(01) Pamela : Dia Lagi?

1391 Words
Aku ini mikir apa sih? Bisa-bisanya aku nerima taruhan kaya gitu? Kuremas rambutku karena sadar tentang apa yang aku lakukan semalam tepat waktu bangun pagi ini. Sudah pasti ada laki-laki dengan karakter yang kusebutkan semalam. Masalahnya hanyalah dimana aku bisa menemukan pria itu. Kepalaku sedikit penat memikirkannya, maka aku memilih untuk mengabaikannya. Lagi pula berfokus pada riset lebih penting saat ini. Aku meninggalkan ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa ponsel. Kegiatan rutin setiap bangun tidur yang satu ini nggak pernah terlewatkan. Sambil duduk di atas kloset menanti 'sampah' keluar, aku membuka ** untuk melihat-lihat kegiatan sahabatku di Indonesia. Kami sangat dekat sehingga perpisahan kami cukup menyesakkan. Namun kerinduanku cukup terobati dengan melihat aktivitasnya di sosial media selain mengobrol di w******p. Ketika sedang asik menggulir halaman feed, wajah pemuda familiar yang menjadi subyek taruhan semalam muncul. Aku tersentak hingga 'sampah' itu keluar dengan kasar dari lubangnya disertai hembusan angin bersuara seperti tikus terjepit. "Aw!" Kutekan tombol flush dan air menyiramnya sampai menghilang seketika. "Ngapain juga Poppy post foto cowok malesin ini di feed dia sih? Emang dia seterkenal itu, sampai di Indonesia nama dia juga dikenal? Bodo amat lah." Namun sayang otakku nggak tersinkronisasi dengan baik dengan hatiku. Alhasil sang otak meminta jari telunjuk tangan kananku untuk menyentuh foto itu sekali dan nama 'john_adams' muncul. Mataku pun mendukung kemauan sang otak hingga sekali lagi jari telunjukku menekan nama profil pemuda itu. Sungguh mengejutkan melihat berapa banyak orang yang mengikutinya. "Gendheng[1]! Dua puluh dua M?!" Bahasa daerah keluarga mama yang pernah kudengar keluar dari mulutku di luar kendali. Pasalnya, level keterkejutan ini naik tinggi sampai menyentuh puncaknya. "Bisa-bisanya punya followers sebanyak ini? Sekeren apa sih dia sampai di-follow sama banyak orang?" Segenap rasa penasaran pun berkumpul menjadi satu hingga aku tertarik dengan penuh kesadaran untuk menjelajahi profilnya. Dari pose mata mengantuk, kaki naik di atas kursi seperti anjing kencing, d**a telanjang dengan keringat, mau memasukkan mie goreng ke dalam mulut, semuanya tampak menarik. Pemuda ini memang menggiurkan di mata wanita pada umumnya. Beruntung aku bukan salah satu dari mereka. Cih. Hanya saja ketika hatiku berusaha menolak untuk melanjutkan, otakku justru meronta dengan kekuatan yang maksimal hingga berhasil memenangkan pertandingan mental. Aku menghabiskan waktu lima belas menit hanya untuk menikmati postingan pemuda bule blasteran Indonesia ini sampai lupa bahwa perutku sudah bersih dari 'sampah'. Sadar akan apa yang kulakukan, aku segera menyingkirkan ponsel dan membereskan urusanku di kamar mandi. Setelah bersih dari segala noda tak kasat mata yang membuat kadar kecantikanku berkurang satu setengah persen, aku keluar dari kamar mandi dengan keadaan segar. Kini aku merasa sudah siap untuk berangkat ke universitas. Isi tas yang nggak pernah kukeluarkan menjadikanku nggak perlu berlama-lama ada di kamar. Sang mentari sudah pasti rindu padaku. Dengan jaket yang lebih tebal dari sebelumnya, udara dingin yang menerpa tubuhku menjadi nggak terlalu menyiksa. Apalagi aku sudah membiasakan diri menjadi beruang kutub selama satu setengah tahun terakhir ini. Temperatur serendah sembilan derajat masih nggak masalah untukku. Jarak dari apartemen ke universitas sangat dekat, hanya sepuluh menit saja. Tapi itu bukan berarti aku bersantai setiap kali perlu bertemu dengan dosen pembimbing. Kebiasaan datang lebih awal sudah terbawa sejak aku kecil. Kalau di Indonesia nggak terlalu berguna, di sini justru berguna. Pak Philips, dosen pembimbingku adalah orang yang disiplin sekali. Kabarnya dia pernah meninggalkan mahasiswa yang datang terlambat di pertemuan yang sudah terjadwalkan. Untung saja aku nggak ada masalah dengan manajemen waktu. Makasih, Papa, Mama. Maaf juga dulu pernah uring-uringan waktu diajarin untuk disiplin. Tesisku sebenarnya sudah ada di bab terakhir karena aku maraton di awal. Pak Philips juga heran kenapa aku bisa mengebut. Ini semua cuma karena aku memakai bekas skripsiku di masa kuliah S1 yang ditolak karena dianggap terlalu kompleks. Dosen pembimbingku waktu itu berkata kalau tema dan konsep ini bisa dipakai untuk tesis S2. Maka dengan modal nekat aku mengajukannya dan sama sekali nggak menyangka justru diterima oleh Pak Philips. Ada beberapa hal yang perlu direvisi dan ditambahkan setelah sesi bimbingan dengan Pak Philips. Kali ini lebih banyak dari sebelumnya karena ternyata ada kesalahan di dataku. Terus terang rasanya capek sekali sudah mengumpulkan data sebanyak itu tapi ada kesalahan yang cukup besar. Ini artinya aku harus lebih fokus untuk memperbaikinya supaya tesisku cepat selesai. Baru saja keluar dari ruang dosen, ponselku yang tersimpan di saku celana bergetar. Aku melihat di layarnya ada pesan w******p dari nomor tak dikenal. Waktu aku melihat isinya, jantungku langsung berhenti berdetak 0.0000001 detik. Hei, Pam. Chania nih. Lo nggak lupa sama taruhannya kan? Gue cuman ingetin lo. Soalnya lawan lo, si John, sekali niat ya niat. Jadi lo juga nggak boleh mundur. Kalo lo mundur, lo beneran harus nikah sama John. Inget ya, semua orang lain jadi saksi. "Somplak nih orang," komentarku sambil berjalan. Saking kesalnya aku sampai menabrak orang yang berdiri di dekat lokernya. "Oops, sorry." Untung saja dia nggak marah. Chania memang kurang kerjaan. Aku nggak paham kenapa dia niat sekali mengingatkan aku tentang ini. Anehnya aku benar-benar deg-degan, seperti merasa harus bersaing dengan cowok itu. Dari masih siswa sampai mahasiswa aku selalu excellent[2] dan nggak pernah gagal. Kali ini aku juga nggak boleh kalah dari selebriti sok itu. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam saku dan aku lanjut berjalan meninggalkan area universitas. Melihat segerombol mahasiswa membawa gelas Starbucks, hasratku untuk mencicipi Green Tea Latte muncul. Kupikir sekali ini memanjakan diri nggak masalah karena memang ada uang saku lebih dari yang kusisihkan bulan-bulan lalu. Aku berjalan ke arah barat daya dimana kedai kopi kenamaan itu terletak. Kalau tebakanku benar, seharusnya belum terlalu ramai pembeli karena sekarang masih jam sebelas. Kupercepat langkahku karena air liurku sepertinya sudah hampir tumpah. Hatiku menjerit kegirangan waktu mendapati tebakanku benar. Cuma ada dua orang mengantri dan aku langsung berdiri di belakang orang terakhir. Sambil menunggu giliran, aku melihat ke sekeliling. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dan cuma ada dua orang laki-laki dan perempuan berbaju rapi seperti pegawai kantoran duduk di dekat jendela. Giliranku tiba lalu aku menyebutkan pesananku dan membayarnya. Sembari menunggu pesananku jadi, aku duduk di salah satu meja berkursi dua. Aku membuka ** untuk mengisi waktu dan melihat ada DM dari Poppy, sahabatku. Dia mengirimiku salah satu foto cowok yang jadi lawan taruhanku itu sepuluh menit lalu. |popz19| Pam, kamu di Pittsburgh kan? Ternyata John Adams tinggal di Pittsburgh ya sehari-harinya? Aku melirik ke jam tanganku dan langsung mengetahui jam berapa sekarang di Semarang karena sudah terbiasa. "Astaga. Jam sepuluh belum tidur nih anak, terus nge-DM aku tentang John? Amplop," gumamku dengan suara pelan. |Pam_N| Demi apa, Pop, kamu tanya beginian malem-malem? Kalo iya kenapa emang? |popz19| Beruntung banget kamu. Kesempatan ketemu sama dia tuh seenggaknya ada 1%. Aku menghela nafas dengan pandangan malas ke layar ponselku. Kalau saja dia tahu aku sudah ketemu sama dia dan terjebak di taruhan ini, sudah pasti dia histeris. |Pam_N| Nggak peduli dan nggak penting ah, Pop. Udah tidur aja sana. Ini aku lagi di Starbucks. Pesenanku udah jadi nih. Bye. |popz19| Kurang ajar kamu, Pam. Wuu. Ya udah bye. Kuberikan emoji tawa pada Poppy lalu memasukkan ponsel ke dalam saku. Pesananku memang sudah jadi dan aku langsung mengambilnya. Aku nggak berlama-lama di kedai ini karena aku perlu menyusun rencana bagaimana harus memperbaiki data tesisku. Matahari yang mulai terik langsung menyapa ketika aku keluar dari Starbucks. Sambil berjalan pelan-pelan aku menyesap minumanku. Rasanya enak sekali seperti ada di Jepang! Yah, sayangnya itu hanya imajinasi liarku saja. Atau mungkin lebih tepatnya, aku memang suka berimajinasi aneh-aneh. Bukannya itu lebih baik daripada berbuat aneh-aneh? Udara dingin di tengah hangatnya sinar matahari berembus menerpa rambutku. Di musim semi memang hawa dingin lebih dominan sehingga jam dua belas siang rasanya seperti jam sembilan pagi atau jam empat sore di Indonesia. Namun kondisi seperti inilah yang membuatku lagi-lagi bersyukur karena bisa menginjakkan kaki di negeri Paman Sam ini. Kalau dulu aku cuma bisa bermimpi, sekarang aku mengalaminya sendiri. Tengah asik terhanyut dalam perasaan bahagia ini, di pinggangku tiba-tiba melingkar erat dua lengan. Seketika itu juga aku jadi takut kalau aku jadi korban kekerasan seksual dan tanpa berpikir aku mencoba berteriak. "What are you*[3]" "Please bantuin gue. Jalan terus aja dan gue nanti jelasin pas kita berhenti." Aku kenal suara yang datang dari sosok tinggi di sebelah kiriku yang memberikan kehangatan tersendiri. Seperti permintaannya, aku terus berjalan menembus kerumunan yang ada di depanku. ~~~~~ Keterangan: [1] Sinting [2] Hebat [3] Apa yang kamu***[MB]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD