Bertemu

1012 Words
Malam semakin larut, jalanan di sekitar sekolah mulai lengang. Aula yang sebelumnya penuh dengan suara tepuk tangan dan sorak-sorai kini sunyi, hanya menyisakan beberapa staf yang sedang merapikan sisa-sisa acara. Satu per satu, para guru, kepala sekolah, kakak senior, dan orang tua siswa mulai meninggalkan tempat itu. Bahkan beberapa anggota tim tari Lorna pun sudah pulang. Namun, Lorna dan tiga sahabatnya, Graciel, Diana, dan Karina memutuskan untuk tidak langsung pulang. Mereka berjalan santai menuju sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari sekolah. Kafe itu memiliki suasana yang tenang, dengan lampu-lampu gantung yang redup serta alunan musik jazz yang mengisi udara. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela, menghadap ke jalanan yang mulai sepi. Pelayan datang membawa menu, dan mereka masing-masing memesan minuman favorit mereka. Lorna memilih cokelat panas, Graciel memesan teh chamomile, Diana mengambil kopi hitam, sementara Karina memilih milkshake vanila. Setelah pelayan pergi, mereka saling bertukar pandang dan tersenyum jahil. "Oke, ayo kita buat alasan yang masuk akal," ujar Karina sambil mengeluarkan ponselnya. "Kita harus bilang apa ke orang tua kita?" "Acara belum selesai?" Diana menyarankan dengan nada bercanda. "Oh, itu klasik banget. Tapi berhasil, kan?" Graciel terkekeh, lalu menekan nomor ibunya. "Halo, Ma? Aku masih di sekolah. Iya, acaranya masih ada sambutan tambahan dari kepala sekolah. Lama banget! Nanti aku pulang bareng Lorna. Oke, bye!" Ia menutup teleponnya dengan wajah puas. Lorna dan yang lainnya pun melakukan hal yang sama. Dengan suara polos dan sedikit akting, mereka meyakinkan orang tua masing-masing bahwa acara masih berlangsung. Setelah semuanya selesai, mereka kembali mengobrol dengan santai. Karina dengan semangat mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik, "Oke, sekarang topik yang lebih seru! Kita bahas Leon." Lorna menghela napas panjang, lalu terkekeh. "Kenapa tiba-tiba bahas Leon?" "Dia itu cowok keren banget!" Graciel berseru pelan. "Kamu tahu, nggak? Kalau nggak salah, waktu kita lewat lorong, dia baru keluar dari kelasnya. Rambutnya berantakan tapi tetap keren, trus cara dia jalan kayak model!" "Ya sih, dan jangan lupa, dia selalu pakai jaket kulit. Itu makin bikin dia kelihatan cool," Diana menambahkan. Lorna hanya tersenyum kecil sambil menyeruput cokelat panasnya. Ia memang tahu bahwa Leon adalah sosok yang populer di sekolah. Selain tampan, dia juga pintar, banyak gadis yang menyukainya, tapi sejauh ini tidak ada yang tahu apakah dia tertarik pada seseorang secara khusus. "Jujur, Lorna," Karina menatapnya penuh selidik. "Menurutmu, Leon itu ganteng, nggak? Lorna terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng. "Hmmm... Kalau menurutku orangnya biasa aja sih. Saya heran mengapa banyak cewek-cewek mengidolakannya." "Tapi kamu sadar nggak kalau Leon kayaknya sering memperhatikan kamu?" Graciel menyeringai. Lorna menatap mereka dengan mata sedikit membesar. "Hah? Kapan?" "Waktu kita di kantin! Pernah suatu hari kita duduk di meja biasa kita, dan aku lihat dia kayak nyari seseorang, lalu matanya berhenti di kamu. Dia terus liatin kamu beberapa detik sebelum akhirnya ngobrol sama temen-temennya," kata Diana. "Hmmmm.. Masa sih?" Lorna masih sulit mempercayainya. "Kamu serius?" "Banget!" Karina mengangguk antusias. "Dan bukan cuma di kantin. Aku juga pernah lihat dia pas kita di lapangan olahraga. Dia kayaknya memang tertarik sama kamu." Lorna hanya tertawa kecil. "Ah, mungkin kalian terlalu berlebihan. Mungkin dia cuma melihat sekilas aja." "Terserah kamu sih..! Kamu aneh banget, Lorna. Ada cowok ganteng yang naksir kamu, tapi kamu malah biasa aja." Diana mendesah, "Tapi kalau dia beneran tertarik sama kamu, aku bakal jadi orang pertama yang maksa kamu buat ngajak dia ngobrol!" Percakapan mereka terus berlanjut dengan gelak tawa dan candaan. Mereka tidak sadar bahwa malam semakin larut, dan kafe mulai sepi. Namun, di luar jendela, seseorang berdiri dalam bayangan. Mengamati mereka dari kejauhan. Tidak bergerak. Tidak berbicara. Hanya mengawasi dengan tatapan yang sulit dijelaskan. *** Malam semakin larut. Jalanan di depan kafe semakin sepi, hanya sesekali dilewati kendaraan yang melaju cepat. Lampu jalan memancarkan cahaya kekuningan yang redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Satu per satu, orang tua Graciel, Diana, dan Karina datang menjemput mereka. Mereka berpamitan, meninggalkan Lorna seorang diri di depan kafe. Lorna merapatkan jaketnya. Udara malam semakin dingin, dan kafe tempatnya menunggu mulai menurunkan tirai, tanda akan segera tutup. Ia melirik ponselnya, membaca pesan ibunya yang mengatakan bahwa ban mobil bocor, dan mungkin akan terlambat menjemputnya. Lorna mempertimbangkan untuk memesan taksi online, tetapi sebelum sempat membuka aplikasi, sebuah mobil hitam melambat dan berhenti tepat di depannya. Lampu depan mobil menyala terang, menerangi sebagian wajah Lorna yang tampak ragu. Suara kaca jendela yang diturunkan perlahan terdengar, memperlihatkan seorang wanita di kursi pengemudi. Wanita itu berkulit hitam, bertubuh gemuk, besar dan tinggi, dengan rambut keriting tebal yang sedikit berantakan. Wajahnya dihiasi senyum ramah, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit dijelaskan. "Kamu sendirian, sayang?" Suaranya lembut, nyaris menenangkan. "Sudah larut malam. Mau aku antar pulang?" Lorna tertegun. Ia mengingat jelas pesan ibunya untuk tidak naik kendaraan sembarangan. Ia bahkan sudah akan mengetik pesan untuk mengabari ibunya. "Oh, tidak, terima kasih. Saya sedang menghubungi taksi online." Namun, wanita itu tetap tersenyum, ekspresinya penuh ketulusan."Jangan khawatir, aku cuma ingin membantu. Taksi online bisa lama kalau malam begini. Terlalu lama berdiri disini malam-malam begini juga sangat berbahaya untuk gadis muda sepertimu. Makanya aku menawarkanmu pertolongan agar nggak ada orang jahat mengganggumu." Lorna menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang membuatnya ragu, tapi di sisi lain, kehangatan dalam suara wanita itu begitu meyakinkan. "Ayolah! Aku hanya ingin melindungimu dari kejahatan dimalam hari." Dingin yang mulai menusuk kulitnya membuatnya semakin bimbang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, jalanan sudah hampir kosong. Kafe di belakangnya pun bersiap tutup. Akhirnya, dengan sedikit keraguan, ia mengangguk pelan. "Baiklah... Terima kasih." Lorna membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang. Saat pintu tertutup, suara kunci otomatis berbunyi, klik. Jantung Lorna berdetak lebih cepat, ada sesuatu yang terasa tidak biasa. Namun, sebelum ia bisa mengurungkan niatnya, mobil itu sudah melaju pelan, meninggalkan kafe yang kini benar-benar sepi. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan menerangi aspal yang tampak basah oleh embun malam. Lorna duduk di kursi penumpang, tangannya sesekali meremas ujung rok baletnya yang masih ia kenakan sejak pertunjukan tadi. Ia melirik ke arah pengemudi, seorang wanita berkulit gelap dengan tubuh besar dan rambut keriting tebal yang tampak berkilau di bawah lampu mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD