Bagian 20
Interior dalam ruangan itu benar-benar minimalis. Hanya ada satu kamar tidur yang menyatu dengan kamar mandinya serta ruang tamu yang juga terhubung dengan dapur kecil di pojok ruangan. Dengan harga penyewaan yang sangat terjangkau Mia rasa tempat ini sudah lebih dari cukup untuk ia menetap selama beberapa waktu kedepan.
Lain halnya dengan Gio yang masih tidak setuju dengan keputusan Mia untuk tinggal sendirian dengan kondisi seperti itu. Mereka telah melalui perdebatan yang panjang, tapi pada akhirnya ia lebih memilih untuk mengalah saja. Masalahnya, ia tidak begitu mengerti apa yang sedang dihadapi wanita itu saat ini, karena kelihatannya dia masih belum ingin menceritakan masalahnya sehingga Gio hargai keputusannya itu.
Mulanya, ia juga telah menawarkan untuk tinggal bersamanya agar ia bisa lebih mudah memantau wanita itu dari dekat karena bagaimanapun juga ia masih sangat khawatir dengan kondisinya pasca kecelakaan. Namun, wanita itu tetap bersikeras bahwa ia baik-baik saja sehingga ia lebih memilih untuk cepat-cepat pergi dibandingkan untuk beristirahat sedikit lebih lama lagi di Rumah Sakit, tapi Gio rasa wanita itu hanya menyembunyikan rasa sakitnya agar ia tidak membuang-buang waktu lebih lama lagi.
"Kau yakin tempat ini nyaman untukmu?" Tanya Gio pada akhirnya masih melihat-lihat interior ruangan itu dengan tatapan tidak yakin.
"Ini sudah lebih dari cukup. Lagipula aku mungkin hanya akan bertahan di tempat ini satu Minggu saja, aku juga akan mencari pekerjaan untuk bertahan hidup sampai aku mengetahui dimana keberadaan Papah," jawab Mia sambil melipat beberapa pakaiannya yang ia bawa dari apartemen Gio sebelumnya. Mia sudah memutuskan untuk hidup dengan cara nomaden sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap dan juga sampai ia bertemu dengan Papahnya. Sekarang hanya itu planning yang akan ia lakukan kedepannya. Mia hanya tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk dari pelariannya ini. Jadi, ia akan terus bertahan hidup dengan caranya sendiri dan sebisa mungkin tidak melibatkan siapapun masuk ke dalam masalahnya.
"Aku pasti akan membantumu."
"Tidak." Tolak Mia cepat. "Kau tidak perlu membantuku lagi, Gio."
"Maksudmu?"
"Aku sudah terlalu banyak merepotkan mu Gio, lagipula ini masalahku, aku tidak ingin melibatkanmu pada kesulitan ku ini. Jadi aku akan melakukannya sendiri."
Gio langsung menggeleng tidak setuju. "Tidak, kau pikir aku akan setuju? Aku mungkin mengalah dengan keputusanmu untuk tinggal di tempat ini, tapi tidak untuk permintaanmu itu Mia. Kau tahu, kau memilih untuk menghubungiku sama dengan kau telah melibatkanku sampai sejauh ini. Jadi bagaimanapun juga, aku akan tetap bersamamu, apapun itu."
"Gio..." Mia berhenti melipat pakaiannya seraya menghela napas pelan. "Ini bukan sesuatu yang pantas kau hadapi..."
"Kalau begitu kenapa kau tidak coba untuk menjelaskannya padaku, Mia?"
"Kau benar-benar ingin tahu?"
Gio mengangguk mantap.
Mia menghela napas, ia tidak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya bukan? "Aku melarikan diri darinya." Ucap Mia pada akhirnya.
"Pria itu?" Entah kenapa Gio enggan untuk menyebutkan nama pria yang sebenarnya adalah salah satu Dosen yang mengajar di kelasnya.
"Tunggu, satu hal yang masih menjadi pertanyaan besar dariku. Darimana kalian bisa mengenal? Dan bagaimana bisa kalian menikah?"
Mia tidak langsung menjawab. Jelas saja, pertanyaan yang pria itu lontarkan kepadanya bukanlah sebuah pertanyaan yang bisa dengan mudah ia jawab karena sejak awal ia sendiri telah berusaha untuk mencari jawaban itu.
"Aku tidak tahu," jawab Mia dengan nada frustasi. "Aku yakin jika aku sama sekali tidak mengenalnya, tapi dia mengetahui banyak sekali tentangku. Dan... Semuanya terjadi begitu saja,"
Gio mengernyitkan kening. "Kau tidak merasa bahwa kejadian ini terlihat aneh?"
"Tentu saja, aku sudah memikirkan ini sejak lama. Tapi aku masih belum menemukan titik terangnya, aku hampir gila, Gio. Tapi yang aku yakini, jika aku sudah menemukan keberadaan Papah, aku pasti akan segera tahu teka-teki ini, secepatnya."
Gio bergumam pelan. Sesaat ia masih mencoba menelaah permasalahan apa yang Mia hadapi selama ini. Sampai suara dering ponselnya berbunyi, ia memberi isyarat kepada Mia untuk mengangkat teleponnya terlebih dahulu.
Gio tampak berbisik dengan ekspresi serius saat berbicara dengan seseorang yang saat ini sedang menghubunginya. Saat ia kembali wajahnya yang semula tampak bersahabat kini berubah menjadi begitu muram.
"Aku minta maaf Mia, ada sesuatu yang sangat mendesak terkait jadwal kuliahku. Tapi tenang, aku akan segera kembali dan jika memungkinkan malam ini juga aku akan berkunjung, oke?"
Mia mengusap punggung tangan pria itu lembut. "Jangan khawatirkan aku, urus saja masalahmu sampai selesai. Sudah ku katakan jika aku baik-baik saja, Gio."
Gio berpikir selama beberapa saat, ia tampak ingin tak ingin meninggalkan wanita itu sendiri di tempat ini.
"Apa lagi?" Tanya Mia keheranan.
"Hmm... Kau mau berjanji satu hal padaku?" Tanya Gio tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri.
"Berjanji untuk?"
Tanpa diduga-duga, pria itu langsung memeluk tubuh mungil Mia dengan begitu erat. "Jangan menghilang lagi, kumohon..." Bisik Gio dengan nada yang sedikit frustasi.
Mia yang tidak tahu harus bereaksi apa akhirnya memilih untuk membalas pelukan pria itu canggung seraya menepuk-nepuk punggungnya pelan.
"Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu Gio, tapi jika itu satu-satunya cara membalas budi padamu, aku akan mengusahakannya,"
Gio melepas pelukannya seraya mendesah pelan, menyampirkan helai rambut yang menutupi sebagian wajah wanita itu, Gio menatap Mia lekat.
"Kau harus tahu, aku menunggumu sampai selama ini. Kau buat aku tergila-gila..." Bisik Gio yang entah kenapa membuat bulu kuduk Mia langsung meremang. Entah kenapa perkataan yang seharusnya membuat Mia tersipu itu malah membuat Mia merasa tidak nyaman. Lekas, ia memberikan sebuah senyuman canggung agar tidak membuat pria itu merasa tersinggung.
"Kau mungkin akan telat, cepatlah urus semua pekerjaanmu. Aku sungguh, jangan khawatirkan aku..." Ucap Mia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, sehingga pria itu langsung tersadar sesuatu dan segera mengiyakan ucapan Mia. Sepertinya, ia memang sedang dalam keadaan yang mendesak karena setelah ia melambaikan tangannya pada Mia dan berjanji akan kembali lagi, ia keluar dari tempat itu dengan tergesa-gesa.
Mia menghela napas panjang saat merasa jika pria itu telah benar-benar pergi. Sebelum kembali untuk menata barang-barangnya yang tidak banyak, Mia mengunci pintu ruangan itu dengan waspada. Jika harus memilih, sejujurnya ia tidak ingin menghubungi pria itu, tapi dikarenakan Mia tidak mengenal siapapun dan ia sudah tidak memiliki banyak waktu lagi untuk berpikir, ia tidak memiliki pilihan lain, kan?
Jujur saja Mia tidak terlalu mengenal pria itu, mereka memang tinggal bersebelahan dulu, tapi hanya sedikit memori yang Mia ingat tentang pria itu. Pertemuan mereka bermula saat Mia menyelamatkan pria itu ketika ia jatuh dari sepedanya, lalu beberapa hari setelahnya Gio selalu mengajak Mia untuk bermain bersama, itupun hanya sesaat karena Mia tidak setiap hari berada di rumah itu.
Namun, yang mengejutkannya Mia sungguh tidak menyangka jika Gio akan menganggap pertemanannya lebih dari itu. Bukannya Mia tidak senang, hanya saja ia merasa aneh dan juga tidak tahu harus membalas kebaikan pria itu seperti apa. Karena siapapun pasti langsung dapat mengetahui apa yang dirasakan pria itu terhadap Mia, sehingga Mia tidak tahu harus bersikap apa karena sepertinya ia tidak akan pernah bisa membalas perasaan pria itu.
**
Hari telah berganti malam saat Mia selesai menata beberapa pakaian dan barang bawaannya di tempat tinggal barunya ini. Tubuhnya terasa sangat pegal, belum lagi luka yang ia dapatkan karena kecelakaan mobil tadi siang belum sepenuhnya pulih.
Saat ia melihat satu bungkus makanan yang ia beli bersama Gio sebelum datang ke tempat ini, barulah Mia menyadari jika perutnya terasa sangat lapar. Ia langsung melahap habis makanan itu sampai suara langkah kaki yang pelan menaiki tangga membuat bulu Mia bergidik.
Suasana di tempat yang Mia tinggali saat ini memang terbilang sangat sunyi, sehingga suara orang yang sedang berbisik-bisik pun akan terdengar walaupun sama. Apalagi hampir keseluruhan lantai dari bangunan bertingkat ini terbuat dari kayu, siapapun yang melangkah di sekitar area kamarnya pasti akan langsung terdengar.
Langkah kaki itu semakin mendekat ke arah pintunya membuat jantung Mia berdetak dengan sangat kencang secara tiba-tiba. Ia langsung meloncat berdiri dan langsung memastikan jika pintu kamarnya telah benar-benar terkunci.
Sampai langkah kaki itu berhenti tepat dengan kamar yang ditempati Mia saat ini, kedengarannya seperti langkah seorang pria berbadan tegap. Tanpa Mia sadari ia kini bernapas dengan pendek-pendek, karena untuk beberapa saat tidak ada lagi suara yang terdengar membuat Mia berspekulasi jika orang itu tengah berdiam diri dihadapan pintunya.
Jika itu Gio, tidak mungkin pria itu hanya berdiam diri seperti seorang penguntit bahkan dengan suara langkah kaki yang terdengar misterius.
Hampir setengah jam, dan Mia tidak lagi mendengar suara apapun dibalik pintu kamarnya. Hal itu membuat Mia berpikir jika ia mungkin telah salah mendengar saja dan ia bisa jadi sedang diliputi rasa cemas sehingga hal itu langsung membuatnya merasa sangat terganggu.
Sekitar pukul 9 akhirnya Mia memilih untuk membersihkan badannya, melucuti pakaian terakhir pemberian dari pria itu. Ia masuk ke dalam kamar mandi sempit yang hanya ditutupi gorden plastik berwarna putih.
Ia membiarkan tubuhnya yang menggigil terkena guyuran air shower selama beberapa saat, bahkan ia tidak memedulikan rasa perih saat air dingin mengenai luka ditubuhnya. Wanita itu malahan menatap kosong kedua tungkai kakinya yang terkena genangan air yang gemercik.
Sampai suara dentuman yang keras membuat Mia tersadar dari lamunannya. Ia mematikan keran shower untuk memastikan apakah ia benar-benar mendengarkan suara itu. Namun yang terdengar hanyalah suara napasnya yang berisik.
Mia memijat pelipisnya yang terasa sedikit pusing. Pria itu telah berhasil membuat Mia merasa paranoid.
Ia keluar dari kamar mandi itu untuk berpakaian dan mengeringkan rambutnya dengan handuk seadanya. Setelah itu, Mia membaringkan tubuhnya diatas ranjang berukuran kecil karena rasa kantuk yang mulai ia rasakan. Ranjangnya memang tidak terlalu nyaman, sedikit pergerakan akan membuat suara bising yang cukup mengganggu. Tapi Mia memilih untuk tidak memedulikan hal itu, ini sudah lebih dari cukup. Pikirnya.
Saat tangannya terulur untuk mematikan lampu kecil di pinggir ranjangnya, cincin pernikahan yang masih ia kenakan membuat Mia mengurungkan niatnya dan malahan menatap jemarinya itu cukup lama.
Bagaimanapun juga, Mia masih tak dapat membenarkan kenyataan jika ia adalah istri sah dari pria itu. Walaupun tak bisa ia pungkiri bahwa pria itu adalah pria satu-satunya yang telah melampaui batas keintiman dengannya selama ini. Jantung Mia langsung berdebar aneh kala teringat bagaimana ia dengan sukarela membalas ciuman pria itu, bagaimana ia membiarkan ia berbagi ranjangnya dan tidur saling berpelukan, dan hari-hari terakhir bersama pria itu Mia menunjukan bagaimana ia tidak memiliki batasan lagi untuk terus menyentuhnya. Hal itu jelas membuat Mia merasa sangat malu.
Ia juga tidak tahu apakah usaha melarikan dirinya kali ini akan berakhir baik atau malah membuatnya semakin sengsara. Karena tentu saja pria itu saat ini tidak akan tinggal diam, hal terburuk yang Mia pikirkan adalah pria itu menggunakan papahnya untuk membalas dendam atas kepergiannya kali ini.
Namun, entah kenapa dari lubuk hatinya yang paling dalam Mia merasa yakin jika pria itu tidak akan melukai papahnya. Mungkin saja...
Mia langsung mengenyahkan pikiran buruk itu lalu mematikan lampu kamarnya dan langsung memejamkan matanya....