Khilaf 3

1685 Words
Selain bersahabat dengan enam makhluk paling absurd sekecamatan, aku pun memiliki seorang sahabat yang tak kalah gilanya. Tegar Pria Pamungkas, atau biasa dipanggil Egar. Bukan anggota Soeseno karena tinggal di tempat yang berbeda. Aku dan Egar sudah berteman dan duduk sebangku sejak kelas satu SMA. Ketampanan Egar satu lapis di bawahku. Namun kemesumannya lebih dari delapan oktaf di atasku. Sedangkan kekayaan keluarganya tak terhingga berapa lapis di atas kekayaan kedua orang tuaku. Aku tidak tahu pasti, apa pekerjaan kedua orang tuanya. Tapi kehidupan keluarga Egar nyata sangat makmur bergelimang harta dan kemewahan. Bersama Egar aku tahu nikmatnya makanan yang super mahal. Dia tak pernah mentraktirku dengan jajanan yang ecek-ecek. Tak heran jika sebagian besar aset hidupku pun dikuasainya, termasuk buku pelajaran, buku tugas termasuk buku PR. "Tuhan Maha Adil, Jack. Beliau mempertemukan kita dalam kondisi yang berbeda. Jadinya kita sama-sama cerdas. Gua yang belum pernah masuk 25 besar sejak PAUD, akhirnya bisa merasakan nikmatnya masuk 9 besar si SMA, iya gak?" Egar menghibur diri. "Betul, Sejak orok gua gak pernah tahu gimana rasanya pizza, burger, NFC and starbuck yang harganya mencekik itu. Tapi sekarang, si Deblo aja udah hampir bosen memakan yang gituan. Selama lu masih mau main ke rumah gua, gizi adik-adik gua bakal tetap terjamin, he he he," timpalku. Lebih dari satu tahun kami berkawan laksana bakwan dengan sambal kacangnya. Pasangan ideal yang saling melengkapi dan sangat sayang dipisahkan. Hampir semua kebutuhan dadakan di sekolah, selalu teratasi dengan sangat baik olehnya. Bahkan termasuk pembayaran SPP-ku yang terkadang ngaret. Awalnya aku merasa sungkan dan tak enak hati, namun lama kelamaan jadi sangat terbiasa. Sebelum diajak berkunjung ke rumahnya, tak sedikit pun menduga jika sahabat anehku itu berasal dari keluarga tajir melintir. Aku hampir saja kencing di celana saat pertama diajak masuk ke rumahnya. Dia bukan orang sembarangan! Aku bahkan sempat menduga jika dia salah satu cucu sultan yang sedang menyamar. Kamar tidur dan kamar mandinya pun super lengkap dan mewah. Mungkin harganya sebanding dengan biaya sewa rumah kontrakan yang aku tempati untuk jangka waktu 15-20 tahun. Persahabatan kami nyaris tanpa sekat. Diantara kami tak ada rasa sungkan untuk saling bercerita. Bahkan untuk hal yang paling pribadi. Di sekolah kami terkenal dengan sebutan Duo Cogan Super Cool. Sempat juga tersiar kabar yang tak sedap. Beberapa cewek yang pernah patah hati karena cintanya kami tolak, mencurigai atau lebih tepatnya menuduh kami merupakan pasangan sesama jenis. Nauzubillah. Perbedaan yang sangat mencolok antara aku dan Egar, selain pencapaian nilai akademis, ialah kadar kemesuman otak masing-masing. Menurutku Egar sangat layak dinobatkan sebagai pelajar paling m***m sekabupaten. Tingkat kemesumannya sering membuat aku geleng kepala, melongo bahkan terbelakak tak percaya. Tak salah jika aku kadang memanggil namanya dengan Tegar m***m Pamungkas. Egar bukan pengoleksi video m***m, namun dia mengaku sebagai pelaku m***m itu sendiri. Aku menganggap pengakuannya itu hanya isapan jempol belaka dari seorang manusia paling halu sedunia. Bagaimana tidak? Remaja yang baru duduk di kelas dua SMA itu sering mengaku memiliki pengalaman petualangan ranjang yang yang jauh melampaui usianya. Gila! Setiap kali menyimak cerita Egar, otak cerdasku bahkan kadang tak kuasa lagi membedakan antara kebenaran dan kebohongan. Banyak hal yang terdengar janggal dan aneh. Namun sebagai sahabat yang setiap hari ditraktir secara suka rela, aku tidak mau mengecewakannya. Tetap berpura-pura kagum dan antusias menanggapi semua kisah super halunya itu. Yang paling tidak masuk akal lainnya, dia selalu bercerita petualangan seksnya itu dalam berbagai gaya dan dimensi yang melampui tingginya Puncak Gunung Salak. Sementara dia sama sekali tidak memiliki cewek. Semuanya dia tolak mentah-mentah sebelum cewek itu menyatakan perasaannya. Egar telah mantap memproklamirkan diri sebagai Teen Hight Quality Zomblo. Karena aku tidak terlalu merespon ceritanya yang aneh itu, akhirnya Egar dengan sangat jantan dan terbuka mengakui jika dirinya sangat menggilai wanita-wanita yang usianya jauh di atasnya. Bahkan lebih layak menjadi Mamanya. Dengan semangat berapi-api pula, dia menceritakan bagaimana seru dan panasnya bercinta dengan Bi Titin, wanita berusia 40 tahun yang tak lain dan tak bukan pembantu di rumahnya. Aku kenal baik dengan Bi Titin. Wanita bersuamikan Mang Sarnu itu telah memiliki 3 orang anak dan 2 orang cucu. Bi Titin masih bertetangga dengan Egar. Menjadi pembantu di keluarga Egar sejak si raja m***m itu berusia 10 tahun. Bi Tititn tinggal dengan keluarganya dan setiap hari bekerja di rumah Egar dari subuh hingga pukul 5 sore. Egar anak bungsu keluarga Sonny. Pak Sonny dan Bu Sonny selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka jarang ada di rumah. Kakak Egar yang paling besar sudah menikah dan menetap di Australia bersama suami dan anak-anaknya. Kakaknya yang kedua kuliah di Amerika. Sedangkan Kakak yang ketiga kuliah di Jogja. Hampir setiap hari hanya Egar dan Bi Titin yang menjadi penghuni tetap rumah megah nan mewahnya. Egar mengaku jika dirinya melakukan hubungan badan dengan Bi Titin ketika dia masih duduk di kelas 3 SMP. dilakukan atas dasar suka sama suka. Sungguh ini sesuatu yang sulit aku percayai, namun apa salahnya jika suatu hari dibuktikan juga. "Gaji dia double, Jack. Tiap bulan gua juga ngasih dengan jumlah yang sama persis dengan yang diterimanya dari nyokap. Jadi wajar kalau dia merangkap jadi b***k seks gua, hahahaha," terang Egar yang seketika membuat bulu kudukku berdiri kompak. "Berarti lu sudah jatuh cinta ya sama Bi Titin?" tanyaku heran. "Jangan ngomongin cinta, Blog! Itu murni hanya demi kenikmatan dan kepuasan semata," jawabnya sengit. "Lu bakal percaya dengan omongan gua kalau udah pernah ngerasain gimana nikmatnya bersetubuh dengan wanita yang lebih berpengalaman," terang Egar saat kutanyakan mengapa dirinya lebih menyukai wanita paruh baya terlebih lagi yang sudah berstatus istri orang. Bi Titin tidak terlalu jelek. Kulitnya putih bersih, body dan bemper belakangnya pun cukup menggiurkan. Bisa bersaing dengan bampernya Serly yang statusnya masih gadis. Body bagian depannya juga tidak terlalu mengecewakan dengan payudaranya yang bulat, walau sepertinya sudah sedikit mengendur namun masih membusung. Bi Titin selalu memakai daster pendek tanpa lengan saat berada di rumah Egar. Kecuali jika ada Bapak atau Ibu Sonny, dia bersalin rupa menjadi emak-emak shalihah berpakaian tertutup lengkap dengan jilbab besarnya. "Kalau di rumah hanya ada gua doang, Bi Titin pasti gak pakai daleman, Jack. Sengaja gua suruh begitu supaya kalau pulang sekolah gua bisa langsung ngegarapnya, hahahaha," penjelasan gila lainnya dari Egar. "Pengalaman yang benar-benar tak terlupakan itu saat gua ngegarap dia di halaman belakang. Saat itu dia sedang ngangkatin jemuran dan gua baru pulang sekolah. Beuh sensasinya beda banget! Walau yakin gak bakal ada yang ngintip, tapi dag-dig-dugnya berantakan. Andrenalin gua melambung ke langit tingkat tertinggi. Pokoknya super gila dan mendebarkan. Lu mau nyoba gak, Jack?" tawar Egar. "Ah dasarnya lu aja yang udah gila, Gar!" tampikku dengan mata yang nyaris keluar dari kelopaknya. "Tapi emang sih, Bi Titin juga gak mau lagi gua ajak di alam terbuka begitu. Katanya takut dan dag-dig-dugnya gak ilang-ilang sampai sebulan, hahahaha." Egar tertawa puas. Itulah kemesuman remaja berusia 17 tahun yang benar-benar ajaib. Belum lagi cerita dia dengan beberapa tante kesepian teman-teman Mamanya sendiri. Walau belum melihat dengan kepala sendiri, namun aku rasa petualangan Egar sudah di luar jangkauan nalar remaja super kalem dan baik hati sepertiku. "Jack, lu tahu gak kalau Bi Titin itu ngiler banget sama punya lu." Pada suatu kesempatan Egar kembali mencoba menggodaku dengan kicauan mesumnya. "Busyet, sejak kapan dia ngeliat senjata gua, Nyet!" bantahku. "Hahaha, dia pemerhati setia s**********n lu. And benar-benar penasaran dengan isi benjolan celana lu. Waktu gua bilang, punya lu jauh lebih besar dan panjang dari punya gua, makin aja tuh emak-emak blingsatan. Lu mau ngerasain Bi Tititn gak?" Egar menatap wajahku yang polos dan suci yang kala itu cengo melongo dalam keterkejutan. "Ah kampret! Sorry Brother. Kita memang sahabat, tapi urusan m***m selera kita jauh berbeda. Sampai detik ini gua masih meminati cewek sebaya. Kalau pun kepepet harus gituan, mending sama Serly. Dia juga berpengalaman, seksi, cantik dan statusnya masih gadis!" sanggahku keras. "Jangan salah! Sensasinya beda banget kalau sama emak-emak. Pokoknya ajib dan tak terkatakan. Gua udah beberapa kali ngerasain cewek seumuran, tapi sensasinya beda banget. Makanya lu harus coba dulu, biar tahu gimana sensasi dan perbedaannya emak-emak sama gadis. Gua jamin lu ketagihan, Jack!" "Preeet. Ampun nyerah dah gua kalau harus sama emak-emak seperti Bi Titin. Sumpah gua gak bisa ngebayanginnya. Usia Bi Titin gak jauh beda sama nyokap gua. Gua yakin kalau dipaksaan pun pasti berasa sama nyokap sendiri. Hihihi nauzubillah suma nauzubillah," tolakku seraya bergidik. "Oke, oke gua hargai perbedaan selera kita. Tapi lihat aja nanti, apakah lu tetap bertahan atau tertarik untuk mencoba sensasi yang luar biasa dari nikmatnya mpot ayam ala emak-emak, hahahaha." "Mpot ayam? Apaan tuh?" "Nah, kalau gadis, mana ada yang bisa memberikan service mpot ayam. Hanya cewek yang sudah full pengalamannya yang bisa melakukan itu. Lu mau coba mpot ayam gak, Jack?" Egar menawarikan sesuatu yang sama sekali belum aku pahami namun cukup membuat penasaran. "Busyet nih dajjal, kuat amat godaanya, hahahaha," kilahku kalah bicara. "Yes, nanti pulang sekolah kita coba mpot ayamnya Bi Titin, oke Jack?" Egar makin antusias. "No way! hahahahahaha...." tolakku diiringi tawa renyah. Ada penolakan dalam keraguan namun juga kepenasaranan. Namun pada kenyataannya aku tak bisa menolak keingingan Egar. Bukan penasaran dengan mpot ayamnya Bi Titin. Tapi sekedar ingin membuktikan semua bualan tentang apa yang biasa dia lakukan pada pembantunya itu. Siang selepas sekolah, aku pun nangkring di atas motor Egar menuju rumahnya yang berada di kawasan perumahan paling elite di kotaku. Bermain di rumah Egar bukan sesuatu yang baru bagiku. Selain Papa dan Mamanya, Bi Titin dan juga Satpam kompleks pun sudah tak asing lagi dengan kehadiranku. Menurut penjelasan Bi Titin, akulah satu-satunya sahabat Egar yang sering wara-wari datang ke rumah itu dan diperbolehkan menikmati segala fasilitas yang ada. Papa dan Mamanya Egar sangat welcome menerimaku. Apalagi kini prestasi belajar anaknya telah benar-benar mencengangkan. Sepanjang perjalanan, aku masih sangat yakin jika Egar tidak bersungguh-sungguh dalam ceritanya. Walau kadang terlintas juga dipikiran jika gesture dan keakraban Egar dengan Bi Titin memang terasa berbeda dan sedikit tidak wajar. Karena tidak pernah memiliki pembantu, maka aku pun selalu berbaik sangka. Menduga jika apa yang terjadi diantara mereka masih sangat wajar. Mungkin semua pembantu rumah tangga akan memperlakukan anak majikannya seperti itu. Sikap Egar pada Bi Titin terlihat seperti seorang anak pada ibunya. Hangat, mesra, dan manja, Begitupun sebaliknya. ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD