Bingkai hati

760 Words
Seperti biasa, cahaya mentari melesat, membangunkanku dari balik jendela. Aku sering terlelap dengan kepala terbaring di atas meja. Sebuah meja, dimana mataku bertatapan langsung dengan jendela kamar. Melihat keluar, menatap segar senyuman langit di pagi hari. Namun suara lengkingan ibu sontak mengejutkanku, membuyarkan semua pikiran yang tengah kubendung sejak sepuluh menit tadi. "Cepatlah mandi, kita akan ke Fantasiana!" ajak ibuku sembari bergegas. "Fantasiana!?" "Ya, kita akan menghabiskan seharian penuh sebelum kau mengikuti audisi Cataville University. Lagi pula otakmu juga butuh istirahat. Kau tak bisa selalu bermain piano di kamar kecilmu." gegernya panjang lebar, membuatku mati kutu. "Baju salin.. sudah, bekal.. juga sudah, apalagi ya?" ucapku mengingat-ingat. "Jangan lupa bawa kamera. Bukankah wajahmu juga ingin dipampang di dinding-dinding ruangan?" "Baiklah, hampir saja tertinggal." sontakku cepat. Tak sangka, ia begitu perhatian padaku. Sampai-sampai keinginanku tak luput dari pikirannya. Semua perbekalan tersedia di ransel cantikku. Kami pun angkat kaki ketika jarum jam pendek memeluk angka sembilan. Fantasiana World, 3 November 2015... Aku terpukau, pada semua mesin wahana yang berpijak angkuh. Mataku tertuju pada satu wahana unik, "Big Bubble Gummy". Suatu wahana merah muda yang di dalamnya berselimutkan rekatan permen karen. Tanpa berlama-lama, lesat kutarik tangan ibuku, menggeretnya cepat menuju kesana. Kutatap tulisan 'Start', menandakan permainan ini segera dimulai. "Wahh, lorongnya panjang sekali." kata ibuku takjub. "Lihat, permen karetnya meletus. Lucunya!" teriakku kegirangan. Disini, kami harus berjalan menyusuri sebuah lorong yang panjang. Baru masuk saja sudah banyak gelembung yang menyambut kami. Banyak letupan permen karet pecah, lalu bersarang di wajah kami. Permen karet itu menatap kami dari sisi-sisi dinding lorong. Permen karet itu merupakan permen karet imitasi, agak lengket, namun mudah dibersihkan dan juga dilepaskan dari pakaian. Kami berjalan hampir ke garis finish. Disana kami menjumpai gelembung yang awalnya kecil, tapi lambat laun bertambah besar. Tak hanya itu, banyak gelembung di sekitarnya saling beradu dan membuat letupan yang amat dahsyat. Kami berteriak kegirangan, saat mereka menjaring kami dengan guyuran permen karet. Letusan itu, merupakan puncak, sekaligus penutup wahana ini. Banyak wahana yang ingin kutunggangi, seperti Roller Coaster Naga, Rumah Monster, Perahu Nuh, Planet Alien, Kerajaan Mainan, dan masik banyak keseruan wahana lainnya. "Wahh... Bagaimana jika kita naik Twister? Sudah lama kita tak menaikinya." ajak ibuku, sekaligus menantang adrenalin denganku. Aku hanya menatap risau wahana itu dari kejauhan. Twister, adalah wahana berkecepatan tinggi dan berputar spiral menuju puncaknya. Ia berputar-putar seperti itu selama lima kali. Bila kupikir ulang, aku agak ragu untuk naik kesana. Aku takut bila sudah di puncak lalu melihat ke bawah, aku akan kembali mengalami histeria. "Mengapa melamun? Bukankah dulu kau menyukainya? Sedari dulu kau suka yang memacu adrenalin." tuturnya memberi tahu. "Benarkah? Baiklah, kita harus kesana!" balasku terlukis keraguan. Mendengar di masa lalu aku pernah menyukai Twister, mendesakku lekas mencoba permainan itu. Berharap ketika naik kesana, lalu menatap ke bawah, akan menyibak sebagian memori ingatanku. "Ayolah! Tak usah berlama-lama." tangannya menggandengku erat melangkah kesana. Kami duduk di bangku eksekusi, saling berpegangan tangan, tengah menunggu putaran kencang luncuran wahana. Jantungku berdegup tak karuan. Gelegar mesin wahana rontokan jantung ini. Awalnya perputaran mesin masih pelan, namun lambat laun semakin meningkat kala tiga perempat ke arah atas. Takutnya bukan main, adrenalinku memuncak seketika. Kelopak mataku pun tak berani terbuka. Tanganku menggenggam kuat tangan ibu, berharap ia selalu lekat di sampingku. Ketika putaran terakhir berada di puncak, kusibak cerah kedua mata ini. Pandanganku beralih ke bawah, berdoa agar ingatanku itu kembali tersibak walau hanya sedikit saja. Sekejap, jantungku berdebar teramat kencang. Permainan telah berakhir, namun otakku masih berdenyut keras. Kakiku berjalan berat sebelah, hendak keluar dari area wahana ini. Sekujur tubuhku berjubah peluh air dingin, aku pun ambruk seketika. Sebelum pandanganku buyar, mataku sempat melihat seorang pemuda secara spontan menangkap tubuhku. Kemudian cahaya penglihatanku mulai meredup, gelap, dan tampak kosong. *** Katup mataku terbuka lebar-lebar, tampaknya aku belum mati. "Syukurlah kau telah siuman, aku khawatir padamu." "Aku sudah baikan. Dimana kita?" tanyaku pada ibu. "Kita berada di ruang rawat Fantasiana." "Bagaimana bisa aku berada disini?" tanyaku masih belum mengerti. "Tadi ada seorang pemuda membawamu kemari, kenapa?" "Aku harus berterimakasih padanya. Dimana ia sekarang?" "Ia sudah pergi sejam yang lalu. Sepertinya ia sudah jauh." terka ibuku menyayangkan situasi ini. Tak sangka, aku telah menghabiskan waktuku di ranjang rawat hingga petang. Aku bodoh, sangat bodoh. Menghabiskan waktu tiga jam hingga menguras waktu bermainku. Namun apa yang aku dapatkan? Aku tidak mengingat kenangan apapun, semuanya sia-sia. Meski begitu aku tetap bersyukur. Setidaknya kini akan ada banyak foto yang menghiasi setiap sudut ruangan. Senyuman manis akan lahir dari bingkai-bingkai yang terisi kemilau momen penting. Kuharap suatu hari nanti aku bisa mengulang hari bahagia ini. Kami pulang dengan rasa gembira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD