EPISODE 1
Udara di ruang bawah tanah itu lembap dan pengap. Cahaya kuning redup dari lampu gantung tua menciptakan bayangan samar di dinding berlumut. Cahaya redup dari lampu kuning tua menggantung di tengah ruangan, menyoroti bayangan dua orang yang sedang sibuk di dapur kecil di pojok ruangan.
Emmy, seorang gadis kurus dengan kulit putih pucat dan rambut panjang yang tampak lepek, jatuh berantakan menutupi bahunya. Ia hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna pudar dan popok putih bersih yang membuatnya tampak seperti bayi berukuran dewasa, kontras dengan kakinya yang penuh bekas luka dan memar.
Kedua pergelangan tangan Emmy diborgol di depan tubuhnya, dihubungkan oleh rantai besi sepanjang setengah meter. Rantai itu cukup panjang untuk memungkinkan gerakan dasar seperti makan atau mengambil sesuatu, tetapi terlalu pendek untuk membiarkannya melakukan banyak hal lain. Sementara itu, pergelangan kakinya juga terikat dengan rantai besi sepanjang setengah meter, membuatnya masih bisa berdiri dan berjalan dalam langkah-langkah kecil. Namun, jarak yang bisa ia tempuh sangat terbatas, memastikan bahwa upaya melarikan diri bukan hanya sulit, tetapi nyaris mustahil.
Dan yang sedang bersama Emmy sekarang, adalah seorang wanita bertubuh besar berdiri di dekat kompor, mengaduk panci dengan gerakan lambat dan penuh ketenangan.
Dialah Bu Gloria, seorang wanita berusia sekitar 30-an dengan kulit gelap dan rambut pendek seperti laki-laki. Tubuhnya tinggi, sangat gemuk dan besar, jauh lebih besar dibandingkan Emmy, jika mereka berdiri berdampingan, kepala Emmy hanya mencapai lehernya saja.
Bu Gloria hanya mengenakan kaos lengan pendek yang tampak sedikit ketat di tubuh bagian atasnya, serta celana pendek longgar yang memperlihatkan betisnya yang berisi. Tanpa bra yang menopang, payudaranya yang besar terlihat menggantung di balik kain kaosnya, menciptakan lekukan jelas di bagian d**a. p****g susunya yang menonjol tampak samar menekan permukaan kain bagian dadanya, membentuk dua bulatan yang terlihat cukup jelas, terutama ketika ia bergerak atau berbalik.
Tangan Bu Gloria cekatan mengaduk isi panci di atas kompor tua yang menyala dengan api kecil. Aromanya memenuhi ruangan, sup kental dengan potongan daging dan sayuran. Namun, bagi Emmy, itu hanya bagian dari rutinitas, sesuatu yang harus ia lakukan setiap hari.
"Ambilkan piring, Sayang!" Pinta Bu Gloria dengan suara lembut, namun tak terbantahkan.
Emmy menuruti perintahnya . Ia berjalan dengan langkah terbatas, rantai di kakinya berbunyi setiap kali ia bergerak. Ia mengambil piring dari rak kayu di sudut dapur dan meletakkannya di meja dengan gerakan hati-hati. Tangannya yang terborgol membuatnya harus mengatur posisi agar tidak menjatuhkan apa pun.
Bu Gloria menoleh, menatap Emmy dengan tersenyum lembut.
"Kau pintar sekali, sayang. " Gumam Bu Gloria sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk.
Emmy tidak menanggapi. Ia hanya berdiri di samping, menunggu perintah berikutnya.
"Hari ini, Nyonya Pamela akan pulang." Kata Bu Gloria sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk. Suaranya dalam dan tenang, hampir menenangkan, "Kita harus memastikan semuanya rapi."
Emmy hanya mengangguk. Ia sudah terbiasa tidak menjawab. Seolah tidak ada gunanya berbicara.
Setelah makanan siap, Emmy melanjutkan tugas lainnya. Ia mengambil sapu kecil, menyapu lantai yang sebenarnya sudah bersih. Setiap gerakan yang ia lakukan seolah adalah bagian dari kehidupannya setiap hari.
Emmy dengan segala keterbatasannya membantu Bu Gloria merapikan dapur, menyapu lantai dengan sapu kecil yang bisa ia genggam, dan mengelap meja makan. Ini adalah rutinitasnya.
Bu Gloria mengamati dengan senyum kecil di bibirnya. "Bagus, Sayang. Kau membuat Mama bangga."
Setelah semua beres, Bu Gloria menarik kursi, duduk, lalu menepuk tempat di sebelahnya.
"Ke sini, Sayang. Ayo kita makan dulu," ucap Bu Gloria lembut.
Rantai di kaki Emmy berderak pelan saat ia melangkah menuju meja makan, duduk dengan punggung tegak. Tangannya yang terborgol di depan membuat gerakannya terasa kaku, tetapi masih cukup memungkinkan untuk makan sendiri. Setiap gerakan yang ia lakukan terbatas oleh besi yang membelenggunya. Meskipun demikian, ia sudah terbiasa dengan keterbatasan ini.
Di hadapannya, semangkuk sup hangat mengepul, aromanya menguar di udara lembap ruang bawah tanah itu. Emmy mengambil sendok dengan canggung, mengangkatnya perlahan ke mulutnya, dan meniup sedikit sebelum menyeruput isinya. Hangat, lembut di lidah, tetapi tidak memberikan kenyamanan apa pun.
Di sampingnya, Bu Gloria duduk dengan tenang, sesekali mengamati Emmy dengan tatapan penuh perhatian. Ketika Emmy terlihat kesulitan dengan sendoknya, wanita itu mengambil alih, menyuapinya dengan gerakan lembut namun pasti.
"Pelan-pelan, Sayang." Ucap Bu Gloria, suaranya terdengar hangat namun penuh kendali. "Jangan sampai supnya tumpah."
Emmy membuka mulut tanpa perlawanan, menerima suapan itu seperti seorang anak kecil yang patuh. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya kepasrahan yang telah mendarah daging. Ini bukan pertama kalinya Bu Gloria menyuapinya, dan ini bukan sesuatu yang bisa ia hindari.
Sejenak, hanya ada suara sendok yang beradu dengan mangkuk dan suara tegukan pelan dari Emmy. Keheningan yang menyesakkan.
"Ma.." Ia menunduk sedikit dengan suara yang lirih, jemarinya yang terborgol saling menggenggam erat. "Besok Nyonya Pamela pulang, kan?"
Gerakan tangan Bu Gloria sedikit terhenti. Ia meletakkan sendoknya kembali ke dalam mangkuk, menatap Emmy dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Iya, Sayang," jawabnya akhirnya. "Nyonya akan tiba besok pagi."
Tubuh Emmy menegang seketika. Ia menunduk lebih dalam, meremas jari-jarinya dengan gelisah. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap ke seluruh tubuhnya hanya dengan membayangkan sosok Pamela kembali ke ruangan ini.
"Dia.. Dia pasti akan menyiksaku lagi..." Suara Emmy bergetar, hampir seperti bisikan. "Aku... aku takut, Ma."
Bu Gloria menghela napas pelan. Ia meraih serbet di atas meja, dengan lembut mengusap sudut bibir Emmy yang sedikit basah karena sup. Gerakannya tenang, seperti seorang ibu yang sabar membersihkan sisa makanan dari wajah anaknya.
"Emmy..." Bu Gloria berbicara dengan nada lembut, namun ada ketegasan dalam suaranya. "Mama tahu Nyonya Pamela selalu menghukummu setiap hari, tapi dia hanya sedang melampiaskan amarahnya. Tapi jika amarahnya reda, dia pasti berhenti menghukummu, semuanya akan baik-baik saja."
"Sudah setahun kalian menculikku disini..." Emmy mengangkat wajahnya, tatapan ketakutan terpancar jelas dari matanya yang mulai berkaca-kaca. "Kenapa kalian tidak membunuhku saja?"
Bu Gloria tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya, menyapu rambut panjang Emmy dengan lembut. "Ssst, jangan banyak bicara, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menjagamu."
Emmy menggeleng dengan lemah, suaranya semakin pelan, hampir tidak terdengar. "Aku tidak tahu kalau pria itu sudah beristri. Aku... aku tak tahu jika dia adalah suaminya Nyonya Pamela, Ma... Aku tidak tahu..."
Suasana di meja makan menjadi lebih berat.
Bu Gloria menatap Emmy dengan pandangan yang sulit diartikan. "Nyonya Pamela kehilangan segalanya karena kejadian itu, Sayang." Katanya dengan nada lembut, tetapi di dalamnya tersirat bahwa ia tidak akan membantah keputusan majikannya. "Baginya, kamu adalah alasan rumah tangganya hancur."
Emmy menunduk, bibirnya bergetar. "Aku tidak tahu..." bisiknya. "Aku sudah berkali-kali meminta maaf... Tapi Nyonya Pamela terus menyiksaku."
Bu Gloria hanya tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Emmy dengan lembut. "Sudah, Sayang. Makanlah yang banyak, agar kamu tetap sehat."
Emmy tahu, tidak peduli berapa kali ia menjelaskan, Bu Gloria hanya sebagai pendengar saja, tak akan mengubah keadaannya sekarang.
Emmy menelan suapannya dengan susah payah. Bukan karena makanannya tidak enak, tetapi karena ada sesuatu yang lebih besar yang menghimpit dadanya, ketakutan yang tak tertahankan akan kembalinya Pamela.
Emmy mengangkat tatapan penuh luka ke arah Bu Gloria. "Ma..." Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam keheningan ruang bawah tanah itu. "Apa menurutmu... apakah aku tidak punya hak untuk minta maaf dan memperbaiki kesalahan, setelah itu hidup bebas dan memulai kehidupan baru yang lebih baik?"
Bu Gloria menatap Emmy dengan pandangan tenang, seolah pertanyaan itu tidak mengusiknya sama sekali. "Nyonya Pamela hanya ingin memberimu pelajaran, Sayang."
Emmy terkekeh kecil, tapi itu bukan tawa kebahagiaan. Lebih seperti tawa pahit yang keluar dari seseorang yang sudah putus asa. "Pelajaran?" Ia menunduk, menatap bekas luka samar di pergelangan tangannya yang terborgol. "Aku sudah mengakui semuanya... aku juga sudah berkali-kali minta maaf.. tapi dia tetap memukulku, menamparku, menendangku... Aku bahkan pernah hampir mati karena dia mencekikku terlalu lama."
Bu Gloria tidak menjawab. Ia hanya mengaduk sup di dalam mangkuknya, seolah kata-kata Emmy tadi hanyalah angin lalu.
Emmy menarik napas gemetar, lalu mengalihkan tatapannya ke wanita yang usianya lebih tua darinya itu. "Kau dan dia sama saja.. Kalian berdua sama-sama menyiksaku."
Emmy menelan ludah, hatinya berdebar kencang. "Kau memang tidak menyakiti fisikku, tapi kamu menyiksaku dengan melecehkan aku setiap hari!"
Bu Gloria akhirnya menghentikan gerakannya. Ia menoleh pada Emmy, ekspresinya masih lembut, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam. "Apa maksudmu, Sayang?"
Suaranya gemetar. "Kau memakaikanku popok, kau menyusuiku, kau menggendongku seperti anak kecil..." Emmy mencengkeram ujung meja, napasnya tercekat. "Kau bahkan memberiku empeng dan berbicara padaku seolah-olah aku benar-benar bayi!"
Bu Gloria tersenyum tipis, tatapan penuh kasih terpancar dari wajahnya yang tenang. "Karena kamu memang bayiku, Emmy."
Emmy terdiam.
"Mama merasa tak pernah menyiksamu, Emmy." lanjut Bu Gloria dengan suara lembut yang mencekam. "Mama tak merasa apa yang Mama lakukan itu melecehkanmu. Bagi Mama, apa yang selama ini Mama lakukan itu memang sudah pantas buatmu."
"Pantas?" Emmy nyaris tertawa karena ketakutan. "Kau menyiksaku dengan cara yang berbeda!"
Mata Bu Gloria berkabut. Ia tampak kecewa. "Menyiksa?" Ia menggeleng pelan. "Sayang, apa yang Mama lakukan bukan penyiksaan. Ini adalah kasih sayang."
"Kasih sayang?" Emmy nyaris ingin menjerit. "Ma.. kau memaksaku memanggilmu Mama. Aku bukan bayi! Aku wanita dewasa! Aku bukan anak kecil yang butuh popok, aku juga tidak butuh ASI!"
Bu Gloria tersenyum, tetapi ada sesuatu yang menyeramkan dalam ekspresinya. "Itu yang kamu pikirkan, Sayang. Tapi Mama tahu yang terbaik untukmu."
Emmy menatapnya dengan ngeri. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa semua ini salah. Namun, ia tahu itu tidak ada gunanya.
Bu Gloria bukan hanya gila.
Dia benar-benar percaya bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar.
Di ruangan ini, Emmy berada di antara dua bentuk penyiksaan, Pamela dengan kekerasannya, dan Bu Gloria dengan kelembutan yang menyimpang. Bu Gloria tidak menganggap dirinya menyiksa Emmy, melainkan mengasuhnya dengan kasih sayang,meskipun Emmy merasa bahwa ini adalah bentuk penyiksaan yang lain.
***
Setelah selesai makan, Bu Gloria mengelap sudut bibir Emmy dengan jarinya, lalu tersenyum puas.
Tanpa berkata apa-apa, Bu Gloria berdiri, dan membungkuk, mengangkat tubuh Emmy yang sedang duduk ke dalam gendongannya. Emmy tidak melawan, tidak berkata apa-apa. Karena ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Bu Gloria terhadapnya.
Bu Gloria menggendong Emmy dan membawanya ke sofa besar yang berada tak jauh dari meja makan. Setelah duduk dengan nyaman, ia membaringkan tubuh kurus Emmy di pangkuannya, memposisikan gadis itu seperti seorang ibu yang akan memulai menidurkan bayinya.
Dengan gerakan perlahan, Bu Gloria menarik kausnya ke atas, dan saat kain itu terangkat, tampak jelas bahwa ia ternyata tidak mengenakan bra. Payudaranya yang besar dan berat menggantung di dadanya, bergoyang sedikit seiring dengan pergerakannya. Kulitnya gelap, dengan aerola yang melebar hitam pekat dan p****g s**u yang tampak menonjol berukuran agak besar dengan tekstur yang kenyal, seolah siap untuk dinikmati .
Dengan jemarinya yang kokoh, Bu Gloria menekan perlahan bagian putingnya yang menonjol dan sangat kenyal ktu. Beberapa tetes s**u mulai muncul di ujungnya, mengalir perlahan dan menetes membasahi sudut bibir serta pipi Emmy yang masih terdiam di pangkuannya.
Begitu aliran s**u semakin deras, Bu Gloria mengangkat kepala Emmy dengan lembut, mendekatkan payudaranya yang besar, p****g susunya terus memuncratkan ASI deras, membasahi bibir dan pipi Emmy. Dengan pasrah, Emmy segera membuka mulutnya, seolah sudah terbiasa dengan momen ini. Dengan tangan kokohnya, Bu Gloria menekan kepala Emmy, menempelkan wajah gadis itu ke p******a besarnya itu, memastikan p****g susunya masuk sepenuhnya ke dalam mulut Emmy.
Tanpa perlawanan, wajah Emmy menempel pada p******a Bu Gloria yang sangat besar, Dengan sedikit gemetar, Bibir Emmy langsung menutup rapat di sekitar p****g s**u Bu Gloria yang membengkak, menghisapnya dengan ritme yang stabil, dalam, kuat, dan sangat lahap. Setiap tegukan terasa begitu alami, seolah tubuhnya sudah terbiasa menikmati aliran s**u murni yang mengalir langsung dari p******a besar Bu Gloria, membasahi tenggorokannya, mengisi perutnya yang kurus.
Mata Emmy terpejam, ekspresinya tampak tenang, larut dalam kenyamanan aneh yang menyelimuti dirinya. Suara tegukan terdengar jelas di antara keheningan, disertai napasnya yang sedikit berat, hampir seperti desahan halus, menandakan betapa dia sudah terbiasa dan menikmatinya ia terhadap momen ini.
Jari-jari kurus Emmy dengan lemah mencengkeram kaus Bu Gloria, yang terangkat hingga di atas p******a besar Bu Gloria, seolah berusaha menggenggam sisa-sisa kewarasannya. Tangan kuat Bu Gloria terus menekan kepala Emmy ke p******a besarnya, sementara tangan lainnya terus meremas payudaranya, memaksa s**u mengalir ke dalam mulut Emmy, menjebaknya dalam ilusi aneh dan tidak wajar tentang kasih sayang seorang ibu.
Bu Gloria tersenyum, matanya menatap lama pada wajah Emmy yang cantik, terlihat tenang namun pasrah. Kepuasan yang terlihat di wajahnya saat melihat Emmy menyusu dengan lahap di p******a besarnya. Dia memeluk tubuh rapuh gadis itu lebih erat, dengan lembut mengayun-ayunkannya, mendekapnya seperti seorang bayi sungguhan.
"Aku tahu kamu masih haus, sayang," bisik Bu Gloria. "Kamu sudah membantu Mama mengurus rumah."
Napas Emmy tersengal, terdengar desahan kecil dari nafasnya, serta suara tegukkan Asi yang dia telan dari mulutnya untuk mengisi perutnya. Tak peduli seberapa besar keinginannya untuk melawan, tak peduli seberapa keras pikirannya memberontak, tubuhnya sudah menyerah.
***
Setelah setengah jam menyusui, Bu Gloria akhirnya memutuskan untuk menghentikannya., meskipun bibir Emmy masih menempel erat pada p****g susunya, menghisap dengan lahap seolah enggan melepaskannya. Napas Emmy tetap teratur dan hangat, menyentuh kulit p******a besar Bu Gloria yang hitam, menciptakan sensasi lembut di permukaannya.
Bu Gloria perlahan menarik p****g susunya yang besar dari mulut Emmy, membuat suara kecapan lembut saat p****g susunya yang besar dan kenyal terlepas dari dalam mulut Emmy. Tetesan ASI masih mengalir dari putingnya yang menonjol, meninggalkan jejak cairan s**u putih itu juga membasahi bibir dan pipi Emmy, membuat wajahnya belepotan.
Dengan santai, Bu Gloria menurunkan kaosnya, kembali menutupi payudaranya yang telanjang tanpa bra. Kemudian, dengan tangan besarnya, ia mengusap pipi dan bibir Emmy, membersihkan sisa-sisa ASI yang membasahinya. Jari-jarinya yang kasar namun hangat menyapu lembut kulit pucat gadis itu, seolah sedang merawat seorang bayi yang baru saja kenyang menyusu.
Setelah merasa cukup bersih, Bu Gloria mengangkat tubuh Emmy dengan mudah dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia menempelkan kepala Emmy ke bahunya, sementara tangannya mulai mengelus punggung gadis itu dengan gerakan lembut dan berulang, sebagai rutinitas seorang ibu yang menenangkan seorang bayi setelah selesai disusui.
Tak lama, tubuh Emmy sedikit menegang, dan suara kecil terdengar dari tenggorokannya. Beberapa kali Emmy tampak merigai, melepaskan udara dari dalam perutnya, sementara Bu Gloria terus mengusap punggungnya dengan penuh kesabaran.
Setelah Emmy benar-benar tenang, Bu Gloria membaringkannya kembali di pangkuannya, mengatur posisi agar kepala Emmy bertumpu pada payudaranya yang besar dan empuk, menjadikannya sebagai bantal alami yang hangat. Dengan lembut, ia mulai menepuk-nepuk b****g Emmy dengan ritme pelan dan menenangkan.
Sentuhan itu, dikombinasikan dengan kehangatan tubuh Bu Gloria, perlahan membuat kelopak mata Emmy semakin berat. Napasnya melambat, tubuhnya semakin lemas, hingga akhirnya ia mulai terlelap dalam pelukan wanita yang memperlakukannya seperti bayi yang harus dijaga selamanya.
Emmy akhirnya ia tertidur pulas dalam dekapan Bu Gloria, terbuai dalam kenyamanan yang aneh dan menyesakkan.