Chapter 2 | Aldy Pratama

1524 Words
*** Kediaman Adam Wijaya Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam bersama Ferdy diatas rooftop, akhirnya Melsa memutuskan untuk langsung pulang saja. Sebab tidak ada lagi yang perlu dilakukan diluar rumah. Apalagi niatnya yang ingin merayakan hari jadinya bersama Raditya gagal berantakan. Berbincang-bincang dengan Ferdy, meluapkan kesedihan dan kekesalannya pada pria itu membuat perasaan Melsa sedikit jauh lebih baik. Meskipun Ferdy seorang pria, namun lelaki itu cukup peka dan juga bisa menjadi pendengar yang baik. Melsa memang bekerja diperusahaan yang sama dengan Ferdy, yaitu Margatama Corporation. Namun, selama ini mereka tidak pernah memperlihatkan kedekatan mereka di depan orang lain. Padahal mereka hanya murni berteman saja. Dan lagi pula, Ferdy juga sedang mendekati seorang wanita yang tidak lain adalah salah satu sahabat baik Melsa. Menit berlalu, usai memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang sempit, Melsa pun lekas keluar dan mengunci mobilnya, kemudian lanjut melangkah menuju pintu. Sesekali Melsa melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dan ternyata saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ceklek! Melsa membuka pintu rumah dengan kunci cadangan miliknya. Melsa masuk kemudian kembali menutup pintu rapat dan juga menguncinya. Saat Melsa memutar tubuhnya hendak melangkah, tiba-tiba urung saat mendengar suara seseorang. "Bagus ya, Melsa! Jam segini kamu baru pulang?!" Suara lantang dan nada sinis itu lantas membuat Melsa tersentak. Melsa melarikan pandangannya melihat sang Tante yang berdiri, memasang wajah marah sambil melipat kedua tangannya didada. "Aku sudah minta izin sama Om tadi sore kalau malam ini aku ada acara, Tante." Balas Melsa, pelan dengan nada biasa saja. "Minta izin sama Om? Hei! Kamu sadar nggak?! Pemilik rumah ini bukan hanya Om kamu saja, tapi juga Tante!" Timpal wanita paruh baya itu marah. Wanita yang memiliki nama Lastri, tantenya Melsa. Melsa yang notabene adalah seorang anak yatim piatu, sejak ia masih bayi, Adam, Om-nya Melsa memutuskan untuk merawatnya dan enggan mengantarkannya ke panti asuhan. Sehingga hal itu lah yang sering membuat Adam dan Lastri berseteru. Menurut Lastri, memilih merawat dan menampung Melsa hanya akan menambah beban hidup mereka saja. Sementara Adam, pria itu tidak setuju dengan pemikiran istrinya. Sehingga Adam bersikeras untuk tetap merawat dan membesarkan Melsa hingga kini. "Ingat ya, Melsa, jangan karena Om kamu selalu belain kamu, kamu jadi besar kepala seperti ini!" bentak Lastri. Melsa diam, perempuan itu nampak mendesah pelan. Tubuhnya lelah, pikirannya kacau dan juga perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja. Ditambah saat ini, sang Tante malah mengajaknya berdebat seperti ini. "Iya, aku minta maaf." ujar Melsa mengalah. Lastri mendengus, wanita paruh baya itu kembali membuka suara, "Kapan mobil kamu mau dijual? Uang untuk kebutuhan sehari-hari kita sudah mau habis dan warung mie ayam kita juga sudah sepi!" cecar Lastri, kembali menekan keponakannya itu agar segera menjual kendaraan satu-satunya Melsa. "Sebentar lagi aku gajian. Dan aku nggak akan jual mobil. Tunggu aku gajian aja, aku kasih uangnya ke Tante." Timpal Melsa. "Uang gajian kamu bilang? Sisa gajimu tidak seberapa Melsa! Mana cukup!" pekik Lastri. Jengah, Melsa mulai sulit mengendalikan emosinya. "Tidak seberapa, karena aku harus membayar uang kulia Lala yang tidak sedikit, Tante! Belum lagi keperluan yang lain! Itu semua aku yang tanggung! Seharusnya Tante bersyukur karena aku masih bisa kasih Tante sisa uang tiap bulannya! Belum lagi tagihan kartu kredit anak Tente, itu semua aku yang tanggung! Tante pikir aku ini istrinya pemilik perusahaan itu, apa?!" Cecar Melsa panjang lebar. Bahkan dadanya mulai naik turun akibat nafas yang memburu. "Berani kamu melawan Tante, ya!" Geram Lastri sambil melangkah lebar ke arah Melsa lalu mengangkat sebelah tangannya hendak melayangkan tamparannya dipipi Melsa, namun gagal sebab perempuan itu langsung menangkap pergelangan tangannya dengan cepat. "Berhenti memperlakukan seperti ini, Tante!" Desis Melsa seraya menghempas kasar tangan Lastri begitu saja. "Selama ini aku diam saja karena aku masih menghargai Om Adam sebagian orang tuaku. Tapi jangan sampai kesabaran ku habis dan bisa saja tangan Tante aku patahkan!" Lanjutnya sambil menatap marah pada Lastri. Deg! Wanita paruh baya itu tertegun dan mengatup rapat kedua bibirnya sambil menatap wajah merah padam Melsa. Malam ini, Melsa tampak berbeda, biasanya perempuan ini tidak pernah sampai seperti ini, pikir Lastri. "Mel…?" Panggil seseorang dari arah belakang mereka. Itu adalah suara Adam, Om-nya Melsa. Satu-satunya pria yang sangat Melsa hormati. Melsa menoleh, ia melihat Adam berjalan ke arahnya. Sepertinya pria paruh baya itu terbangun dari tidur, pikir Melsa saat memperhatikan kedua mata Adam yang memerah. "Baru pulang, Nak?" tanya Adam. Sepertinya pria paruh baya itu tak sempat melihat aksi istrinya yang hendak menampar Melsa. Melsa mengangguk pelan kemudian mendekat lalu meraih tangan kanan Adam dan mencium punggungnya seperti biasa sebagai rasa hormatnya. "Iya, Om. Om kebangun?" tanya Mesla. Adam tidak langsung menjawab, pria itu melirik ke arah istrinya. Adam bisa menebak jika sang istri pasti kembali cari ribut dengan keponakannya. "Iya, Om kebangun gara-gara ingin ke kamar kecil." Jawab Adam setelah beralih menatap wajah cantik keponakannya. "Ini sudah malam, besok kamu harus kerja. Sebaiknya istirahat ya, Nak?" lanjut Adam dan dibalas anggukan pelan oleh Melsa. "Iya, sudah, aku masuk dulu." pamit Melsa. Setelah mendapat anggukan pelan dari Om nya, Melsa pun berlalu pergi menuju kamar miliknya. Sedangkan Adam, pria itu mulai menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Apa? Kamu mau nyalahin aku lagi, Mas?!" tanya Lastri, sinis. "Berhenti membebankan pikirannya, Lastri. Sampai kapan kamu akan seperti ini, hm? Dari Melsa kecil sampai dia sedewasa ini, kamu nggak pernah mau merubah pandangan kamu terhadap dia!" tegas Adam. "Jelas aku nggak mau, Mas! Hidup kita ini sudah susah! Ditambah lagi kamu harus pungut dia! Tambah susah lagi hidup kita!" timpal Lastri. "Cukup, Lastri!" bentak Adam. Lastri hanya mendengus dan menatap tak suka pada suaminya. Setelah itu, Lastri memutar tubuhnya lalu melangkah menuju kamar tidur mereka dan meninggalkan Adam seorang dirinya disana. Adam mendesah pelan sambil berkacak pingan. Pria paruh baya itu menengadahkan wajah dengan kedua mata terpejam. 'Om minta maaf, Mel. Bertahun-tahun kamu menderita seperti ini, batinmu tertekan semantara Om tidak bisa berbuat apa-apa.' gumam Adam dalam hati. . … New York, USA Mansion Pratama | Malam Hari,. "Al…" Panggil seorang wanita paruh baya pada sang putra yang hendak menginjakan kaki pada undakan tangga. Pria itu menoleh, menatap wajah sang bunda tercinta yang saat ini sedang melangkah ke arahnya. Pria yang memiliki nama, Aldy Pratama dan akrab dipanggil Al. Pria dewasa berusia 34 yang memiliki paras tampan nyaris sempurna. Ia bekerja di perusahaannya sendiri, Pratama Company dan menjabat sebagai CEO sekaligus presiden direktur. Pria yang akrab disapa, Al atau Aldy ini memang memiliki segalanya. Paras yang tampan, kekayaan yang melimpah, disegani banyak orang dan memiliki keluarga yang begitu harmonis. Hanya satu kekurangannya yaitu belum mendapatkan pasangan hidup hingga kini. Sehingga permasalahan tersebut terus membayangkan hari-harinya dan juga terus mendapat desakan dari sang Bunda supaya dia bisa secepatnya menikah sebab usianya yang sudah matang. Padahal, Aldy bukannya tidak ingin menikah, hanya saja ia belum menemukan pasangan yang cocok yang bisa dan pantas dijadikan sebagai pendampingnya. Setiap wanita yang ditemuinya, mereka-mereka itu hanya memandang dompetnya saja. Dan selain permasalah tersebut, yang membuat Aldy tidak tertarik dengan mereka, karena mereka terlalu mudah didapatkan dan diseret ke atas ranjangnya. Ketika Aldy mendekati wanita-wanita itu, Aldy tidak merasakan bagaimana rasa berjuang barang sedikitpun. Dan menurut Aldy, hal itu tidak cukup menarik. Aldy menginginkan wanita yang berbeda dan unik, sebab dia sangat suka dengan yang namanya tantangan. "Iya, Bun." sahutnya tak bersemangat. "Mau kemana sih, sayang? Tamu kita masih ada loh. Jangan buat bunda malu. Al?" Aldy mendesah pelas. "Aku berada disini dan ikut makan malam bersama kalian semua karena aku tidak ingin membuat ibuku malu. Dan aku rasa sekarang tugasku sudah selesai, Bun. Aku sudah makan. Aku sudah berkenalan dengan calon pilihanmu. Lalu apalagi?" Balas Aldy. "Memangnya kapan kamu berkenalan denganya?" Tanya wanita itu sambil menatap sang putra dengan kedua mata memicing. Wanita paruh baya yang memiliki nama, Elsa Anindita. "Sebelum kita makan, aku sudah berkenalan. Namanya Valerie, 'kan?" timpal Aldy seraya bertanya. "Sayang…," "Bunda, please. Tolong jangan perlakukan aku seperti ini. Aku tidak suka dijodoh-jodohkan seperti ini, Bun. Jika bunda memaksa ku dalam hal lain, it's oke … nggak masalah. Tapi tolong, tidak dengan pasangan hidup." Tegasnya terpaksa memotong ucapan sang Bunda. "Bunda seperti ini, itu semua karena kesalahan kamu, sayang. Lihat, sudah berapa usia kamu sekarang? Adik kamu, Daren, dia sudah menikah bahkan sebentar lagi dia akan punya Anak. Lalu sahabat-sahabat kamu, semuanya sudah pada menikah. Hanya Kamu yang belum, Al?! Bunda juga ingin melihat kamu bersanding dengan wanita yang tepat, memiliki keluarga kecil yang bahagia, buka terus menyendiri seperti ini, Nak?" Sejenak, Aldy menghela nafas pelan. Sulit baginya jika sudah berhadapan dengan wanita tersayangnya ini. Tidak mungkin 'kan, Aldy mencekiknya lalu membanting tubuhnya seperti yang biasa ia lakukan pada orang-orang yang selalu merecoki hidupnya. "Dan orang yang tepat menurut Bunda, bukan Valerie." timpalnya. "Kalau bukan dia? Lalu siapa?" tanya Elsa seperti sedang menantang putranya. "Aku … aku sudah ada pilihanku sendiri, Bun. Dan aku pasti akan kenalkan wanita itu sama Bunda." jawab Aldy. "Dia bukan orang sini. Dia berasal dari Indonesia dan dia tinggal di Indonesia!" ujar Aldy melanjutkan saat melihat sang Bunda yang hendak membuka suaranya. 'Orang Indonesia? Siapa?' tanya Elsa dalam hati. Namun tak dapat dipungkiri jika ia senang saat mendengar pernyataan sang putranya barusan. Apalagi kalau tambatan hati sang putra berasal dari Indonesia, tanah kelahirannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD