Sesuai Rencana

1036 Words
"Oh iya, aku belum sempat memperkenalkan diri," wanita itu membuka percakapan dengan suara ramah. "Namaku Hilma. Biasanya orang-orang memanggilku Bu Hilma." Lorna mengangguk sopan. "Saya Lorna." Bu Hilma tersenyum, tangannya yang besar dan kokoh tetap terarah pada kemudi. "Nama yang cantik. Kamu masih sekolah, kan? Berapa usiamu?" "Ya, usia saya 15 tahun." Jawab Lorna. "Wah, masih muda sekali. Aku sendiri sudah 27 tahun." Nada suara Bu Hilma terdengar sedikit melankolis. "Aku janda. Suamiku dan bayiku meninggal sebulan yang lalu karena kecelakaan." Lorna terkejut mendengar itu. Ia menatap wajah Bu Hilma yang masih tersenyum, tetapi ada kesedihan yang tersembunyi di baliknya. "Aku turut berduka, Bu," ucap Lorna dengan nada pelan. "Terima kasih, sayang," sahut Bu Hilma, menghela napas panjang. "Dulu hidupku terasa lengkap. Aku punya suami yang menyayangiku, dan seorang bayi perempuan yang lucu, yang saat itu usianya masih 7 bulan. Tapi semuanya hilang begitu saja. Sekarang, aku hanya sendirian di rumah. Sepi sekali." Lorna merasakan simpati yang mendalam terhadap wanita itu. "Berarti selama sebulan ini, Bu Hilma tinggal sendirian?" Bu Hilma mengangguk. "Sangat kesepian. Itulah kenapa aku menawari tumpangan. Bukan hanya supaya kamu tidak sendirian di malam begini, tapi... aku juga butuh teman ngobrol. Setidaknya, aku tidak merasa terlalu sendirian." Lorna tersenyum kecil. "Saya juga tidak keberatan menemani ngobrol. Lagipula, lebih baik begini daripada menunggu taksi sendirian." Bu Hilma meliriknya sekilas dan tersenyum lebih lebar. "Kamu anak yang baik, Lorna. Orang tuamu pasti bangga padamu." "Aku hanya tinggal bersama ibu dan adik perempuanku, Mariana. Dia baru 12 tahun. Ayahku dan ibuku sudah lama bercerai sejak aku masih berusia 8 tahun." Ucap Lorna. Di dalam mobil yang melaju dalam keheningan malam, Lorna duduk dengan perasaan campur aduk. Ia melirik ke arah wanita di sampingnya, Bu Hilma yang masih mengemudi dengan ekspresi tenang. Lampu jalan yang samar-samar menerangi wajahnya, memperlihatkan kulitnya yang gelap, rambutnya yang keriting tebal, dan tubuhnya yang besar serta tinggi. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang tajam yang membuat Lorna merasa gelisah. Meskipun Bu Hilma berbicara dengan nada lembut, tetapi masih ada rasa ketegangan yang menyelinap dalam hati Lorna. Ukuran tubuh wanita itu membuatnya tampak begitu dominan di dalam mobil yang terasa semakin sempit. Senyum ramah yang ditampilkan Bu Hilma seharusnya membuatnya merasa aman, namun justru menimbulkan ketidaknyamanan. Seakan ada sesuatu yang disembunyikan di balik keramahan itu. Setelah beberapa saat berkendara dalam keheningan, Bu Hilma tiba-tiba meraih sesuatu dari dashboard mobil, sebuah toples kecil berisi biskuit. Ia membukanya dan menyodorkannya ke arah Lorna. "Kamu pasti lapar setelah seharian beraktivitas. Makanlah biskuit ini, rasanya enak." Katanya dengan nada lembut. Lorna menatap toples itu dengan ragu. Ia memang sedikit lapar, tetapi nalurinya mengatakan agar tidak menerima makanan dari orang asing. "Terima kasih, Bu, tapi saya nggak terlalu lapar," ujarnya sopan. Namun, Bu Hilma tetap tersenyum ramah dan mendesaknya dengan nada penuh perhatian. "Tidak apa-apa, sayang. Ini buatan sendiri. Aku selalu membuatnya untuk camilan sehari-hari. Aku yakin kamu akan suka." Lorna menelan ludah. Cara bicara Bu Hilma membuatnya sulit untuk terus menolak. Ia tidak ingin bersikap kasar, apalagi setelah wanita itu berbagi cerita menyedihkan tentang keluarganya. Akhirnya, dengan sedikit ragu, ia mengambil satu biskuit dan menggigitnya. Rasanya memang enak. Teksturnya lembut dengan rasa manis yang pas. Lorna sedikit terkejut, lalu tanpa sadar mengambil lagi satu, lalu satu lagi. Setiap gigitan memberikan sensasi nyaman di tenggorokannya, membuatnya sedikit lebih rileks. Namun, hanya beberapa menit setelah mengunyah beberapa biskuit, ia merasakan sesuatu yang aneh. Kelopak matanya mulai terasa berat. Rasa kantuk menyerangnya begitu cepat dan tak tertahankan. Kepalanya mulai pusing, tubuhnya melemas seolah kehilangan tenaga. Lorna mencoba tetap sadar. Ia mengguncang kepalanya sedikit, mencoba fokus pada jalan di depan mereka, tetapi semuanya mulai terlihat kabur. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ada sesuatu yang salah... "B-Bu..." suaranya terdengar lemah dan terputus-putus. Namun, Bu Hilma hanya meliriknya dengan senyum kecil yang sulit diartikan. Tatapan matanya berbeda dari sebelumnya, lebih tajam, lebih dingin, dan penuh misteri. Seolah ia telah menunggu momen ini sejak awal. Semua terasa semakin gelap. Napas Lorna tersengal, kepalanya terjatuh ke sandaran kursi, dan kesadarannya menghilang sepenuhnya. Di kursi pengemudi, Bu Hilma menghela napas lega, lalu tersenyum puas. Biskuit itu telah bercampur dengan obat tidur dosis kuat. Kini, Lorna berada dalam genggamannya. Setelah yakin Lorna tak sadarkan diri, Bu Hilma menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang melintas di jalan sepi itu. Dengan hati-hati, ia menepikan mobilnya di pinggir jalan yang gelap. Hanya ada cahaya redup dari lampu jalan yang berkedip-kedip, memberikan kesan suram pada malam yang semakin larut. Bu Hilma keluar dari mobil dengan cepat dan menuju ke bagasi. Tangannya yang besar dan kuat membuka bagasi dan mengeluarkan beberapa barang yang sudah ia persiapkan sebelumnya—rantai besi, gembok, dan gulungan lakban hitam. Matanya menatap Lorna yang masih terbaring lemas di kursi penumpang, sebelum akhirnya ia membuka pintu dan meraih tubuh gadis itu. Dengan cekatan, Bu Hilma menarik kedua tangan Lorna ke belakang dan melilitkan rantai besi di pergelangan tangannya, menguncinya dengan gembok kecil. Setelah itu, ia melilitkan rantai lain di pergelangan kaki Lorna, memastikan bahwa gadis itu tidak akan bisa kabur begitu terbangun. Tidak cukup sampai di situ, ia juga merobek sepotong lakban hitam dan menempelkannya ke mulut Lorna, membungkam suara apa pun yang mungkin akan keluar nanti. Bu Hilma menghela napas pelan, lalu menatap wajah gadis itu dengan ekspresi aneh—seperti perpaduan antara kasih sayang dan obsesi yang tidak wajar. "Sekarang kamu aman bersamaku, sayang," gumamnya lirih. Dengan mudah, ia mengangkat tubuh Lorna yang kurus. Tubuh besar dan lengannya yang kuat membuatnya tak kesulitan menggendong gadis itu, seolah sedang menggendong anak kecil. Lorna tampak begitu kecil dan rapuh dalam pelukannya, seakan memang seharusnya berada di sana. Seperti seorang ibu yang menggendong anaknya sendiri. Dengan hati-hati, ia berjalan menuju bagian belakang mobil dan membuka bagasi. Tanpa kesulitan, ia meletakkan tubuh Lorna di dalamnya, memastikan bahwa gadis itu terbaring nyaman—setidaknya menurut pandangannya sendiri. Setelah selesai, Bu Hilma mengambil ponsel Lorna dari saku gadis itu dan menyalakannya. Ia melihat daftar panggilan terakhir, lalu dengan gerakan cepat mencabut kartu seluler dari dalam ponsel. Ia menatap kartu kecil itu sejenak sebelum melemparkannya keluar jendela ke dalam semak-semak. Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa melacak keberadaannya. Ponsel dan tas Lorna tetap ia bawa. Ia kemudian kembali ke kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil, dan melanjutkan perjalanannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD