Pagi ini, Alleta bangun lebih pagi. Menginap di kediaman mertuanya tentu membuat Alleta harus tahu diri. Tidak mungkin dirinya bangun siang, apa kata mertuanya nantinya?
Tidur Alleta kali ini cukup nyenyak, dia dapat tertidur dengan pulas. Mungkin Alleta terlalu lelah sehingga membuat tidurnya jauh lebih nyenyak dari sebelumnya.
Gadis berusia 19 tahun itu kini tengah berada di dapur membantu sang mertua dalam menyiapkan sarapan. Bangun pukul 05.30 dan langsung menuju dapur setelah mencuci muka, Alleta melihat sosok wanita paruh baya yang dia yakini adalah asisten rumah tangga di rumah mertuanya. Tak berselang lama ibu mertuanya datang dengan wajah lebih segar daripada semalam.
"Kamu tau? Abi suka banget sayur timun," kata Risya dengan tangan yang sibuk memotong mentimun nenjadi kecil-kecil.
Alleta yang mendapat bagian dalam mengupas dan memotong bawang menatap Risya dengan kening berkerut. Dirinya baru tahu jika ada sayuran seperti itu.
"Sayur timun?" ulang Alleta.
Risya menganggukkan kepala. Wanita itu berjalan ke kulkas untuk mengambil udang dan sayur. Alleta yang melihat itu segera menolong sang mertua untuk memindahkannya ke wastafel untuk dialiri air agar udang dan ayam tidak membeku lagi.
"Nanti kamu liat cara masaknya terus nanti kamu buat sendiri, ya," jawab Risya dengan senyuman dan mata yang menatap menantunya.
Alleta sempat terpaku sebelum akhirnya dia mengangguk kaku. Gadis itu kembali memotong bawang sembari menunggu udang dan ayam itu tidak beku lagi.
"Kita masak apa, Ma?" tanya Alleta dengan mata yang menatap bawang dan tangan bergerak memotong bawang.
Risya menoleh sejenak. "Sayur timun, udang balado, ayam goreng. Itu aja, sih. Untuk sarapan juga soalnya, jangan terlalu berat," jawabnya.
Alleta yang mendengar itu mengangguk pelan. Setelah satu jam berkutat di dapur akhirnya menu sarapan yang mereka buat selesai. Alleta memandang senang pada makanan yang telah tersusun rapi di atas meja.
"Kamu tolong bangunin Abi, gih," titah Risya sembari menyusun gelas di atas meja makan.
Alleta memandang sejenak Ibu mertuanya lantas mengangguk dengan pelan. Tanpa mengatakan apa pun gadis itu berjalan ke lantai dua menuju kamar sang suami. Alleta membuka perlahan pintu kamar, dia memandang sang suami yang masih terlelap.
Alleta berjalan mendekat, dia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Dipukul-pukul lengan Abi dengan pelan, tetapi pria itu sama sekali tak memberikan respons apa pun membuat Alleta menghela napas kasar.
"Kak, bangun dulu. Ayo, kita sarapan," kata Alleta dengan tangan yang terus menepuk lengan Abi.
Abi menggeliat dalam tidurnya. Dia membuka mata perlahan, hal pertama yang dirinya lihat adalah wajah Alleta yang tengah memandangnya dengan sedikit senyuman tipis. Abi mengubah posisi menjadi duduk, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kasur.
Alleta menatap lekat sang suami. "Cuci muka atau mandi dulu terus siap-siap. Mama udah nyuruh buat sarapan."
"Iya," balas Abi seadanya membuat Alleta mendengus kesal.
Kini mereka semua sudah berkumpul di meja makan. Rendi sang kepala keluarga terlihat sudah rapi dengan setelan jasnya pun dengan Abi yang berada di sisi kanannya.
Alleta bangkit dari duduknya, dia mengambil piring milik Abi. Mata hitam legamnya menatap lekat sang suami yang masih berkutat dengan ponsel, setahu dia Abi tengah meminta sekretarisnya untuk membatalkan rapat dadakan yang diajukan lima menit lalu oleh rekan bisnisnya.
Dia berdeham pelan berhasil menarik atensi Abi. Laki-laki itu segera meletakkan ponsel di atas meja. Dia mendongak guna memandang sang istri yang saat ini lebih tinggi darinya.
"Mau isi apa, Kak?" tanya Alleta.
Abi menatap menu makanan yang tersaji di atas meja. "Semuanya aja."
Alleta mengangguk pelan. Tanpa berbicara, gadis belia itu segera menyiapkan sarapan untuk sang suami. Semua itu tak luput dari pandangan Rendi dan Risya yang saat ini tengah mengulum senyum mereka.
Alleta meletakkan piring milik Abi di hadapan pria itu, gadis itu lantas mendudukkan diri di samping Abi dan menyiapkan sarapan untuk diri sendiri.
"Udah semua?" Rendi memandang satu per satu anggota keluarganya. "Ayo sarapan."
***
Siang ini, Alleta tengah menyiapkan makan siang untuk sang suami. Mertuanya itu meminta dirinya untuk membawa makan siang ke kantor Abi, mau tak mau Alleta harus menuruti ucapan sang mertua. Alleta menatap makanan yang baru saja dirinya masak dan letakkan di rantang, gadis itu tersenyum manis.
Dia menatap sekitarnya yang memang sepi, Rendi sedang berada di kantor dan Risya sedang mengikuti arisan bersama teman sosisalitanya. Gadis itu menatap kedua asisten rumah tangga kediaman ini yang tengah membersihkan dapur dan mencuci piring.
"Bi, kalau mau makan itu udah aku taruh di meja ya. Makan aja enggak papa, kasih ke satpam juga. Nanti kalau mama udah pulang tolong bilangin mama kalau aku ke kantor Abi, ya."
Alleta mengendarai mobilnya sendiri menuju perusahaan sang suami. Celana pendek yang dia kenakan tertutupi oleh kaos berwarna biru laut yang kebesaran di tubuhnya, jelas saja itu milik Abi. Jangan lupakan sneakers yang membalut kaki Alleta. Kulih putih dan kaki jenjang milik Alleta terekspos begitu saja, penampilannya lebih mencerminkan seorang Adik daripada istri untuk Abi.
Alleta menatap perusahaan sang suami. Dia menghela napas kasar lantas keluar dari mobil dengan tangan kanan yang menenteng sebuah rantang. Alleta berjalan santai memasuki lobby, dia berjalan ke arah resepsionis.
"Permisi, Mbak. Boleh saya bertemu pak Abi?" tanya Alleta dengan sopan.
"Maaf, kamu siapa ya?" Wanita itu memandang Alleta dari atas sampai bawah, memberikan tatapan penilaian yang berhasil membuat Alleta merasa kesal.
Senyum pada wajah Alleta luntur, tatapan gadis itu berubah menjadi datar. Tangan Alleta rasanya sangat gatal ingin mencolok mata wanita di hadapannya.
"Kamu sudah membuat janji?" sambung Repsesionis itu dengan tatapan angkuh.
"Sudah," balas Alleta seadanya.
Memang sebelum ke sini dirinya lebih dulu menghubungi Abi dan mengatakan bahwa dia akan membawa makan siang ke sana.
"Maaf, tetapi pak Abi tidak ada temu janji saat ini. Silakan Anda pergi."
Mendengar usiran itu tangan Alleta terkepal kuat. Dia segera menghubungi Abi, tetapi suaminya itu sama sekali tak mengangkat telepon dari sang istri. Alleta menggeram kesal, raut wajah gadis itu semakin datar. Dia menghubungi sang mertua jika dia akan langsung pulang ke kediamannua dengan alasan ada tugas kuliah yang harus Alleta selesaikan.
Tanpa mengatakan apa pun Alleta berjalan keluar dari perusahaan sang ayah mertua. Gadis itu menuruni kacamata hitam yang ada di atas kepalanya, dia berjalan angkuh ke arah mobil. Akan dia pastikan seseorang yang merusak hari liburnya akan menderita di keesokan hari.
"b*****h!"
Di sisi lain, Abi baru saja kembali dari ruangan rapat. Mata laki-laki itu membulat saat melihat sepuluh panggilan masuk dari sang istri. Dia lantas berlari menuju lantai dasar, pria itu menggeram tertahan saat tak melihat keberadaan Alleta.
Dia berjalan menuju meja repsesionis. Abi memandang datar sosok wanita yang tersenyum menggoda saat dirinya menghampiri wanita tersebut.
"Ada apa, Pak Abi?" Pertanyaan bernada menggoda itu membuat Abi merasa jijik.
"Apa ada sosok perempuan yang mencari saya?" tanya Abi.
Perempuan itu terdiam, tangannya di bawah sana saling menggengam merasa cemas. Dia menggeleng kaku, mata wanita itu menatap ke arah lain. Tatapan mengintimidasi dari sang atasan berhasil membuat wanita itu semakin ketakutan.
"Eng―enggak ada, Pak," jawabnya tergagap.
Abi mengerutkan kening, tangan pria itu terkepal kuat. Melihat ekspresi dari sosok di hadapannya ini jelas Abi sadar jika dirinya tengah berbohong saat ini.
"Dirga! Cek CCTV, jika ada perempuan yang berstatus istri saya mencari saya dan dia pergi begitu saja. Pecat Repsesionis ini," titah Abi.
"Baik, Pak," sahut orang kepercayaan Abi.
Wanita itu merasa tubuhnya panas dingin. Dia tak tahu jika perempuan yang dirinya usir adalah istri dari atasannya. Melihat penampilan Alleta yang lebih mencerminkan sebagai remaja membuat dirinya tak berpikir sejauh itu.
"Pak―"
"Saya tidak meminta kamu berbicara, Amel!" potong Abi. "Jangan harap kamu akan mudah mencari pekerjaan setelah ini."