Part 3. BOS

1007 Words
Pulang bekerja, Darel menyempatkan dirinya untuk membeli kopi di sebuah kafe untuk menemaninya menyetir. Hanya segelas kopi dan juga cookies. Karena biasanya setelah dia sudah kelelahan seperti ini, maka dia akan merasa malas untuk membeli makan. Karena itu, kebiasaannya untuk minum kopi dan olahan tepung tersebut bisa membantu perutnya untuk kenyang. Setelah mendapatkan apapun yang dipesan, lelaki itu keluar dari kafe tersebut dan masuk ke dalam mobilnya. Setiap hari kegiatannya selalu sama. Dan itu sama sekali tak membuatnya merasa bosan atau sejenisnya. Hanya saja, dia memang sekarang sedang dikejar dateline untuk mendapatkan seorang istri. Jika kebanyakan orang, mereka akan santai saja untuk tak segera menikah ketika karirnya sedang berada di puncak. Atau akan merasa jika dia baik-baik saja tanpa perempuan dan bisa fokus dengan pekerjaannya. Sayangnya, tidak begitu bagi Darel. Karena apa? dia sudah membuat rencana kehidupannya jelas harus tertulis dengan apik di dalam buku miliknya. Dan dia sama sekali tak suka jika salah satu rencana tersebut meleset dan tak tepat sasaran.  --- Darel sibuk? Itu sudah biasa. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu seperti tak memiliki rasa lelah sama sekali. Bahkan ketika dia pulang dari kantor, ada tumpukan dokumen yang sudah menunggu untuk diperiksa dan dia dapatkan dari kafe miliknya yaitu sebuah laporan. Yang akan dikirimkan seminggu sekali oleh karyawannya.  Dan dengan seperti itu, biasanya dia akan menangani kertas-kertas tersebut secepatnya karena dia tak ingin semakin banyak dokumen yang menumpuk di mejanya. Lagipula, mengulur pekerjaan bukanlah Darel sekali. Pekerjaan itu adalah nomor satu baginya.  Matanya terasa mengantuk ketika sudah pukul sebelas malam. Maka dia beranjak dari kursi kerjanya dan beralih naik ke atas ranjang. Merebahkan tubuhnya di sana dan dia akan segera beristirahat. Namun lagi-lagi suara notifikasi kembali terdengar dari ponselnya. Kania : Hai! Kernyitan di kening Davie terlihat dan itu tentang sebuah kata ‘hai’ yang dikirimkan oleh Kania kepadanya. Kalau dia memiliki jam dan waktu sekarang menunjukkan pukul sebelas malam, itu artinya di tempat gadis itu juga sama ‘kan? Lalu apa yang dilakukan oleh perempuan itu malam-malam seperti ini mengirimkan pesan kepadanya? Ingin mengajaknya mengobrol disaat seharusnya waktunya untuk tidur? Tidak, Davie terlalu memiliki waktu yang disiplin.  Beruntung, dia hanya membaca chat itu di popup ponselnya dan tidak benar-benar membukanya. Karena itu dia mengabaikannya. Ketika sudah seperti ini, dia hanya akan melanjutkan rencananya untuk tidur dan tak memperdulikan hal lain kecuali orang tuanya.  Sayangnya, bahkan ibu maupun ayahnya saja tak akan pernah menghubunginya dengan cara apapun di jam seperti ini. Lalu, pandangan tentang Kania akhirnya turun lagi satu tingkat. Padahal, setelah chat terakhir mereka sekitar tiga hari yang lalu, mereka tak lagi saling mengirimkan pesan. Dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Karena jika sudah bekerja, Darel hanya akan fokus pada itu.  Darel benar-benar tak mempedulikan chat tersebut dan memilih memejamkan matanya. Jika sudah berada di atas kasur, tubuhnya baru terasa lelah di sana-sini. Dan tidur adalah obat paling mujarab.  Ketika pagi hari sudah menyapa bumi, Darel baru membalas chat yang dikirimkan Kania kepadanya. Dia awalnya meminta maaf karena tak langsung menjawab, dan hanya saling mengirim chat basa-basi yang sama sekali tak terasa sampai di hati. Darel adalah lelaki yang lebih suka memperjuangkan dibandingkan diperjuangkan. Dia lebih suka mengejar dibandingkan dikejar. Dan melihat Kania yang terlihat lebih aktif dibandingkan dirinya, membuat Darel merasa kurang pas.  Berjalan untuk masuk ke dalam ruangannya, Darel mendapatkan panggilan dari ibunya. Benar, entah sudah berapa lama dia tak pulang dan bahkan tak menghubungi kedua orang tuanya. Sekarang, dia menjadi merasa bersalah karenanya. “Ya, Ibu?” senyumnya terlihat sampai ke matanya dan suaranya juga terdengar lembut mengalun. “Kamu udah lupa punya ibu dan ayah ya sekarang?” suara ibunya membuat hatinya merasa sedih. Lelaki itu bahkan tak sanggup untuk segera menjawab apa yang dikatakan oleh beliau. “Maafkan Darel, Bu. Akhir-akhir ini pekerjaan sedang sangat banyak sekali. Bahkan untuk makan saja, rasanya lupa.” “Begitu ya. Punya badan nggak dijaga.” Omelan itu langsung terdengar dengan keras ketika mengatakan apa yang terjadi selama ini. Darel tahu jika ibunya pasti akan merasa khawatir mendengarkan apa yang dikatakannya. “Ibu nggak usah khawatir. Putra Ibu ini baik-baik aja kok. Weekend ini, insyaallah akan pulang.” Mau tak mau, Darel memang harus pulang. Jika dia tak mengambil sedikit waktunya untuk menemui keluarganya, maka tak akan ada banyak waktu untuk mereka.  Darel duduk di dalam ruangannya dan memijat kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Entah apa yang terjadi tapi mungkin ini efek dari rasa bersalah dan kemudian kepalanya mencerna untuk berpikir dan terjadilah hal semacam itu. Bisa jadi seperti itulah alurnya.  Panggilan telepon berakhir. Darel benar-benar ingin sekali pulang, apalagi mendengar keponakannya berada di sana. Kakaknya juga sedang mengunjungi orang tuanya, karena itu jika dia memutuskan pulang secepatnya, dia akan berkumpul dengan keluarganya. Dan tentu saja, dia merealisasikannya. Karena setelah dia menyetir selama hampir empat jam, akhirnya dia benar-benar bisa berkumpul bersama ibu, ayah, dan keluarga kecil kakaknya. Sungguh, ketika sudah seperti ini sekarang, perasaannya sangat hangat. Dan benar, tak ada yang lebih hebat dari sebuah keluarga. Melihat keponakannya yang masih berusia lima dan tiga tahun yang bermain bersama dengan celotehan ringan dan bahasanya yang kadang masih terdengar belum jelas, membuat hiburan tersendiri bagi mereka. “Kamu nginapnya agak lama kan?” begitu tanya ibunya sambil menghidangkan es campur di depan Darel. “Mungkin sampai hari minggu, Bu.”  “Hanya empat hari?” keinginan ibunya untuk protes sepertinya terlihat tetapi berusaha ditahannya. “Bukannya Darel nggak mau stay lama, Bu. Tapi beneran pekerjaan Darel sedang banyak sekali.” “Alhamdulillah,” ibunya menyahut, “Ibu juga senang kalau kamu menangani banyak proyek. Tapi janganlah kamu lupa makan, Nak. Ibu jadi sedih kalau denger kamu begitu.” Darel menggengam tangan ibunya. “Ibu nggak perlu khawatir begitu, aku beneran nggak papa. Kan anak ibu ini punya kafe. Kalaupun malas beli, tinggal telpon diantar, urusan selesai.” Bahan sambil mengangkat kedua alisnya untuk menggoda ibunya. Meskipun ucapan Darel terdengar sombong, tapi itu hanyalah sebuah kalimat tak berarti. “Ibu ini nggak tahu ya kalau anak kita ini kan bos. Big bos.” Tepukan di punggungnya terasa karena tangan sang ayah. Lelaki paruh baya itu terlihat bagga melihat kesuksesan putranya.  Darel terkekeh dan menatap kedua orang tuanya dengan rasa bangga yang dimilikinya untuk mereka. Mereka adalah dua orang yang luar biasa. Mereka adalah hero bagi kehidupannya sampai dia mampu berada di titik ini sekarang.  “Jadi, Pak CEO, ada lowongan kerja nggak kira-kira di perusahaan kamu?” Mendengar pertanyaan sang ayah membuat Darel mengernyit. Bukan hanya Darel, tapi juga ibunya.  *.*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD