Bab 2: Atasan Perhatian

1604 Words
Aku masih berdiri dengan mulut terbuka lebar ketika Allan berjalan menuju ke arahku. Ini orang kenapa, sih? Mau terang-terangan menarik diri dan menolak, tapi dia adalah bosku. Aku memerlukan koneksi yang bagus, setidaknya jangan membuat perkara yang bisa menyinggungnya. Aku cari muka? Hei, jangan naif! Aku butuh penilaian sempurna dari Allan atas kinerjaku, dengan begitu itu bisa jadi nilai tambah di CV ketika aku melamar pekerjaan. Karena aku tidak berencana untuk menganggur meski sudah menjadi istri orang. Aku menolak budaya patriarki yang mewajibkan wanita untuk berdiam diri di rumah dan melayani suami. Pernah dengar kata-kata seorang poadcaster berkepala botak itu, nggak? Dimana dia bilang, laki-laki banyak uang, wanitalah yang pertama dicarinya. Tapi wanita kalau bisa menghasilkan uang sendiri, dia nggak butuh laki-laki. "Lisa?" Eh! "I-iya, Pak?" Aduh, malah gagap begini! Allan menelisik wajahku, sampai-sampai aku menarik kepala sedikit menjauh dan memalingkan pandangan ke arah lain untuk menghindarinya. "Kamu malah bengong, mikirin apa?" tanya Allan. Matanya itu yang membuatku tidak nyaman. Allan terlalu intens menatapku. "Oh, ti-tidak ada, Pak. Saya hanya kaget Bapak sudah ada disini," jawabku berusaha menarik kedua sudut bibirku meski terasa kaku. Allan mengangkat alis dan hanya menarik bibirnya ke bawah. "Baiklah," tembusnya, "kamu belum makan siang, 'kan? Aku ke sini mau ngajak kamu makan." "Hah?" Ini orang apa nggak merasa jika atmosfer kantor mulai panas dengan gosip kami itu? "Sa-saya sudah makan tadi sama Rani, Pak." Berusaha menolak sehalus mungkin. Allan menelengkan kepalanya. "Bohong, kata Rani kamu nggak sempat makan karena perut kamu bermasalah." Rani sialan! "Ta-tapi ..." "Ayo!" Allan tiba-tiba saja meraih tanganku dan menariknya sampai aku terpaksa mengikuti langkahnya. "Eh, Pak Allan, tunggu--!" Allan menghentikan langkahnya dalam sedetik dan langsung memutar tubuhnya padaku. Jika saja aku tidak segera berhenti, mungkin aku akan menabrak dadanya. "Jangan panggil aku 'Pak'!" katanya dengan mata menatap lurus. "Hah? Apa?" beoku. Allan menghela napas panjang, namun aku merasa lega karena dia melepaskan tanganku. Segera saja aku mengalihkan keduanya ke belakang punggung dan memegang tas. "Aku nggak nyaman dipanggil Bapak sama kamu," ucap Allan dengan kening berkerut. "Lho, bapak 'kan atasan saya, jadi ya wajar kalau saya menggunakan panggilan itu," kilahku. Maunya apa emang? Allan menggeleng. "Panggil Mas atau nama juga boleh, aku tidak keberatan--" "Tapi saya yang keberatan!" potongku cepat. Ini sudah nggak wajar! Untuk sesaat Allan tampak terdiam kaget melihatku, tapi kemudian dia hanya tersenyum geli seraya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Wanita lain mungkin akan meleleh diperlakukan seperti itu, tapi tidak denganku. "Kamu lucu kalau lagi marah," katanya. Tuh 'kan! Aku nggak bisa lama-lama terjebak berduaan seperti ini sama dia, akan sangat riskan jika orang lain melihat kami. Gosip itu pun pasti akan semakin panas dan meyakinkan. "Kamu mau makan nggak? Pekerjaan kamu itu masih banyak, lho! Kalau perut nggak diisi mana bisa konsentrasi kerjanya!" ujar Allan setengah membujuk. Aku baru saja hendak menjawab ketika ponselku berdering dari dalam tas. Cepat kuambil benda itu. Dan mataku membulat melihat siapa yang menelepon. "Eh, maaf suami saya menelpon, saya permisi dulu, Pak!" kataku cepat-cepat lalu mengangguk berpamitan pada Allan. Untuk sedetik sebelum bergegas pergi, aku bisa melihat raut wajah itu berubah keras dan dingin. Itu cukup mengejutkan dan sedikit membuat perasaanku tidak enak, tapi memang seharusnya seperti itu. Allan harus tahu batasan jika yang dia dekati bukanlah wanita lajang yang bebas. Aku tak berani menoleh lagi ke belakang dan terus berjalan meninggalkan tempat itu secepatnya. *** Aku mendiamkan Rani sepanjang sisa waktu kerja kami sampai sore. Masih kesal kenapa dia malah memberitahu Allan soal tadi siang. "Lis, maaf tadi Pak Allan nanya, jadi ya aku jawab saja. Kan emang kamu nggak makan karena sakit perut," ucap Rani dengan suara merengek dan memelas, tak lupa dia memasang wajah sedih juga. Aku membuka mulut, ingin mengumpat kesal. Tapi melihat tampang Rani yang mengiba kayak gitu mana bisa! "Ya, sudahlah. Aku hanya nggak mau gosip tentang kami tambah panas, Ran, kamu sendiri tahu aku ini sudah menikah," kataku sambil mengacungkan jariku yang memakai cincin. Mata Rani bergulir sebentar ke arah tanganku, sebelum menatapku lalu menundukkan kepala. Tangannya saling meremas satu sama lain. Kalau sudah begini, dia nggak jauh beda sama anak balita yang sedang dimarahi ibunya. "Iya sih," ucapnya, "gosip kamu sama Pak Allan lagi heboh-hebohnya, kamu saja yang nggak nyadar, Lis." Kutarik napas panjang, lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Aku tahu, jadi jangan heran kalau aku agak menjaga jarak dari dia," kataku pelan. Rani mengangkat wajahnya dan menungguku berbicara lagi. "Hanya saja situasi sekarang 'kan gimana, disini aku lagi magang, dan aku berusaha bersikap baik sewajarnya demi pekerjaanku, Ran." "Iya, aku ngerti." "Tapi sungguh aku nggak ekspek Pak Allan sendiri sikapnya kayak gitu, terlepas dia suka sama aku, tentu aku nggak bisa menerimanya!" Rani menggigit bibir, sepertinya dia paham. "Iya, sih. Lalu gimana selanjutnya?" tanyanya kemudian. Dia menggeser kursi mendekat ke kubikelku. Kulirik dia. "Ya, tolong kamu bantu aku bertahan disini, seenggaknya jangan ngasih celah sama dia buat deketin aku, risih soalnya!" keluhku pelan. Rani nyengir. "Pak Allan salah target, padahal masih banyak yang lajang disini, malah deketin yang udah ada pawangnya," celetuknya terkekeh pelan. Aku tersenyum kecut menanggapinya. *** Sore hari sepulang kerja, aku ingin mampir ke swalayan dulu. Mau belanja beberapa bahan masakan buat di kontrakan. Rani mengajakku untuk pergi makan, tapi aku terlalu lelah hari ini. Selain pekerjaan yang buru-buru kuselesaikan dari siang, energiku habis memikirkan Mas Adam. Pikiranku kalut. Ketika sedang memilih sayuran sambil mendorong troli, ponselku berdering. Sejenak aku berhenti dan cepat melihatnya, berharap itu telepon dari Mas Adam. Meski akhirnya aku kecewa juga ketika melihat layar ponsel yang menampilkan deretan nomor asing yang tertera di sana. "Siapa?" gumamku. Aku tidak suka membagikan nomor telepon sembarangan, hanya keluarga dan teman dekat saja. "Ck! Gak jelas!" Kutekan ikon telepon warna merah dan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan berbelanja. Diburu waktu, aku hanya membeli bahan secukupnya saja untuk 2-3 hari. Aku tidak suka ketika mendengar adzan Maghrib dan masih dalam perjalanan pulang di dalam kendaraan, rasanya gelisah kalau tidak segera shalat tepat waktu. Jangan mencibir ya tolong! Walaupun hidupku masih jauh dari kata taat dan nggak berhijab, seenggaknya usahakan shalat tepat waktu. Biar dosanya nggak terlalu numpuk, hehe. Perjalanan taksi hanya sebentar menuju kontrakanku, beruntung waktu itu aku dan Mas Adam mendapatkan kontrakan yang cocok di dekat perusahaan tempat aku bekerja. Biasanya aku memilih berjalan kaki jika pulangnya masih terbilang sore dan terang, hanya saja kali ini aku bawa belanjaan jadi agak berat juga kalau harus jalan kaki. "Eh, Neng Lisa, baru pulang?" sapa Bu Wina, pemilik kontrakan. Aku yang baru saja turun dari taksi langsung menarik senyum meski rasanya kaku. "Iya, Bu," jawabku singkat. Aku bukan orang yang mudah berbasa-basi ngobrol sama orang soalnya. Wanita paruh baya berdaster itu tersenyum lebar dan menghampiriku. "Itu suaminya dateng, Neng, ibu ajak ke rumah dulu soalnya kontrakan Neng Lisa 'kan dikunci," katanya yang spontan membuat aku menoleh cepat mendengarnya. "Hah? Suami saya? Yang mana--eh! Maksudnya, Mas Adam disini?" seruku kaget. Bu Wina malah ngakak. "Si neng ini ngelawak, ya siapa lagi!" katanya terkekeh geli. Lho, kok? Tiba-tiba kemari ada apa? Padahal seharian dia nggak ngasih kabar. "Neng! Lho malah bengong, cepet itu suaminya dijemput, ntar keburu dikeroyok ibu-ibu lain, repot, lho!" ujar Bu Wina kembali tertawa, sepertinya suasana hatinya sedang bagus makanya dia senang menggodaku kali ini. "Eh, i-iya, permisi, Bu! Makasih, ya!" pamitku cepat-cepat sambil menenteng plastik belanjaan. Dengan langkah lebar, aku menuju rumah Bu Wina yang ada di ujung sana. Kontrakan ini terbilang bersih dan nyaman lingkungannya. Orang-orang disini juga ramah dan saling menjaga. Mereka tidak sembarangan menerima orang baru tanpa konfirmasi dari orang yang dituju. Makanya waktu aku mau menyewa, kami menunjukkan surat-surat lengkap sehingga Mas Adam tidak akan ada kendala jika sewaktu-waktu hendak menjengukku seperti sekarang. Dan lelaki yang sedang duduk di depan teras bersama suami Bu Wina, langsung berdiri begitu melihatku datang. Dia buru-buru turun dari teras untuk membantuku membawakan barang belanjaan. "Astaga, aku khawatir loh kamu nggak cepat pulang, Sayang!" katanya tersenyum lebar sambil mengambil alih kantong berisi sayuran yang cukup berat dari tanganku. Aku ingin tersenyum juga dan memeluknya, hanya saja kali ini hatiku rasanya tidak nyaman mengingat percakapan grup tadi siang. "Eh, iya barusan belanja dulu," jawabku tersenyum tipis. Agaknya Mas Adam menangkap gelagatku, tapi dia tak bertanya apa-apa dulu dan hanya mengusap kepalaku sebentar sebelum berpamitan pada Pak Rudi. Dalam diam kami berjalan menuju kontrakanku. Beberapa tetangga yang menyapa dan menggoda kami hanya kutanggapi dengan anggukan dan senyum sopan sekedarnya. Mas Adam juga sepertinya paham situasi, dia juga tak banyak bicara sampai kami masuk ke dalam rumah. "Sini, Mas bawa ke dapur," katanya sambil meraih tas belanjaan lain dari tanganku. Aku hanya diam melihatnya bergegas menuju dapur dengan tangan membawa kresek-kresek itu. Dan saat aku duduk menghempaskan diri di kursi, dia kembali sambil membawa segelas air putih. "Minum dulu, kayaknya kamu capek banget, Yang!" Kuterima gelas itu dan meneguknya sampai habis. Pikiran gelapku mengabaikan bisikan jika seandainya berita itu benar dan Mas Adam berlaku jahat dengan menambahkan sesuatu ke minumanku, sepertinya aku nggak keberatan. Tapi, eh! Kok malah ngelantur kemana-mana sih ini otak! "Kok diam saja dari tadi, kamu nggak senang aku datang?" tanya Mas Adam menatapku. Kelopak matanya sedikit turun menandakan dia merasa sedih dengan sambutanku yang tidak seantusias biasanya. Aku nggak bisa bohong kalau aku merindukan dia, maka kurentangkan kedua tanganku meminta pelukan. Raut wajahnya seketika berubah dan langsung maju memelukku. Kubenamkan wajahku di lehernya, menghirup aroma tubuhnya yang bercampur dengan parfum maskulin favoritnya itu. Kedua tangannya melingkar di punggungku dan mengusap rambutku. "Capek banget, ya," ucapnya berbisik pelan lalu mencium keningku. Kupejamkan mata merasakan kehangatan tubuhnya. Namun setan sialan itu datang dan membisikkan sesuatu yang kontan membuat inderaku terjaga. Seperti ini juga ketika dia memeluk wanita lain itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD