Di dalam kamar, perlahan Bu Gloria duduk di tepi ranjang dan mengamati wajah Emmy yang masih terlelap. Napas gadis itu teratur, bibirnya sedikit terbuka dengan empeng masih menempel di mulutnya. Senyum kecil tersungging di wajah Bu Gloria. Dengan lembut, ia mengusap kepala Emmy, menyelipkan beberapa helai rambut yang jatuh ke wajahnya.
"Sayang, bangun!" Panggilnya lembut, sambil menggoyangkan tubuh Emmy sedikit.
Emmy mengerjapkan mata, tampak masih setengah sadar. Wajahnya menunjukkan kebingungan sejenak sebelum akhirnya ia tersadar di mana dirinya berada. Matanya bertemu dengan tatapan Bu Gloria, yang langsung mengulurkan tangan untuk mengangkat tubuh Emmy ke pangkuannya.
Tanpa memberi Emmy kesempatan untuk sepenuhnya tersadar, Bu Gloria meraih empeng yang masih menempel di mulut gadis itu dan dengan lembut menariknya keluar. Setelah itu, ia menggunakan satu tangan untuk menarik turun bagian depan lingerie tipis yang dikenakannya, membuka akses ke p******a besarnya yang penuh. Dengan gerakan perlahan namun tegas, ia menuntun kepala Emmy agar bersandar di dadanya yang empuk, memastikan gadis itu siap menerima sarapannya seperti biasa.
"Sudah waktunya sarapan, Sayang!" Ucap Bu Gloria pelan, menuntun kepala Emmy agar bersandar di dadanya.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia hanya bisa pasrah ketika bibirnya menyentuh kulit hangat itu dan mulai menyusu. Rasa ASI yang khas memenuhi mulutnya, sesuatu yang sejak lama sudah menjadi bagian dari rutinitas paginya.
Bu Gloria menatap Emmy dengan ekspresi puas, mengusap lembut punggungnya sambil menikmati momen itu. Baginya, ini adalah saat yang paling menyenangkan, ketika Emmy benar-benar tunduk padanya, seperti bayi sungguhan yang bergantung sepenuhnya kepada ibunya.
Selama sekitar sepuluh menit, ruangan itu dipenuhi keheningan. Hanya suara isapan halus dan tegukkan kecil yang terdengar, sesekali diiringi helaan napas lembut dari Emmy yang berusaha mengendalikan rasa malunya.
Setelah dirasa cukup, Bu Gloria perlahan menarik Emmy dari dadanya. Ia memasukkan kembali payudaranya ke dalam lingerie, lalu menepuk punggung Emmy beberapa kali, seperti seorang ibu yang tengah menyendawakan bayinya.
"Sudah kenyang?" Tanya Bu Gloria sambil tersenyum.
Emmy hanya diam, tidak ingin menjawab. Tatapannya kosong, seakan ingin melupakan apa yang baru saja terjadi.
Bu Gloria terkekeh pelan, lalu mengusap pipinya. "Sekarang, waktunya kita bekerja. Bantu Mama mengerjakan rutinitas pagi, Sayang. Masih banyak yang harus kita selesaikan hari ini."
Tanpa menunggu jawaban, Bu Gloria menurunkan Emmy dari pangkuannya dan menuntunnya keluar kamar, siap untuk menjalani hari seperti biasa.
***
Pagi itu, setelah selesai menyusu di pangkuan Bu Gloria, Emmy pun mengikuti wanita itu keluar dari kamar. Meskipun kedua tangannya masih terborgol, Emmy tetap diminta untuk terus mengisap empeng yang sudah menempel di mulutnya. Seperti biasa, Bu Gloria menyuruhnya membantu mengerjakan pekerjaan rumah, meski dalam kondisi terbatas.
Bu Gloria tak pernah memberi sedikit pun celah bagi Emmy untuk lepas dari pengawasannya. Sejak pagi, ke mana pun Bu Gloria pergi di dalam rumah, Emmy harus selalu ikut di belakangnya, seperti bayangan yang tak boleh terpisah. Bahkan saat hanya berpindah dari ruang tamu ke dapur, Bu Gloria akan menoleh memastikan Emmy ada di dekatnya.
Saat bekerja membersihkan rumah, mereka selalu berada di ruangan yang sama. Jika Bu Gloria sedang mengepel lantai, Emmy akan membersihkan debu di perabotan yang ada di ruangan itu juga. Jika Bu Gloria menyetrika pakaian yang telah dicuci, Emmy akan duduk di sampingnya, melipat satu per satu pakaian yang sudah selesai disetrika. Tak pernah sekalipun Emmy dibiarkan berada sendirian atau ditinggal di ruangan yang berbeda, meskipun hanya sebentar.
Pandangan Bu Gloria selalu tajam mengawasi, memastikan setiap gerakan Emmy sesuai keinginannya. Jika Emmy terlihat terlalu lambat, terlalu diam, atau bahkan sekadar melirik ke arah jendela, Bu Gloria akan langsung menghentikan pekerjaannya dan menegur dengan suara rendah namun tegas, "Jangan coba-coba menjauh, Sayang!"
Bu Gloria berdiri tegak di depan papan setrika, menghaluskan lipatan kain dengan gerakan teratur dan tenang. Di lantai, Emmy duduk bersila, melipat pakaian yang sudah disetrika satu per satu, tanpa suara, seperti biasa.
Tiba-tiba, nada dering tajam memecah keheningan.
Tringg... Tringg...
Bu Gloria menghentikan gerakannya. Ia menghela napas pelan sebelum menarik ponsel dari saku pada celemeknya.
"Oh, Nyonya Pamela." gumam Bu Gloria pelan sebelum menggeser ikon hijau di layar dan mengangkat panggilan itu.
"GLORIA!!!" Suara Nyonya Pamela terdengar jelas, keras, cepat, dan penuh emosi.
Bu Gloria refleks menjauhkan ponsel dari telinganya karena volume suara yang melengking.
"Aku BENAR-BENAR muak dengan hari ini! Pesawatku delay! BUKAN cuma dua jam, bukan TIGA, TAPI SAMPAI BESOK PAGI!! Apa-apaan ini?!" Bentak Nyonya Pamela tanpa basa-basi.
Bu Gloria mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Saya turut prihatin, Nyonya. Apakah....."
"JANGAN 'turut prihatin' aku! Aku terdampar di bandara seperti orang bodoh! Mereka bilang ada kerusakan teknis dan semua penerbangan malam dibatalkan. Aku harus tidur di hotel dekat terminal, HOTEL MURAH PULA! Aku benci ini!" Ucap Nyonya Pamela memotong pembicaraan Bu Gloria.
Emmy, yang masih melipat baju di samping, bisa mendengar teriakan Nyonya Pamela dari kejauhan. Ia menunduk, menahan napas. Wajahnya menegang, namun di dalam hatinya perlahan tumbuh rasa lega. Itu artinya, pemilik suara menyeramkan itu tidak jadi pulang hari ini.
Sementara itu, Bu Gloria tetap tenang. "Saya akan pastikan rumah tetap rapi dan semuanya siap saat Nyonya kembali besok pagi." Ucapnya lembut, berusaha menetralisir amarah Nyonya Pamela yang masih membara.
"Pastikan, ya! Kalau ada yang berantakan, kalau Emmy itu berani macam-macam, aku tak segan menggandakan hukumannya! Jangan biarkan dia lepas dari pengawasanmu!" Telepon ditutup dengan nada marah dari seberang, meninggalkan keheningan yang cukup tegang di ruangan itu.
"Baik, Nyonya." Jawab Bu Gloria, tetapi sambungan sudah terlanjur diputus sepihak.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, tapi kali ini terasa sedikit berbeda.
Bu Gloria menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku dan melanjutkan pekerjaannya.
Emmy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dengan diam-diam, menundukkan wajahnya, menyembunyikan ekspresi lega yang mulai muncul. Napasnya pelan, tetapi terasa sedikit lebih ringan. Setidaknya malam ini ia tidak harus berhadapan langsung dengan Nyonya Pamela.
Satu malam lebih panjang untuk bernapas sedikit lebih tenang.
***
Saat bak sudah cukup penuh dengan air hangat dan busa sabun, Bu Gloria mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, lalu meletakkannya di keranjang dekat pintu. Setelah itu, tanpa banyak bicara, Bu Gloria mendekati Emmy dan mulai membantu melepas pakaian serta popok gadis itu. Baju yang dikenakan Emmy memiliki kancing di kedua bahunya, sehingga Bu Gloria bisa melepaskannya tanpa perlu membuka borgol di pergelangan tangan Emmy. Ia melakukannya dengan tenang, seperti sudah sangat terbiasa dengan rutinitas itu.
Setelah selesai, Bu Gloria lebih dulu melangkah masuk ke dalam bathtub, merendam tubuhnya perlahan hingga tenggelam sampai bahu. Air hangat menyambutnya, mengeluarkan uap tipis yang memenuhi ruangan.
"Ayo kemari, nak!" Ucap Bu Gloria pelan, sambil memberi isyarat dengan tangannya.
Emmy menunduk sambil tetap menghisap empengnya, namun tetap menurut. Tanpa banyak kata, ia mengangkat kakinya dan perlahan-lahan masuk ke dalam bathtub, duduk di sisi yang berlawanan dengan Bu Gloria.
Keduanya berendam tanpa pakaian di dalam bathtub yang sama. Tubuh mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Bu Gloria memiliki kulit yang gelap dan tubuh yang besar dan berisi, sedangkan Emmy berkulit putih pucat dengan tubuh yang kurus dan kecil. Perbedaan fisik itu begitu mencolok, membuat Bu Gloria tampak lebih besar dan mendominasi ruang bathtub, sementara Emmy terlihat tenggelam dan menyempil di sisinya.
***
Setelah selesai memandikan Emmy dan mengeringkan tubuh gadis muda yang masih menghisap empeng itu itu dengan handuk lembut. Dengan tubuh yang hanya dibalut handuk, Bu Gloria menggendong Emmy keluar dari kamar mandi dan membawanya kembali ke kamar.
Bu Gloria kembali memakaikannya pakaian bayi lengkap dengan popok sekali pakai dan jumpsuit bergambar hewan lucu. Emmy hanya bisa diam dan pasrah, matanya kosong menatap langit-langit kamar, seperti sudah kehilangan semangat untuk melawan.
Setelah selesai memakaikan Emmy pakaian bayi, sambil membiarkan empeng tetap menempel di mulut gadis itu, Bu Gloria melepas handuk dari tubuhnya sendiri. Ia lalu mengambil pakaian dari dalam lemari dan mengenakannya dengan rapi, tanda bahwa ia bersiap untuk keluar rumah, kemungkinan besar untuk berbelanja. Mungkin untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, atau membeli perlengkapan bayi tambahan.
Namun sebelum meninggalkan kamar, Bu Gloria mengambil sesuatu dari dalam laci kecil di dekat tempat tidur, sebuah rantai besi tambahan. Dengan penuh ketenangan, Bu Gloria membungkuk dan melilitkan rantai logam itu langsung ke leher Emmy, menariknya sedikit sebelum mengunci erat, seolah sedang mengikat seekor binatang liar yang harus dijinakkan. Ujung rantai yang lain ia kunci erat ke celah kepala ranjang besi yang berat. Bunyi klik dari kunci terdengar jelas di antara keheningan kamar, seperti palu yang mengetuk kenyataan pahit bagi Emmy.
Kini gadis itu hanya bisa bergerak sebatas radius pendek di sekitar tempat tidur. Tidak ada lagi kemungkinan menyelinap ke pintu, apalagi melarikan diri.
Untuk mengisi waktu dan menjaga Emmy tetap tenang, Bu Gloria menyalakan televisi kecil yang tergantung di dinding. Ia memutar video, yang ternyata adalah rekaman para ibu yang sedang menyusui bayi mereka, lengkap dengan musik lembut dan suara-suara gumaman manis dari bayi.
Video seperti itu bukan dipilih secara acak, melainkan Bu Gloria sengaja memutarnya berulang-ulang sebagai bagian dari proses "pendidikan" terhadap Emmy. Ia ingin mengubah cara berpikir gadis itu, mendoktrin, menanamkan dalam-dalam bahwa Emmy bukan remaja biasa, melainkan seorang bayi yang harus dirawat, dimanja, dan bergantung sepenuhnya pada sang ibu.
Setelah semuanya dipastikan aman dan sesuai rencana, Bu Gloria berdiri di ambang pintu. Ia memandangi Emmy sebentar, mata wanita itu penuh kepuasan, seperti seorang ibu yang baru saja menenangkan anaknya. Ia tersenyum lembut, lalu berkata pelan, "Mama pergi dulu, Sayang. Kamu nonton yang tenang, ya... Mama akan pulang sebelum jam makan siang."
Kemudian, pintu kamar tertutup perlahan. Emmy ditinggalkan sendirian di dalam kamar yang senyap, hanya ditemani suara lembut dari televisi, dan rantai dingin yang mengikat lehernya ke ranjang.
***
Pagi menjelang siang, langit tampak cerah tapi angin masih dingin menusuk kulit. Daun-daun kering berguguran di sepanjang jalan setapak menuju pemakaman kecil yang terletak di pinggiran kota. Pemakaman itu sepi, hanya suara burung dan desir angin yang menemani langkah seorang wanita berperawakan besar yang tengah berjalan perlahan sambil membawa seikat bunga segar, yaitu Bu Gloria.
Jemarinya menggenggam bunga lili putih dan mawar merah muda dengan hati-hati, seolah benda itu begitu berharga. Matanya lurus menatap ke depan, langkahnya mantap menuju salah satu sudut pemakaman yang paling sunyi, tempat di mana hanya ada beberapa nisan kecil, yang sebagian bahkan sudah tertutup rumput liar.
Ia berhenti di depan sebuah makam kecil,dan batu nisannya sudah mulai usang.
Bu Gloria berlutut perlahan, tubuhnya yang besar menekan rumput lembut yang masih basah oleh embun. Ia meletakkan bunga-bunga itu di atas tanah, menatanya dengan rapi, lalu menyentuh batu nisan itu dengan lembut seperti membelai pipi bayi.
"Pagi ini cantik, Nak." Bisiknya dengan suara pelan, penuh rasa yang ambigu, antara rindu, kehilangan, dan ketenangan yang aneh.
Ia duduk diam selama beberapa menit, memandangi batu nisan itu tanpa berkata-kata. Angin meniup rambut pendeknya, dan sinar matahari menyentuh pipinya yang lembap. Tapi senyumnya perlahan terbit, bukan senyum sedih, melainkan senyum yang tenang. Senyum puas.
"Maaf, Mama lama tidak kesini," katanya lirih. "Karena sekarang, Mama sudah tidak sendiri lagi."
Ia membelai bunga-bunga itu, lalu menatap jauh ke langit biru yang tenang.
"Mama sudah punya bayi lagi di rumah. Dia manis... lembut... dan sangat patuh. Namanya Emmy. Meskipun dia bertubuh dewasa, tetapi Mama tetap menjadikannya bayi kecil sepertimu, kau pasti tidak keberatan."
Bu Gloria tertawa kecil, tawa yang singkat tapi dingin. Senyum di wajahnya tumbuh seperti tanaman liar, indah dari kejauhan, tapi berduri jika disentuh.
"Dia tidak ke mana-mana, Sayang. Mama jaga dia baik-baik. Tidak seperti dulu, saat Mama masih bersamamu. Kali ini, tak akan ada yang bisa mengambilnya dari Mama."
Dengan satu tarikan napas panjang, Bu Gloria bangkit kembali, menepuk lututnya untuk membersihkan tanah. Ia menatap makam itu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik.
Langkahnya perlahan meninggalkan area makam, melewati barisan nisan yang lebih besar, lebih megah. Senyumnya masih melekat, hari ini, ia merasa damai, karena bagi Bu Gloria, akhirnya, makam itu tak lagi sepi.
***
Sementara Bu Gloria pergi, rumah itu senyap, hanya suara detik jam dan dengungan halus dari layar televisi yang menyala.
Di dalam kamar yang tak memiliki jendela, Emmy duduk di atas ranjang sempit dengan seprei bergambar kartun bayi. Tubuhnya tampak lemah dan kaku. Kedua tangannya diborgol di depan, terhubung rantai sepanjang setengah meter yang membatasi geraknya. Kedua kakinya pun sama, dibelenggu rantai yang tak lebih panjang dari itu, sehingga ia hanya bisa duduk atau merosot perlahan ke ujung ranjang.
Lingkaran besi di leher dengan rantai pendek yang dikaitkan ke jeruji logam di kepala ranjang. Rantai itu membuatnya tak bisa meninggalkan tempat tidur. Bahkan untuk berdiri pun sulit.