BAB 10

1634 Words
Bagian 10 Mia duduk dengan gelisah, bahkan ia tidak begitu menikmati menu sarapannya hari ini. Ciumannya dengan Alex semalam tentu saja membuat Mia benar-benar kalang kabut, pascalnya itu terjadi begitu saja---Tanpa terduga. Dan hari ini, melihat pria itu yang berlaga begitu tenang, seakan semalam tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka tentu saja membuat Mia begitu gelisah. Apa yang sebenernya pria itu pikirkan? Apakah ciuman itu sama sekali tidak berarti untuknya? Dan apa yang pria itu pikirkan tentangnya saat ia membalas ciumannya dengan sukarela? Sejak semalam, pikiran-pikiran itu terus menghantuinya. Ia tidak boleh terperdaya, dan tentu saja Mia harus lebih berhati-hati lagi pada pria itu agar ia tidak mudah jatuh ke dalam pesonanya lagi. Mungkin saja, hal itu juga telah ia rencanakan untuk mempermainkannya seperti biasa. Dan pikiran itu membuat Mia merasa sangat jengkel. "Aku ingin kau sudah bersiap saat aku kembali nanti. Kenakan gaun yang ku beri semalam, aku juga akan mengirim beberapa pelayan yang akan mendandani mu, apa kau mengerti Mia?" kata Alex setelah ia usai dengan sarapannya, tiba-tiba saja mewanti-wanti Mia agar ia melakukan perintahnya nanti. "Maksudmu? Kenapa aku harus bersiap? Memangnya apa lagi yang kau rencanakan sekarang?" tanya Mia berharap Alex akan menjelaskannya walaupun sedikit tentang hal ini. "Kau akan tahu sendiri nanti." Alex hanya memberi jawaban singkat yang sudah Mia duga sebelumnya. Pria itu beranjak berdiri lalu menatap Mia dengan tatapan dinginnya. "Aku hanya ingin kau menuruti perintahku saja, dan aku tidak ingin kau sampai terlambat." sambungnya lalu pergi meninggalkan Mia tanpa penjelasan lebih. Mia mencibir sambil memutar bola matanya kesal. "Dasar Tuan perfeksionis." umpat Mia pelan. *** Alex tidak main-main dengan ucapannya, sore itu setelah Mia baru saja selesai memakai kembali gaun yang Alex berikan semalam, beberapa pelayan yang selalu memasang eskpresi seperti seorang pembunuh berdarah dingin datang untuk mendandani Mia. Sejujurnya, Mia tidak terbiasa di perlakukan seperti ini di tambah lagi rasa tidak nyaman karena para pelayan itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun saat di hadapannya. "Eh, aku harap kalian tidak berlebihan dalam mendandani ku," kata Mia mencoba untuk mencairkan suasana di antara mereka. Tidak ada jawaban ataupun anggukan dari pelayan itu membuat Mia benar-benar merasa frustasi. "Apa kalian tahu kenapa aku harus di dandani seperti ini?" tanya Mia lagi belum mau menyerah. Kali ini salah satu di antara mereka menjawab dengan sebuah gelengan singkat. "Apa berwajah dingin seperti itu termasuk pekerjaan kalian?" tanya Mia yang belum mau berhenti di tengah rasa frustasinya. Tidak ada yang menjawab, hingga Mia memutuskan untuk benar-benar menutup mulutnya saat ini. Mia tidak dapat berkata-kata saat melihat bayangannya sendiri setelah para pelayan itu selesai mendandani nya. Ia memang jarang sekali bersolek sebelumnya, hanya saat dalam sebuah kondisi tertentu yang mengharuskan ia berdandan seperti datang ke sebuah acara formal. Lamunannya seketika buyar saat salah seorang pelayan menepuk pundaknya pelan dan memberi kembali sebuah shoping bag dengan brand yang cukup terkenal. Kali ini isinya adalah sebuah wedges berwarna hitam polos yang saat ia kenakan sangat pas dengan ukuran kakinya. Ia tidak tahu bagaimana pria itu dapat mengetahui semua ukuran dari mulai pakaian hingga alas kakinya. Yang jelas, hal itu selalu membuat Mia merasa tersipu saat memikirkan hal tersebut. "Kau sudah siap." suara berat yang terdengar khas itu berhasil membuat Mia terkejut hingga ia berbalik dengan reflek dan mendapati pria itu sedang bersender miring di ujung pintu sambil melipat kedua tangannya. Sekujur tubuh Mia memanas karena Alex tengah menatapnya dengan tatapan yang begitu intens. Seperti biasa, pria itu tidak menunjukan ekspresi apapun membuat Mia hanya bisa menerka-nerka apakah pria itu menyukai atau tidak dengan penampilannya saat ini. "Memangnya kita mau pergi kemana?" Tanya Mia canggung karena Alex juga terlihat sudah siap dengan setelan formalnya. "Lebih baik kita pergi sekarang. Karena aku tidak suka terlambat." Kata Alex tanpa basa-basi bukannya memberi jawaban dari pertanyaan Mia sebelumnya, pria itu malah bergegas berbalik meninggalkan Mia dengan kebingungannya kembali. Entah kemana Alex akan membawanya pergi. Namun, Mia masih belum dapat mempercayai jika Alex sungguh-sungguh membawanya keluar dari rumah yang memuakkan itu. Pikiran-pikiran untuk mencari cara melarikan diri dari pria ini langsung membuat Mia begitu bersemangat. Walaupun Mia harus berhati-hati karena Alex tidak bisa di anggap remeh begitu saja. Lawannya ini cukup pintar hingga Mia harus memikirkan sedikit berpikir lebih keras lagi agar usaha pelarian dirinya ini tidak berujung sia-sia. "Jangan pernah coba-coba untuk melarikan diri dariku Mia, kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan saat ini?" Kata pria itu membuat Mia terheran-heran karena Alex dapat membaca pikirannya begitu saja. "Apa?" "Kau tidak akan tahu hal buruk apa yang akan terjadi jika kau mencoba-coba untuk lari diriku." Ucapnya dengan nada yang begitu dingin membuat bulu kuduk Mia meremang begitu saja sehingga ia tidak berani lagi memikirkan rencana gilanya itu. *** Masih dalam kebingungannya, Alex membawa Mia pada sebuah universitas seni swasta yang cukup tersohor di kalangan para seniman. Beberapa baner besar menghiasai halaman universitas tersebut bahwa malam ini akan ada pertunjukan Opera klasik yang di adaptasi dari drama terkenal berjudul The phantom of the Opera yang di mainkan oleh para mahasiswa dan alumnus universitas tersebut. Mereka sampai pada sebuah gedung teater yang kini sudah di padati para pengunjung. Entah itu kalangan mahasiswa, panitia, dan para tamu undangan. Saat itu, tiba-tiba saja Alex merangkul pinggang Mia dengan posesif, membuat beberapa orang yang melihatnya begitu iri dengan keserasian hubungan mereka saat ini. "Lihat, lihat Pak Alex sudah datang." "Yatuhan, dia sangat tampan. Aku bisa meleleh saat ini juga." "Gila, dia membuat tubuhku panas seketika." "Tunggu, tapi siapa wanita yang ia bawa itu?" "Eh, bukannya setahuku dia masih berstatus pria lajang ya?" "Tidak---tidak, kau lihat jemarinya! Mereka memakai cincin pernikahan astaga! Kapan mereka menikah?" "Astaga. Apa ini serius?" "Ssst, pelankan suaramu. Mereka datang ke arah kita!" Mia dapat mendengarnya dengan jelas, suara-suara histeris dari para wanita yang sedang berkumpul di ujung sana kelihatannya begitu bersemangat ketika Alex datang, mungkin, Alex adalah salah satu orang berpengaruh di universitas ini. Terlihat dari beberapa orang yang tampaknya begitu segan saat tidak sengaja berpapasan dengan Alex sebelumnya. "Ah, Pak Alex. Selamat malam dan selamat datang. Oh, hari ini kau tidak datang sendiri rupanya. Apa dia kekasih anda?" Seorang pria yang Mia perkirakan salah satu panitia acara tersebut, tiba-tiba saja datang menghampiri mereka untuk berbasa-basi. Alex hanya mengangguk singkat, sama sekali tidak berusaha tersenyum untuk membalas keramahan pria itu. "Dia istriku," kata Alex dingin. Ekspresi pria itu langsung berubah seketika saat mendengar jawaban Alex. "Wah, anda pasangan yang sangat serasi. Silahkan, saya antar. Kami sudah menyiapkan tempat duduk khusus anda di jajaran pertama untuk para Dosen dan Profesor." Katanya tak banyak berbasa-basi lagi, seraya mengantar mereka berdua ke tempat yang telah di sediakan. Akhirnya, sedikit demi sedikit rasa penasaran Mia yang sejak tadi terus berkecamuk di benaknya terjawab satu persatu. Alex menyuruhnya berdandan dan membelikannya gaun mahal ini untuk datang ke acara ini. Dan satu hal lain yang menjadi kejutan Mia adalah profesi Alex sebagai dosen di tempat ini. Pantas saja, Alex tampak begitu di segani di tempat ini. Hanya saja, Mia masih tak dapat membayangkan bagaimana cara Alex mengajar di kelasnya mengingat moodnya yang mudah sekali berubah-ubah. Apakah dia salah satu dosen yang di takuti di universitas ini? Memikirkan itu membuat Mia tanpa sadar terkekeh kecil hingga Alex beralih melihatnya karena merasa terganggu. "Ada apa?" Tanya Alex penasaran. Mia lekas mengulum bibirnya untuk menahan tawanya. "Eh, tidak, tidak apa-apa. Jadi, kau seorang Dosen huh?" "Memangnya kenapa?" Tanya Alex dengan tatapan sinis. Mia langsung mendelik. Bukan sekali dua kali ia mendapat jawaban yang tidak bersahabat seperti itu. "Aku kan hanya bertanya." "Kau tahu, aku paling tidak suka membuang-buang waktuku untuk hal yang tidak berguna. Dan pertanyaanmu itu tidak berguna untukku, karena kau sudah tahu jawabannya benar?" Mia mengerutkan keningnya tidak suka. "Justru karena itu aku bertanya. Aku belum tahu pasti apakah jawaban ku benar atau tidak. Ah tapi maaf, maaf sekali karena telah membuang-buang waktumu Tuan Perfeksionis." Desis Mia seraya memalingkan wajahnya cepat agar ia tidak meledak saat ini juga---tidak di tempat ini. Bukannya merasa menyesal, samar Mia dapat mendengar suara Alex yang terkekeh menjengkelkan di sebelahnya. Tak ada lagi perbincangan di antara mereka saat acara di mulai dengan pembukaan yang membosankan. Lalu di lanjutkan dengan inti acara yaitu penampilan Opera yang cukup memukau para penonton. Bahkan Mia di buat berdecak beberapa kali karena merasa takjub dengan alur cerita dan akting para pemain yang bermain begitu totalitas. Di tambah lagi, Mia begitu menyukai peran sang tokoh utama Eric Destler sebagai seorang musikus yang menyerahkan jiwanya kepada setan agar karya-karyanya dapat di kenal khalayak banyak sampai ia jatuh cinta pada tokoh wanita Christine Day, seorang wanita yang tengah berupaya untuk mendapatkan peran di sebuah Opera. Kisah ini memang cukup tragis karena berakhir dengan kematian.  Walaupun Mia sudah berulang kali menonton Opera yang mengangkat dari cerita ini, entah kenapa ia tidak pernah merasa bosan. Tiba-tiba saja rencananya untuk melarikan diri terbesit kembali, dan tentu saja hal itu langsung membuat jantung Mia berdebar keras. Ia melirik ke arah pria di sampingnya sekilas. Pria itu terlihat sedang serius mendengarkan MC di depan. Mia menggigit bibirnya seraya berpikir keras. "Alex..." Panggil Mia sambil berusaha menutupi kegugupannya saat ini. "Hm?" "Aku ingin ke toilet. Dimana tempatnya?" Tanya Mia hati-hati. "Oh. Saat kau keluar dari gedung ini kau tinggal lurus saja ke arah kanan." Jawab Alex tampak tidak terlalu peduli membuat Mia terheran-heran karena Alex membiarkannya begitu saja tanpa pengawasannya. Mia menaikan kedua alisnya. "Baiklah." Katanya cepat-cepat sambil beranjak untuk keluar dari tempat ini. Ah, dan benar saja. Alex tidak sungguh-sungguh membiarkan Mia pergi tanpa pengawasannya, pria itu sudah berjaga-jaga dengan mengutus para suruhannya untuk mengawasi gerak-gerik Mia. Dari sudut pandang matanya, Mia dapat melihat bahwa beberapa pria dengan pakaian serba gelap tengah mengikutinya dari belakang. Hal itu tentu saja membuat Mia sangat risih sehingga ia segera mempercepat langkahnya. Namun, di tengah kewaspadaannya saat ini, tiba-tiba saja seseorang menarik tubuhnya dari samping seraya membekap mulutnya agar teriakan Mia tidak terdengar oleh siapapun...    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD