BAB 7

1050 Words
Bagian 7 Seperti dugaannya, saat Mia terbangun pria itu sudah tidak berada di sampingnya. Kembali meninggalkan Mia dalam keheningan yang pekat. Mia merubah posisi tidurnya yang menyamping menjadi telentang, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih sambil merenungkan sesuatu. Tanpa sadar, tangannya bergerak terulur menyentuh sebelahnya yang masih terasa hangat. Tempat dimana Alex tidur semalam. Dan jika harus Mia akui, berkat pria itu, untuk pertama kalinya Mia dapat tertidur dengan nyenyak di tempat ini. Tapi, apakah benar karena dia? Mia menggeleng, tidak ingin memikirkan hal itu lalu beranjak dari tempat tidur untuk pergi membersihkan diri di kamar mandi yang suasananya serba putih juga---Tempat yang membosankan---Dan entah mukjizat dari mana Mia dapat bertahan sampai hari ini-sejauh ini. Ia melucuti seluruh pakaiannya lalu memutar keran dan membiarkan tubuhnya terkena guyuran air shower cukup lama. Sungguh, ia tidak ingin memikirkan apapun hari ini. Semuanya terasa aneh, terlalu cepat dan sangat tidak terduga. Tentang Papahnya, penculikan ini, dan pernikahannya---pernikahan yang tidak pernah Mia bayangkan. Selama ini, ia sudah menghubungkan segala sesuatunya dengan apapun yang bisa ia kaitkan dengan kejadian yang menimpanya saat ini. Tapi nihil, Mia tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Ia mematikan keran, membuat pintu kaca pembatas kamar mandinya yang tertutup oleh sisa uap panas. Kakinya melangkah perlahan keluar untuk mengambil handuk yang setiap paginya selalu tersimpan dengan rapi walaupun Mia tidak pernah membereskannya. Langkahnya terhenti tatkala ia melihat bayangannya yang telanjang dan juga basah di cermin. Tangannya terulur menyentuh sebuah luka yang mungkin tidak akan pernah hilang di dadanya. Sebuah luka tembakan yang katanya hampir mengenai jantungnya. Mia tidak tahu mukjizat apa yang membuatnya selamat. Namun, satu hal yang ia ketahui, bahwa kesempatannya untuk hidup kembali harus di bayar dengan sebuah ingatan masa kecilnya yang harus hilang begitu saja. Dulu, Mia berpikir itu bukanlah sebuah masalah besar. Toh, dia hanya anak gadis berumur sembilan tahun yang tidak tahu apa-apa. Memori di masa kecilnya tidak terlalu berharga ketimbang kesempatan untuk dapat hidup kembali. Tapi sekarang, memikirkan bahwa ingatan itu mungkin saja adalah kunci dari sebuah kebenaran yang sampai saat ini masih tertutup rapat. Mia benar-benar merasakan hampa yang nyata. Mungkin, inilah salah satu alasan kenapa ia tidak pernah merasa lengkap---seperti sesuatu yang penting telah di renggut secara paksa darinya---namun, Mia tidak pernah tahu hal apa yang bisa melengkapi jiwa nya yang kosong---tidak ada yang pernah tahu. *** Mia baru selesai berpakaian saat seorang pelayan datang ke kamarnya memberi tahu bahwa Alex menunggunya untuk sarapan bersama. Mia hanya menoleh sambil mengangguk singkat sebagai jawaban, kali ini tidak melontarkan banyak pertanyaan karena tahu pelayan itu tidak akan membagi informasi begitu saja secara cuma-cuma kepadanya. Ia membiarkan rambutnya yang masih basah terurai sedikit kusut saat ia mendatangi Alex untuk bergabung bersamanya. Pria itu terlihat sedang menunggu, dengan kedua tangan yang terkepal menopang kepalanya. Matanya melirik tajam ke arah Mia yang sepertinya tidak terlalu menghiraukan keberadaan Alex karena saat ini, ia sudah duduk dan memilih untuk menyantap sarapannya dengan tenang. "kau tidak banyak bicara hari ini, tidak biasanya." komentar Alex pada akhirnya yang merasa risih dengan bungkamnya Mia sejak tadi. Mia mendelik ke arah Alex. "bukankah itu bagus? Seperti yang kau mau." Jawab Mia sinis. Alex terkekeh secara spontan karena mendapatkan respon yang sangat tidak bersahabat itu. "tapi aku sudah terbiasa dengan celotehan dari mulut pintarmu itu. Aku lebih suka kau banyak bicara di banding melihatmu diam dan menutup diri seperti itu. Katakan, apa yang mengganggu pikiranmu?" goda Alex dengan sengaja, tidak bersungguh-sungguh memperlihatkan rasa pedulinya. Mia mengehela nafas kasar seraya menyimpan sendok dan garpu yang saat ini sedang ia pegang dengan sedikit kasar sehingga menimbulkan suara dentingan yang cukup keras. "kau membuat nafsu makanku menguap begitu saja, terimakasih." Katanya tajam, bergegas beranjak untuk kembali ke dalam kamarnya karena kehadiran Alex malah semakin memperburuk mood nya hari ini. "Habiskan dulu sarapanmu, baru kau boleh meninggalkannya." Suara Alex yang mulanya terdengar menggoda kali ini menguap begitu saja, berganti dengan suara penuh penekanan yang tak terbantahkan pertanda jika Alex sedang serius saat ini. "Aku tidak mau!" bantah Mia tidak peduli lagi. “Aku bilang, kembali ke sana dan habiskan sarapanmu!" bentak Alex tak main-main membuat Mia tersentak kaget, berbalik menatap pria yang mood nya dengan cepat selalu berubah drastis seperti itu. "sebenarnya apa yang kau inginkan dariku hah?! Apa?!” teriak Mia balas membentak pria itu. Bibirnya bergetar dan tangisnya tak bisa terbendung lagi, jujur saja ini di luar kendalinya. Tapi Mia rasa ia sudah cukup bersabar hingga hari ini. “dan kau masih bertanya apa yang mengganggu pikiranku?" sambung Mia nanar. "Apa kau pikir selama ini aku bahagia tinggal disini bersamamu, dengan rencana gilamu yang tiba-tiba saja menggiringku ke tempat ini dengan cara yang sangat kasar. Lalu tanpa terduga kau tiba-tiba saja? menikahiku tanpa alasan dan mengancamku atas nama Papah yang sampai saat ini aku tak tahu kabarnya seperti apa? Kau pikir hidupku hanya sebuah lelucon bagimu hah?” Alex langsung berdiri menyambar tangan Mia dan mendorong tubuhnya hingga membentur sudut meja makan. Tubuh bidang Alex, mengunci tubuh Mia yang mungil. Ekspresinya begitu marah dan juga keras. Mia yang tak ingin terlihat lemah di hadapan Alex, mendongakan kepalanya dengan berani tanpa memutuskan pandangannya dari tatapan pria itu yang menusuk. Walaupun dari dalam hati kecilnya, Mia sungguh sangat ketakutan saat ini, belum lagi rasa nyeri di sekitar pinggulnya karena membentur meja di belakangnya membuat Mia ingin sekali merintih kesakitan. "Kau bisa berkata itu sekarang, seakan hanya kau lah satu-satunya korban disini. Tapi kau tidak akan pernah mengerti! Tidak, karena kau tidak pernah mengingatnya. Kau beruntung Mia, kau benar-benar beruntung karena kau tidak perlu melalui masa-masa yang paling mengerikan dalam hidupmu. Dan sekarang, saatnya kau membayar semuanya. Aku tidak peduli kau akan tahu nantinya atau tidak. Percayalah, kau akan lebih menderita jika kau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi nikmatilah semua ini, karena percaya atau tidak ini tidak seberapa dengan apa yang aku lalui." Katanya dengan tajam seraya menatap Mia dengan tatapan penuh benci. Mia tidak pernah di tatap seperti itu oleh siapapun sebelumnya. Pria itu berbalik pergi dan meninggalkan Mia tak memberi ia kesempatan untuk membalas perkataannya. Langkahnya terbilang cepat, bahkan sebelum Mia sempat untuk berkedip pun, pria itu sudah menghilang dari sekitarnya. Tubuh Mia yang sudah lemas sejak tadi, akhirnya luruh ke lantai tak dapat lagi menopang berat tubuhnya sendiri. Ia terisak pelan, memecah keheningan di dalam rumah ini. Bagaimana bisa ia mengerti jika ia tidak tahu apa-apa?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD