bc

Suamiku Mendua Kala Aku Magang

book_age18+
98
FOLLOW
1.3K
READ
HE
second chance
drama
city
like
intro-logo
Blurb

“Aku tidak pernah menduga, suamiku menduakanku dengan teman seangkatan kami kala aku magang.”

Alisa yang magang di luar kota mendapatkan berita mengejutkan di grup angkatannya kala informasi menyebar bahwa teman seangkatannya, Nurwati, hamil dan pria yang menghamilinya adalah suaminya, Adam Leo.

Alisa dan Adam menikah muda, tetapi Alisa tidak menyangka dalam 3 tahun semenjak mereka menikah sewaktu memulai kuliah, sekarang di jurang kehancuran dengan sebuah pengkhianatan oleh suaminya sendiri.

chap-preview
Free preview
Bab 1: Suamiku Selingkuh?
"Lis, kamu hari ini mau makan apa?" Suara Rani, teman magangku disini. Dia yang paling ceria di antara yang lain dan juga lebih ramah. Itu juga yang membuat aku mendapatkan teman pertama kalinya di kota ini. "Siang ini lagi ngidam bakso tahu, kamu mau?" tanyaku sambil memutar kursi yang aku duduki menghadap ke arahnya. Alih-alih menjawab, mata Rani malah berbinar. "Eh, kamu ngidam? Wah! Minggu ke berapa? Spill dong testpack-nya, aku mau lihat!" serunya menjerit tertahan. Tentu saja aku kaget. "Jangan berisik! Kenapa malah nyebut benda itu, sih?!" geramku sambil melotot padanya. Rani malah terkekeh. "Suka penasaran sama orang yang pamer testpack di status, jadi aku mau lihat sendiri kayak apa bentuknya," ujarnya tersenyum lebar. Ada ya orang begini? 'Kan di google bisa dicari gambarnya. "Mana? Kamu foto gak?" desak Rani memajukan kursinya sampai lutut kami beradu. "Ih, kamu itu nggak nyambung! Aku cuma mau bakso tahu, kenapa malah larinya ke testpack?" sergahku risih sambil menjauh. "Kan kamu bilang ngidam tadi," kata Rani memasang wajah cemberut. "Itu kiasan aja, Rani!" kataku gemas sambil mendorong jidatnya. Rani terkekeh-kekeh sambil mengusap-usap keningnya. "Ya sudah, kita ke kedai bakso Pak Eman aja, di sana baksonya banyak varian, kamu pasti suka!" katanya mengacungkan jempol. "Iya-iya, habis ini kita keluar," pungkasku sambil menunjuk ke layar komputer, pekerjaanku harus selesai siang ini sebelum Allan datang. Siapa Allan? Dia Allan Zanar, atasanku. Lebih tepatnya bos perusahaan dimana aku magang sekarang. Sosok lelaki dewasa yang rupawan, mapan dan act of service-nya bisa membuat wanita mana saja luluh. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Rani dan beberapa karyawan lainnya. "Pak Allan nggak akan marah sama kamu kalau cuma terlambat sampai sore, Lis," celetuk Rani, dia mengeluarkan kikir kuku dan mulai mengikir kukunya. Tanganku yang sedang mengetik spontan berhenti. Kutolehkan kepala pada Rani yang langsung memutar kursinya membelakangiku. "Hei, maksudnya apa?" desisku sambil menarik sandaran kursi yang didudukinya. Rani nyengir sambil menggigit ujung lidahnya. "Eh, nggak! Bukan apa-apa, kok!" kilahnya. Aku penasaran pasti. Memang, sikap Allan padaku sedikit berbeda dibandingkan pada karyawan lain, wanita khususnya. Aku pun merasakan hal yang sama, hanya saja aku tidak mau terlalu mengambil hati dan mengabaikannya. Hanya saja, ucapan Rani barusan jadi bukti kalau itu menjadi rumor halus yang menyebar diam-diam di antara para karyawan. "Rani, jangan bohong! Kamu dengar apa soal aku sama Pak Allan?" tanyaku pelan namun tegas, kutatap mata Rani dalam-dalam. Rani tampak salah tingkah, sebentar dia menoleh ke luar kubikelnya dan menebar pandangan, memastikan tidak ada orang yang memperhatikan kami. "Makanya ayo keluar sekarang, aku kasih tahu nanti di kedai bakso sambil makan," katanya dengan suara rendah seolah takut didengar orang. Kuhela napas panjang. Sepertinya memang benar itu yang terjadi. Gosip panas dingin antara aku dan Allan. "Baiklah, ayo pergi!" kataku sambil mematikan komputer. Rani melongo melihatku berdiri dan menyambar tas kecil kesayanganku. "Sekarang? Katanya mau beresin kerjaan dulu?" ujarnya dengan mata berkedip cepat. Aku menggeleng, lalu tanpa bicara lagi bergegas melangkah meninggalkan kubikel. Rani pun kemudian buru-buru mengambil tasnya dan mengikutiku. Alih-alih memikirkan persoalan kantor, aku juga tidak tenang menunggu balasan dari Mas Adam. Sejak pagi aku mengirim pesan, tapi suamiku itu belum juga membalas. "Kamu kemana, sih, Mas? Kok nggak nelpon juga?" gumamku menatap layar ponsel. Kesal sendiri kugeser percakapan kami sebelumnya, siapa tahu aku ada kata-kata yang salah dan tidak aku sadari membuat dia marah. "Tapi semalam dia masih mesra di telepon, kami juga nggak ngobrol hal sensitif di chat." Nggak enak hati jadinya. Sementara Rani memesan bakso dengan antusias, aku masih menatapi layar ponselku dan membuka percakapan grup angkatan. Ikon aplikasi chat warna hijau itu menunjukkan angka ratusan. "Rame banget kayaknya di grup, ada apa, ya?" gumamku. Gatal, jempolku pun menyentuh layar untuk membukanya. "Wow, apa-apaan ini?" Keningku langsung terlipat ketika melihat deretan chat yang masih saja bermunculan dari bawah, tanda ada banyak anggota grup yang sedang online, entah membicarakan apa. "Lis, kamu mau nambahin kikilnya?" tanya Rani. Aku mengangguk saja mengiyakan tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Perlahan kubuka satu persatu obrolan yang diketik teman-temanku. Ada topik sengit dan panas yang membicarakan tentang Nurwati, salah satu teman kami yang katanya hamil di luar nikah. "Hah, kok aku?" Dahiku semakin berkerut ketika membaca salah satu pesan yang menuliskan namaku. @tiana : eh, si lisa nggak online kn? Kita ngomongin lakinya loh ini @femi : jam segini biasanya dia masih sibuk depan komputer @arum : eh lu sembarangan, gimana kalo dia ntar baca? @raya : spam stiker aja ntar wkwkwkwk Kepalaku langsung panas rasanya. Ini ada apaan? Kok mereka bahas aku? Lakiku? Mas Adam? Ada apa kok disangkut-pautkan sama gosip Nurwati? Penasaran kutarik percakapan dari atas, dan semakin k****a semuanya, rasanya bukan saja kepalaku yang panas tapi dadaku juga sesak. @raya : katanya si Nur hamil anaknya Adam, itu loh suaminya si Lisa DEG! Lho kok? Bagaimana bisa? Mas Adam? "Lis? Kok ngelamun? Itu baksonya tinggal kasih saus," tegur Rani yang sama sekali tak kugubris. Telingaku sudah berdenging, sampai-sampai aku bahkan tidak sadar apa yang dikatakan oleh Rani. Mataku mulai memanas, dan sebelum aku menangis nggak jelas disini sebaiknya aku pergi. Cepat kumatikan layar ponsel sebelum Rani mengintip, dan kumasukkan ke dalam tas. "Maaf, Rani, tiba-tiba perutku sakit, aku pergi dulu!" pamitku cepat-cepat. Rani hanya bisa melongo di belakangku. "Lho, ini baksonya gimana? Lis? Lisa!" Aku melangkah dengan terburu-buru, air mata sialan ini manja sekali ingin cepat turun. Makanya begitu masuk ke kantor, aku langsung menuju toilet dan mengunci diri di salah satu bilik. Duduk diam mengatur napas meski jantungku terus berdetak cepat tak karuan. "Itu cuma gosip 'kan? Nggak mungkin Mas Adam melakukannya!" Mengabaikan air mata yang mulai meleleh di pipi, aku merogoh tas dan mengambil ponselku. Kucoba untuk menghubungi Mas Adam dengan tangan gemetar. Beberapa kali panggilan tersambung, namun tak kunjung diangkat. Kulihat dia online beberapa menit lalu, tapi kenapa tak membalas pesanku sama sekali? "Mas, kamu kemana, sih? Angkat dulu telfonnya!" gumamku gusar. Hatiku semakin tidak tenang. Ketika kulihat percakapan kami, aku lega tak terkira saat melihat dia membaca pesannya. Tampaknya dia sedang mengetik pesan, namun kutunggu beberapa detik tak kunjung ada jawaban. "Mas?" Kuketik chat dan mengirimnya. Tapi sedetik kemudian mataku membola karena pesannya jadi ceklis satu. "Lho? Barusan aktif!" Tak sabar, kucoba menelponnya lagi. Namun kali ini, tidak tersambung. Berdering pun tidak. Akhirnya kupandangi layar ponsel dengan nanar. "Ada apa ini, Mas? Jangan bilang jika gosip itu benar!" Aku butuh jawaban! Aku butuh penyangkalan! Kepalaku penuh dengan berbagai hal. Masa-masa pernikahan kami yang baru 3 tahun ini berjalan, dari awal hingga hari ini. Kata-kata Mas Adam yang menanyakan program kehamilanku, dan desakan mertua yang ingin segera mendapatkan cucu. Jika memikirkan itu, hatiku seperti diremas kuat. Sakit. Menyadari jika diri ini memang ditakdirkan tidak akan bisa memberikan keturunan untuk pernikahan kami. Ya. Aku mandul. Tapi sampai saat ini belum ada satu orangpun yang tahu bahkan keluargaku. "Jika memang itu yang terjadi, kenapa harus dengan cara menjijikan seperti ini, Mas? Kamu mengkhianati aku!" Kubekap mulutku, menahan suara tangis. Ingin rasanya aku berteriak marah. Pada siapa? Pada diri sendiri. Aku tidak menyalahkan Mas Adam jika memang dia menginginkan seorang anak, tapi kenapa harus dengan berselingkuh sampai menghamili wanita lain. Mungkin dia akan menyangkal dan berkilah tak ingin menyakitiku, tapi membayangkan dia b******u mesra, menyentuh tubuh wanita selain aku, itu menyakitkan. "Ya Allah, bagaimana ini? Apa memang Engkau mengatur semua ini terjadi?" Aku terisak sendiri. Tak peduli riasanku yang mungkin sudah kacau. Untuk beberapa menit lamanya aku menangis tertahan dan itu menyakitkan. Rasanya masih ada batu di tenggorokan, tapi saat ini aku tak bisa mengeluarkannya. Ponselku berbunyi, Rani menelepon. Sepertinya dia bingung sendiri karena tadi aku langsung pergi. Maaf, Rani. Aku nggak bisa bicara sekarang. Kuabaikan panggilan darinya dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Menunggu sampai sedikit lega, lalu keluar dari bilik toilet. Beruntung saat ini ruangan itu sedang sepi. Aku melangkah menuju wastafel, sejenak kupandangi wajah sembabku di pantulan cermin. Wanita muda yang cantik, dengan setelan blus dan rok span yang serasi. Hanya saja kali ini riasanku terlihat luntur karena air mata. Kuhela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kuulangi beberapa kali sampai perasaanku sedikit tenang, meski dadaku masih saja sesak. Kubasuh wajahku. Dinginnya air kemudian terasa menyejukkan mataku yang panas. Aku coba memperbaiki riasanku meski hanya sekedar mengaplikasikan lipstik saja. Ponselku yang ada di dalam tas kembali berdering. Pikiranku yang masih tertuju pada Mas Adam membuatku cepat-cepat mengambil benda itu. Meski saat kulihat layar, aku kecewa dibuatnya. Itu panggilan dari Allan. Enggan kugeser ikon telepon hijau dan berdehem sejenak untuk menetralkan suaraku. "Ya, Pak?" "Lis--lho? Suaramu kok begitu? Kenapa? Kamu sakit?" Suara bariton Allan yang biasanya terdengar arogan itu sedikit melunak. "Oh, ng-nggak apa-apa, Pak! Serak aja habis makan bakso kepedasan!" kilahku. Sialan! Suaraku beneran terdengar sumbang dan bindeng. "Nggak! Kamu sakit itu, ya udah kamu dimana? Saya kesana sekarang! Kita ke dokter!" Mataku yang masih terasa hangat dan sedikit bengkak langsung terbuka lebar. "Hah? Apa? Nggak usah, Pak! Saya nggak sakit, beneran!" Astaga! Ini dia kenapa, sih? "Pokoknya kamu tunggu disitu, jangan kemana-mana!" Dan aku hanya ternganga melihat layar ponsel ketika Allan mematikan sambungan telepon. "Kalau begini caranya, kami malah beneran jadi bahan gosip di kantor!" gerutuku sambil membereskan lipstik dan ponsel ke dalam tas. Lalu buru-buru keluar dari toilet. Namun baru selangkah aku melewati pintu, aku dibuat kaget manakala melihat sosok tinggi tegap itu sudah berjalan menuju ke arahku. Dengan tatapan lurus tertuju padaku. "Pak ... Allan?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
461.6K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
494.6K
bc

The Perfect Luna

read
4.0M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
599.9K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
462.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook