudang. Melupakan niat awalnya untuk mengecek bahan baku. “Ini mas sudah masuk kafe kamu,” kata Adam. Ara semakin mempercepat langkahnya, dan setelah melewati dapur, ruang istirahat pegawai, musollah, toilet, akhirnya Ara mendapati Adam tengah berdiri di depan pantri. “Mas Adam!!” Sapa Ara sembari mendekati Adam. “Mas ganggu kamu?” “Nggak!” Jawab Ara cepat, “mas uda pesen?” “Belum sih, mas bingung pesen apa. makanya Mas telpon kamu.” “Mas uda makan belum?” “Belum” “Belum makan apa? siang apa sarapan?” “dua-duanya.” “Ih mas! Kok belum sarapan siii? Nanti kalau sakit gimana?” Adam tertawa melihat Ara yang khawatir. “ciee perhatiaan..” Kaki Ara lemas karena Adam menatapnya dengan tatapan hangat dan senyum manis. Untung saja Ara segera menguasai dirinya agar tidak lupa daratan. Menginggat di depan mereka ada Citra yang sejak tadi terdiam. “Yauda Mas pesen minum aja, entar makananya aku pesenin yang paling enak.” Adam pun memesan kopi dan air putih. Setelah itu Ara mengajak Adam duduk di kursi favoritnya. Dekat jendela yang menampilkan jalanan malioboro yang ramai. “Suasana kafe kamu enak yaa, tenang, adem dan bagus buat foto.” Kata Adam sembari duduk di hadapan Ara. “Iya Mas, kan anak jaman sekarang suka kafe nggak Cuma makanannya, tapi juga tempatnya.” “Betul.” “Mas habis dari mana?” “Nganter pesenan Ra, biasanya ada yang nganter sendiri tapi maskan uda janji mau ke kafe kamu. Jadi yauda Mas yang nganter sambil mampir.” “Oh,” Suasana canggung menyelimuti keduanya. Ara tak tau harus bertanya apalagi, karena ia mendadak jadi orang g****k yang ga bisa mikir saking groginya. Sementara Adam kini terlihat menikmati suasana di luar jendela. Ketika mereka terdiam, lagu Raspodi JKT48 mengalun indah di penjuru kafe. Menjadi soundtrack ketika diam-diam Ara menatap Adam yang khusyuk menatap jendela. Lelaki dengan hidung mancung, kulit sawo matang, senyum manis dan alis lebat itu terlihat sangat tampan di mata Ara. Membuatnya merasa sangat beruntung karena akan menikah dengan Adam. Di satu sisi Ara pun menanyakan pada semesta, apa dia pantas bersama lelaki itu? “Ra,” Adam mengalihkan pandangannya menatap Ara. Sontak saja Ara mengalihkan pandangannya. Ups, dia ketahuan ngeliatin Adam. Malu bangetttt. “Ra, aku boleh tanya sesuatu?” “Apa Mas?” Ujar Ara yang masih tak berani menatap wajah Adam. “Kamu uda siap nikah?” Pertanyaan yang cukup mengejutkan, Ara pun terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan itu. “Mas, Ara selama ini sibuk kerja. ndak pernah kepikiran Nikah, tapi waktu Ibu bilang Mas lamar Ara, jujur di dalam hati Ara langsung setuju.” Mendengar jawaban Ara, Adam terdiam. Terlihat tengah memikirkan sesuatu. TBC Hayo...mikiran apa tuh dam?? xx. muffnr
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD