Gagal

1802 Words
Catatan: Glosarium/Footnote ada di bagian akhir cerita. Tulisan bold sekaligus italic menandakan kata tersebut ada di Glosarium/Footnote. Contohnya: Coda Cataville Art University, 2 Januari 2015... Ratusan peserta membanjiri zona kampus yang megah. Pesona dinding-dinding bata abu merekat kuat, menerjang semua bangunan kaku setiap sudut pandang. Adapula daya tarik tersendiri dari menara-menara sekolah yang menawan. Tempat ini sangat luas, berpijak di sekolah ini membuatku agak canggung. "Ingat, jangan gugup. Mainkanlah lagu ini, anggap saja ini milikmu." tunjuk ibuku pada secarik kertas mungil. Kertas itu berisi sebuah lagu yang merupakan lagu ciptaan Shania. Ibuku menyalinnya untukku, bahkan ia menulis namaku sebagai pencipta lagunya. "Tapi ma, ini bukanlah laguku. Ini adalah lagu..." Sebelum sempat berujar, perkataanku dipenggal olehnya, " Stt!! Tidak apa-apa, lagipula Shania sudah meninggal dalam kecelakaan itu." "Kecelakaan?" selaku cepat. "Ya, kudengar pemilik rumah kita sebelumnya sudah meninggal akibat kecelakaan besar." jelasnya berdalih, lalu mata kokohnya menatap padaku, "Ini semua demi kamu, demi membuka semua ingatanmu. Kau mengerti?" Kuanggukan kepalaku pelan, tanda memahaminya. Tatapanku kembali mengunjungi bait lagu itu. Sejujurnya, aku tak mau mengakuisisi lagu milik orang lain, karena itu bukanlah hakku. Tapi apa boleh buat, mungkin ini adalah langkah awalku untuk kembali merajut mimpi sebagai komposer. Kerumunan peserta mulai memasuki area gedung. Iringan langkah orang banyak menarikku kesana, ke dalam sebuah aula besar yang disemaraki satu layar lebar yang terpampang di depan. Sebelum masuk, lambaian tangan ibu menyemangatiku dari luar. Ia menungguku pada sebuah bangku di bawah rerimbunan pohon pinus teras sekolah. "Semangat..!" teriaknya tak di sangka-sangka, sambil mendadahiku sekali lagi. Aku duduk di bangku terdekat dari jendela, menelisik pandang ke seluruh ruangan. Semua peserta memadati ruangan ini. Banyak dari mereka yang menari, beradu akting, dan juga menggambar cepat sebuah sketsa. Tak sedikit pula yang membawa alat musik untuk berlatih sambil menunggu namanya diseru. "Semua peserta harap memakai nomor ujian. Selanjutnya akan dipanggil sesuai nomor urut." Terdengar lantang dari balik speaker. "Nomor satu, Moreau Dunn. Silahkan memasuki ruangan." Kutatap sebuah layar di sudut ruang atas. Disana terlihat seorang lelaki memasuki ruang audisi. Pemuda berambut sebahu itu akan mempertunjukan bakatnya, yaitu animation dance. Suara musik hip-hop menggetarkan seluruh tubuhnya. Tangannya melaju cepat, mengguncang seluruh penonton. Tubuhnya berputar ibarat lesatan badai, membuat penonton berdecak kagum. Tariannya ikut berhenti tatkala untaian musik telah usai. Terdapat lima juri tengah duduk di depan. Setiap dewan juri diberi hak satu poin kepada peserta. Peserta akan lolos jika minimal mendapatkan tiga bintang. Aku yakin Moreau pasti berhasil. Jika standarnya saja tidak memenuhi kriteria, apalagi aku. "Wah, audisi pembuka saja sudah menyegarkan mata. Aku sih yes, tapi tak tahu kalau juri lainnya." puji Tuan Harry Gates menyeringai. Pria berambut ombak dan bertinggi besar ini adalah seorang seniman terkenal. Ia turut menjadi juri dan sudah lama menjadi staff di sekolah ini. Kini ia telah menjabat sebagai direktur. "Aku juga yes." lantang Juri Ben yakin. Moreau memperoleh bintang lima. Suatu pencapaian yang amat memuaskan. Apalagi Tuan Gates memberikan pujian untuknya. Aku sering menyaksikan Tuan Gates di televisi. Dia tak mudah untuk memuji seseorang. Hanya seseorang yang berbakat fantastis saja yang berhak disanjung olehnya. Tubuhku berpaling ke arah jendela. Menatap keluar. Bola mataku menangkap sesosok gadis yang wajahnya familiar. Ia tengah berlari menuju gedung. Dia tampak sama dengan yang aku lihat di pasar, sedang mengenakan gitar butut. Sosoknya yang berbusana ala rocker membuatnya mudah kukenali. Gelagatnya yang keras membuatku tahu itu memang dia. Kujuluki saja dia 'gadis roker'. Kutatap lagi gadis itu, kutangkap nomor urut '10' miliknya. Ia mempercepat langkahnya, karena sesaat kemudian namanya akan disebut. Gadis itu kembali melesat, hampiri pintu ruang audisi. Namun petugas ujian menghadang dirinya, "Maaf, kau tidak boleh masuk. Kau tidak mengena..." "Tapi aku harus masuk, jika tidak...." "Sekali lagi, nomor sepuluh, Ovy Zaikha!" Gadis itu melirik ke atas, ke arah speaker. "Apa kau tuli? Dia menyebut namaku. Dan aku belum terlambat." kata gadis roker itu bernada kasar. Kakinya menendang petugas itu, menembus petugas lainnya hingga memasuki ruang audisi. Sesaat, ia berdiri tepat di depan para juri. "Oh, jadi namanya Ovy." sebutku dalam batin. "Apa yang terjadi?" sela Tuan Gates. "Ia terlambat ke aula, tidak mengisi daftar hadir, dan menjatuhkan petugas." ucap petugas wanita di belakangnya. Ovy malah memperkuat intonasinya, "Tapi aku tepat waktu, aku datang saat namaku dipanggil!" Suasana memanas sekejap. Tuan Gates menatap jam tangannya sejenak, lalu ia tatap Ovy seksama. "Pertama-tama perlihatkan saja penampilanmu. Bagaimana?" wajah Tuan Gates menatap ke juri lainnya, kemudian ia kembali memandang Ovy, "Tetapi sebagai gantinya aku takkan memberimu poin. Jadi kau harus membuat juri lainnya terpesona olehmu." Petugas ujian kembali ke posisi semula. Semua dewan juri lainnya hanya diam menatap Tuan Gates sejenak, lalu memindahkan pandangan ke depan. "Oke, kita sepakat!" tegas Ovy dengan sorot mata berapi-api. Ovy mengenakan gitarnya. Jemarinya yang lunglai memetik senar dengan lihainya. Kemudian ia mulai bersenandung. Aku ingat, lagu ini adalah lagu yang ia nyanyikan tempo hari. Lagu apakah ini? Apa ini lagu ciptaannya? Suara seraknya menjadi ciri khas tersendiri. Irama musik rock kian memperkuat vokalnya. Dewan juri berdiskusi sebentar, kemudian mereka mengumumkan hasilnya. "Selamat, bintang empat. Kau lolos!" ucap Tuan Ben mengejutkan. Meski tak memperoleh poin dari Tuan Gates, ia tetap mampu lolos dari seleksi. Lalu apa jadinya jika ia tidak datang terlambat? Akankah ia meraih bintang lima? Bibir keringku kusiram lagi. Entah karena sering menenggak air, membuatku berhasrat untuk buang air kecil. Lantas kubangkit, segera melangkah cepat mencari toilet. Bola mataku secara tangkas menemukan ruang kecil itu. Tampak sebuah lorong yang menghubungkan dua ruangan, yaitu toilet pria dan toilet wanita. Tanpa memperhatikan keadaan, tiba-tiba kuberadu pundak dengan seorang pemuda, saat kuberlari di antara dua ruangan. "Maaf, aku buru-buru." sentakku terkejut tanpa menatapnya. Pandanganku beralih ke depan, ke arah pantulan kaca toilet. Sambil bercermin, terlihat sesosok gadis bermuka masam. Aneh, acapkali bercermin kurasakan sekilas bayangan yang menyerupai diriku. Namun sepertinya ini hanya delusiku saja. Perasaan hati yang selalu muncul berulang, tampak sama. Sekali lagi, kutatap bosan garis wajahku. Usiaku masih 17 tahun, tapi parasku tampak lebih tua. Mungkinkah karena kecemasanku yang terlalu mendalam? Benar saja, suatu benda telah lenyap. Secarik kertas itu hilang. Aku panik setengah mati. Aku keluar dari toilet, kembali ke aula besar. Kucari bangku yang tadi kududuki. Bagaimana jika kertas itu hilang? Apakah audisiku akan gagal? Bayangan kelabu mendekat, ia menghampiriku dari arah belakang. "Kau mencari benda ini?" Tubuhku berbalik padanya. Kupandangi wajahnya, ternyata ia adalah pemuda di detik terakhir yang beradu pundak denganku. "Ya, bagaimana bisa ada di tanganmu?" tanyaku heran. Ia kembali mendekatiku, jaraknya sangat dekat, sekitar tiga jengkal. "Hmm... Twister! Akulah Mr. Twister. Apa kau ingat?" "Twister?" balasku tak mengerti. "Ya, itulah kata kuncinya. Twister. Coba kau ingat-ingat lagi!" ucapnya menyernyit, kemudian ia pergi meninggalkanku. Hatiku berdentam kencang, belum pernah sebelumnya aku sedekat ini dengan lawan jenis. Bahkan, jantung ini berdetak lebih kencang dibanding kegelisahanku saat menaikki Twister. Twister! Ya, Itulah kata kuncinya. Dia, ya dia, seorang pemuda yang telah menyelamatkanku bulan lalu di Fantasiana. Kusandarkan tubuhku pada wajah bangku, sambil menghela nafas lega karena kertas ini terselamatkan. Bila ditilik, sepertinya kertas itu terjatuh saat aku berhantaman dengannya. Hanya itulah satu-satunya dugaan terkuatku saat ini. Tak selang lama, suara speaker kembali berbunyi, "Nomor 57 Kay Perswave, 58 Nicole Pierce, dan 59 Ashley Stence. Silahkan masuk ke ruang audisi." Wajahku terbeliak, saat mengenali salah satu personil grup tersebut. Pemuda berambut pirang dan pengemut lolipop itu, rupanya namanya adalah Ashley Stence. Tak mau kalah, aku juga akan memberinya julukan, 'Mr. Twister'. Kini dia berdiri disana, bersama kedua teman wanitanya, tengah beradu bakat di depan para juri. Multigenre Vocal? Pertunjukan macam apa itu. Namun itulah yang akan mereka tampilkan di ruang perlagaan.. Lantunan lagu dimulai dari gadis berpita merah, Nicole. Kemudian disusul oleh gadis keriting bernama Kay. Bila ditelisik, corak musik yang mereka dendangkan berbeda. Kemudian warna pertunjukan kian meriah saat 'Mr.Twister' bersenandung. Ia menyanyikan tiga genre musik sekaligus, membuat para penonton berdecak kagum. Pada akhir lagu, mereka menyatukan suara yang berbeda warna. Kini aku tahu apa yang dimaksud Multigenre Vocal, yaitu musik berbeda genre yang dikemas menjadi satu kesatuan. Mengisyaratkan bahwa, meskipun kita berbeda tetapi pada hakikatnya sama, satu arah, satu tujuan, yaitu 'musik'. Kedua telapak tanganku bertepuk kencang, saat mendengar Mr. Twister berbintang lima. Ia memang menakjubkan, tak sepertinya yang kuduga sebelumnya. Awalnya aku hanya menganggapnya sebagai pemuda lolipop saja, lucu dan imut. Tak sangka, rupanya ia juga tampak cool di hadapan layar kaca. *** Kutatap kembali jarum jam. Tampak ia sudah tergelincir jauh ke angka empat. Kini nomor urut '108' dan '109' telah memasuki ruang audisi. Berarti, sesaat lagi nomor urutku akan lekas diseru. Entah mengapa pada menit-menit terakhir, rasa takut ini kian menjerat batinku. Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, mengguncang jiwaku sesaat. Seseorang menyembul tepat di hadapanku, mengejutkanku seketika. Secara spontan kulihat ke arah wajahnya. Ternyata dia adalah Mr. Twister. "Selamat ya! Kau telah berbintang lima." ucapku sambil menaruh tangan, hendak berjabat tangan dengannya. Dia pun membalas isyarat dariku. Inilah, untuk pertamakalinya aku benar-benar menyentuh tangan seorang pria. Senangnya bukan main. Aku berfantasi ria, dengan sejuta ilusi yang melekat di benak. Namun semua khayalku pudar saat ia menarik tangannya dariku. "Waw, keringatmu banyak sekali. Sepertinya kau gugup. Isaplah lolipop ini. Setelah mengemutnya, rasa gugupmu akan hilang." bebernya menjelaskan. Bibirku pun tersenyum, sambil merebut ia secara perlahan dari genggamannya. Kuhisap lolipop itu. Butiran gula manis pekat memanjakan lidahku, butiran lembutnya menerjang hingga ke langit-langit mulutku. "Apa kau sudah baikkan? Bila belum, pejamkanlah matamu, lalu emut ia secara perlahan. Lalu bayangkan semua hal yang kamu inginkan." Dengan bodohnya kuturuti saja setiap ucapannya. Kututup kedua katup mataku seperti yang ia ucapkan. Kubayangkan diriku berhasil melampaui ujian ini, bahkan bertemu dengan Mr. Twister lagi. Bunyi speaker kembali berdecik. Kusibak kedua mataku kala kutangkap suara itu, memutuskan semua renunganku sekejap. Lolipop itu kulesap, kumasukan ia ke dalam saku bajuku. "Nomor 111, Sasha Tazka. Dipersilahkan masuk." ujarnya kembali. Sebelum masuk, kulemparkan senyum manis pada Mr.Twister. Aneh, kucuran keringat yang membanjiri tubuhku perlahan lenyap. Mungkinkah ini pengaruh dari lolipop? Atau hanya sugestiku saja? Akhirnya, aku memasuki sebuah area menegangkan, yakni ruang audisi. Kuhampiri grand piano di ujung ruangan, lalu duduk, sembari mengambil nafas panjang untuk mengobati rasa nerveous. Lembar lagu milikku kubaringkan di atas wajah piano. Perlahan kumainkan melodi yang terpaut disana. Dentingan piano indah menari riang di hadapanku. Lagu ini kian mengiris hati kala nada-nada minor kulentingkan. Ketika lagu ini hampir habis, tanganku ber-manuver ria dan berhenti ketika telah berada di ujung coda. Kulihat Juri Gerald dan Juri Denna memberikan pion untukku. Namun sayang, Juri Gates, Juri Karri dan Juri Ben tidak memberikannya. Itu berarti poinku hanya dua, dan aku gagal audisi ini. Untuk pertama kalinya, aku bayangkan wajah ibuku berlara, sebab aku hanyut dalam lautan kegagalan. Bagaimanakah kisahku selanjutnya? Mungkinkah aku takkan pernah menyentuh ingatanku lagi? Karena kini aku tidak bisa lolos di universitas ini. Padahal, sejatinya sekolah ini adalah tempat yang akan menunjukan kembali ingatan-bakatku. Disini, di ruang audisi ini, semua pertanyaan hidupku kembali mencuat, memenuhi semua lapisan otakku. Glosarium/Footnote: Coda: Bagian penutup sebuah lagu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD