bc

Marriage Bet (INDONESIA)

book_age18+
710
FOLLOW
3.8K
READ
billionaire
friends to lovers
badboy
goodgirl
independent
student
bxg
humorous
lighthearted
city
like
intro-logo
Blurb

“SEMUA GARA-GARA VIDEO TARUHAN NIKAH KAMI JADI VIRAL!”

Dipertemukan dalam pesta kecil, John Adams dan Pamela Notonegoro terjebak dalam permainan Truth or Dare. Sifat keras keduanya didukung kesalahpahaman kecil mengawali taruhan nikah tak direncana itu. Ketidaksengajaan lainnya terus berdatangan sampai akhirnya nasib memaksa mereka untuk saling membantu.

Pamela perlu uang untuk pengobatan papanya yang semakin kritis dan John perlu alasan untuk tidak dihentikan dari pekerjaannya sebagai model. Dengan kontrak hubungan palsu, mereka memulai kebersamaan yang awalnya tidak diinginkan.

Seperti es batu yang dingin dan keras, begitulah hubungan John dan Pamela. Tetapi sekeras dan sedingin apapun es batu, pasti akan meleleh dan akhirnya menghangat juga, bukan?

~~~

Copyright 2021. Yohana Ekky Tan.

chap-preview
Free preview
Prolog : Taruhan Nikah
"Oke, aku temenin kamu. Tapi cuman nemenin ya." Seorang gadis berambut coklat tua panjang berjalan dengan sedikit tarikan dari temannya menuju ke dalam sebuah apartemen. Di ruang tamu apartemen tersebut ada tujuh orang sedang berkumpul saling mengobrol dan bercanda. Makanan dan minuman tergeletak di atas meja maupun di lantai, membuat ruangan yang minimalis tapi indah itu menjadi berantakan. Ini adalah sebuah perkumpulan mahasiswa Indonesia di Pittsburgh, Amerika Serikat. Seorang pemuda berkaos hijau menyambut kedatangan kedua gadis yang baru datang itu. Ia mengajak mereka duduk dan menyuguhkan dua botol bir. "No, thanks," ucap Pamela menolak dengan sopan. Ia sama sekali tidak menyukai bir. Sementara itu, temannya justru sudah mendapati kenyamanan mengobrol bersama dengan pemuda yang diincarnya selama empat bulan terakhir ini. Alhasil ia hanya terduduk bosan mengamati sekumpulan orang yang tak dikenalnya sedang asik dengan aktivitas tak jelas mereka. Beruntung ia membawa iPad-nya sehingga ia bisa membaca novel digital yang baru dibelinya. Namun tentu saja situasi yang berisik dan asap rokok elektrik serta bau bir membuatnya tidak bisa berkonsentrasi membaca. Melihat pintu balkon terbuka, ia pun bergegas meninggalkan tempat dan menuju ke sana dengan membawa iPad yang sudah dimasukkan ke dalam tas slempangnya. Dari lantai sebelas apartemen ini, pemandangan pusat kota Pittsburgh dengan gemerlap lampunya terhampar luas. Angin yang menerpa wajahnya terasa sejuk dan sedikit lebih dingin karena sudah memasuki musim gugur. Ia berharap bulan Desember segera tiba, bukan karena itu masa liburan tetapi karena ia bisa fokus bekerja. Semenjak perusahaan papanya mengalami kebangkrutan ketika ia masih SMA, ia belajar dengan giat sambil bekerja paruh waktu di bimbel Bahasa Inggris. Dengan sekuat tenaga, orang tuanya bekerja begitu keras demi menyekolahkannya sampai tamat S1 di Universitas Indonesia. Namun keberhasilan itu dirasa belum cukup karena cercaan masih terus datang dari pihak keluarga besar mamanya. Bertekad menaikkan taraf hidup keluarganya seperti dulu, ia mengikuti program beasiswa internasional. Tak disangka ia lolos seleksi hingga ia kini menjalani S2 di bidang edukasi Bahasa Inggris di Universitas Pittsburgh. Dering klasik dan getaran di saku celana Pamela berhasil mengalihkan perhatiannya dari pemandangan malam itu. Ditengoknya layar ponsel yang menunjukkan nama mamanya di sana. Panggilan masuk melalui w******p itu diterimanya dengan riang. "Hai, Ma. Iya, semua baik kok. Hari ini kuliah lancar. Banyak riset sih karena perlu tambah pengetahuan untuk tesis. Mama sama Papa baik, kan? Jaga kesehatan ya. Jangan khawatirin aku berlebihan dan nggak usah kirim uang. Disimpen aja untuk sehari-harinya Mama sama Papa. Uang saku aku cukup kok. Lebih malahan. Jadi bisa nabung." Pamela tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia memang menabung, tetapi bukan dari kelebihan yang ia miliki melainkan hasil menghemat. Delapan puluh persen uang sakunya selama ini dimasukkannya ke dalam rekening pensiun untuk kedua orang tuanya secara diam-diam. Penghasilan dari pekerjaan paruh waktu dari mengajar Bahasa Indonesia online lah yang memberinya amunisi tambahan untuk bertahan hidup. "Pam, ayo masuk! Di sini kan dingin." Suara temannya mengganggu percakapannya dengan mamanya. Ia menyadari kesalahannya dan menyeringai, tapi kemudian memimikkan padanya, "Makan dulu. Kamu kan belum makan. Nanti sakit loh." Mendengar kata 'makan', Pamela mengangguk tanpa ragu. Jika ia bisa makan di sini, artinya dia bisa menghemat. Karena itu, ia tidak lama berbicara dengan mamanya dan mengakhiri panggilan. Temperatur yang rendah juga mendukungnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. Membalik badan setelah menutup pintu, kakinya tidak sengaja sedikit menginjak tangan seorang pemuda berparas bule berambut pirang bercampur coklat. "I'm so sorry, I didn't*" "Nggak papa," sahut pemuda itu yang rupanya berbahasa Indonesia. Ia mengelus-elus tangannya yang terasa sedikit nyeri akibat injakan Pamela. Pamela mengucapkan maaf sekali lagi lalu pergi untuk duduk di sebelah temannya. Ia meletakkan tasnya di lantai lalu mengambil dua potong pizza sekaligus dari kotaknya tanpa ragu. Dengan penuh rasa syukur ia menikmati apa yang tidak perlu ia bayar. "Biar seru, kita main Truth or Dare yuk." Seorang gadis bertubuh seksi dengan balutan tanktop dan celana panjang robek-robek menyuarakan keinginannya. "Pass," pemuda yang tangannya diinjak Pamela menyahut cepat. "Nggak asik deh lo, John," gadis tadi berkomentar sebal. "Nggak boleh ah. Ini ulang tahun gue, jadi semua yang ada di sini harus ikut." Kini ia memaksa. Selain John, sebenarnya Pamela juga ingin melewatkan permainan klasik yang tidak disukainya ini. Namun ia tidak memiliki pilihan dan bisa makan gratis sepuasnya di sini. Pikirnya, satu kali bermain tidak akan menyakitkan. "Tapi kali ini mainannya beda ya. Truth or Dare yang biasanya kan milih sendiri, kali ini orang yang di sebelahnya yang milihin." Gadis itu menciptakan peraturan baru yang disetujui oleh semua yang ada di situ kecuali John dan Pamela. "Kita mulai dari ... John!" John tersentak dan menegakkan tubuhnya. "Kok gue sih? Kan gue tadi mintanya pass, tapi lo maksa. Harusnya gue terakhir aja lah," protesnya. "Nggak ada. Pokoknya lo yang pertama." Gadis itu bersikukuh. "Dan, lo pilihin buat John. Truth or Dare?" Ia menyebut pemuda di sebelah John. "Truth aja. Gue sih baik orangnya," pemuda menjawab lalu memberi tos pada John. Si gadis yang berulang tahun rupanya masih tidak terima. Ia memiliki ide yang tidak disangka justru mengejutkan Pamela. "Pendatang baru," sebutnya merujuk pada Pamela. Yang dipanggil pun terkejut dan hampir tersedak saat mengunyah pizzanya. "Lo yang kasih pertanyaan buat John, ya. Apapun boleh. Dari yang umum sampai pribadi juga boleh. Ini kesempatan baik loh untuk nanyain model Vogue." Gadis itu menaikturunkan alisnya dan memberikan senyuman. "Betewe, siapa nama lo?" "Pamela," sahutnya setelah menelan kunyahannya bulat-bulat. "Oke, silakan." Kedua tangan gadis itu mengarah kepada John seolah mempersembahkan sebuah penampilan seni. Pamela tidak tahu harus bertanya apa. Ia menarik napas panjang seraya berpikir. Beberapa orang tak sabar menunggu hingga mendesaknya untuk segera memberikan pertanyaan. Namun di tengah-tengah situasi itu, dentingan nada pesan masuk di ponselnya terdengar. Tanpa sengaja jemarinya menekan layar dan membuka pesan dari tantenya. Terkejut akan isi pesan itu, Pamela sontak menyuarakan isi pesan aneh itu, "Kapan nikah?" Pertanyaan yang tidak dimaksudkan untuk diberikan itu mendapat sorakan dari orang-orang di dalam ruangan itu. "Sadis bener cewek ini nanyanya udah menghujam bagai pedang bermata dua," Daniel berkomentar dengan tawa puas. Ia menyenggol sahabatnya dan mendesak agar ia menjawab. "T-tapi aku nggak bermaksud*" "Udah itu aja nggak papa," gadis pemilik acara menyela. "Jawab, John, kalo lo emang gentleman. Bukannya bonyok lo emang udah kepingin lo serius jalanin hidup? Nikah kan salah satunya." Ia meledek tanpa takut menyinggung. John berdecak kesal. Ia menarik napas panjang dan asal menjawab, "Sampai gue nemuin cewek yang nggak terpesona sama gue. Tapi masalahnya, cewek mana yang nggak jatuh cinta sama gue? "Songong banget. Siapa yang suka sama dia coba?" celetuk Pamela tepat di saat situasi hening. "Tuh tuh! Ada yang nggak suka sama lo, John!" Suara Daniel menggelegar mengisi ruangan, mendeklarasikan pendapat Pamela. Menyesal akan perkataannya yang seharusnya bisa ditahan di dalam pikiran tapi sudah terlanjur, Pamela mengatupkan bibirnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya demi meminta maaf. "Maaf, nggak maksud." John tidak terima atas ucapan maaf Pamela yang terkesan mengentengkan dirinya. "Kalo gitu gantian lo." Ia beranjak dari tempatnya dan berpindah duduk ke sebelah gadis yang menghinanya barusan. Yang hadir di situ bertanya-tanya akan apa yang sang model majalah itu akan lakukan pada si pendatang baru. Mereka menanti dengan tidak sabar seperti sedang menonton film yang menegangkan. "Cha, lo harus pilih gue untuk kasih pertanyaan untuk cewek ini," perintah John pada yang berulang tahun dan langsung mendapatkan anggukan setuju. "Dan karena gue di sebelah lo, gue pilih Truth juga buat lo." Pamela menelan ludah tapi tetap ingin tampak tenang. Ia menampilkan ekspresi wajah yang berkebalikan dengan debaran keras jantungnya. "Oke," sahutnya. "Cowok kaya gimana yang bisa bikin lo mau menikah sama dia?" John memberikan pertanyaan dengan emosi menggebu-gebu. Dalam hati Pamela tidak siap menjawab, tapi ia tidak ingin terlihat seperti pecundang di mata orang-orang borjuis ini. Ia tidak ingin sekali lagi direndahkan karena saat ini yang ia butuhkan adalah semangat untuk bekerja. "Ayo, jawab." Dengan tarikan napas panjang, Pamela angkat bicara, "Laki-laki yang nggak suka minum bir, nggak kelayapan malam-malam, serius sama hidupnya dan nggak modal tampang. Pekerjaan mapan dan kepribadian baik." "Eh, tunggu ya. Maksud lo, gue nggak serius sama hidup gue?" John menjadi tersinggung mendengar jawaban gadis di sampingnya itu. Pamela mengangkat bahu. "Aku nggak lagi singgung kamu ya. Tapi kalo kamu ngerasa tersinggung, berarti perkataanku bener dong." Ia tak tahu dari mana asal keberanian untuk bicara seperti itu. "Tapi gue serius sama hidup gue!" John menyatakan pendapatnya dengan nada meninggi. "Ya udah, ngapain juga bentak-bentak?" Pamela tak mau kalah hingga balik berseru. Suara desahan kesal diperdengarkan oleh Chania, sang pencetus permainan ini. "Berisik amat sih. Mending gue tantang aja kalian berdua sekalian," ucapnya kesal. Pamela dan John saling membuang muka. Mereka yang tadinya berdekatan kini bergerak saling menjauh. "John, lo kan bilang bakalan nikah kalo udah ketemu sama cewek yang nggak suka sama lo. Tuh buktinya ada di depan lo. Tapi pasti lo nggak mau nikah sama Pamela, 'kan, gara-gara ini? Dan lo, Pamela. Kriteria lo tuh berat banget. Yakin ada orang kaya gitu? Jadi gini ya. Kalo dalam waktu satu bulan lo berdua nggak bisa nemuin satu orang sesuai dengan kriteria yang lo masing-masing udah omongin, lo berdua harus nikah satu sama lain." Tanpa berpikir panjang dan dimakan gengsi, kedua orang yang terkait langsung menyanggupi. Baik Pamela maupun John merasa yakin bahwa mereka bisa menemukan orang yang sesuai dengan kriteria mereka. "Ah, udah mainannya nggak usah dilanjutin. Udah seru mereka berdua doang. Lanjut makan minum aja," Daniel mengemukakan pendapatnya dan yang lain setuju. Duduk berseberangan, John dan Pamela bertekad untuk memenuhi tantangan itu dan merasa yakin bisa melakukannya. Masing-masing tidak memikirkan hal yang menanti di kemudian hari.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

DESTINY [ INDONESIA ]

read
1.3M
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.9K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
290.2K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.4K
bc

10 Days with my Hot Boss

read
1.5M
bc

The crazy handsome

read
465.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook