cinta pertama dan pertemuan pertama
Perkenalkan namaku Naya Rivera. Aku hanya gadis remaja umur 17 tahun yang baru saja mengenal cinta pertama yang manis, dan mulai berpacaran dengan kakak kelas bernama Dimas. Tapi sejauh ini, aku pikir kebersamaan ku dengannya adalah sesuatu yang akan bertahan lama. Nyatanya hanyalah ilusi yang tidak sengaja aku buat seolah-olah nyata.
Semua yang aku lewati dengannya hanya rekayasa semata, semua yang aku kagumi hanya perilaku yang tersirat, tapi mengapa Tuhan memisahkan aku dengannya disaat semuanya sedang baik-baik saja?.
"Kita putus aja. " Ucap laki-laki yang sudah 2 tahun ini bersamaku, di atap sekolah yang selalu aku dan dia kunjungi ketika pulang dari sekolah.
"A-apa?. " Tanyaku dengan terbata-bata.
"Kita putus. " Ulang Dimas yang memperjelas bahwa dia tidak ingin bersama denganku lagi.
"Tapi kenapa?. " Tanyaku dengan tidak percaya. Karena aku dan dia sudah menjalani hubungan ini cukup lama.
"Gak kenapa-napa. " Jawabnya dengan singkat tapi bisa membuat aku terdiam.
"Apa salah aku? Kita udah 2 tahun pacaran kak, aku juga sayang banget sama kamu dan...."
"Jangan membicarakannya. Lagipula, kita sekarang gak memiliki hubungan apa pun." Dimas menyela dengan kata-kata dingin.
Dimas memutuskan semuanya secara sepihak, aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan air mata yang tidak mungkin ku tunjukkan kepada Dimas.
"Tapi apa alasan kamu putusin aku gitu aja?. "
"Aku gak punya alasan. " Ucapnya sambil tersenyum kecil.
"Semudah itu kamu mengatakannya, dan semudah itu kamu mengakhiri semuanya....Tapi, aku hanya mau bilang sampai bertemu lagi. Hanya itu yang bisa diucapkan untuk saat ini, aku gak yakin apakah tahun ini akan sama dengan tahun yang lalu. Karena yang aku yakini adalah kebersamaan kita memang gak ditakdirkan untuk selamanya. " Jelas ku dengan menahan tangisan yang mungkin sebentar lagi pecah jika aku tetap berada di tempat ini dengan Dimas.
tapi meski begitu, aku benar-benar ingin berteriak dan bertanya mengapa Dimas bisa memutuskan begitu saja, tanpa memberikan penjelasan yang bisa dipahami olehku.
Aku tidak tahan berada di dekat Dimas lebih lama, aku memutuskan untuk pergi dari tempat yang dipenuhi kenangan, dengan air mata yang tidak dapat aku tahan lagi. Aku lari dari tempat itu, tetapi Dimas tidak mencegahku pergi dan mengatakan jika ini hanya lelucon.
Selama berhubungan dengan Dimas, tidak pernah terpikir oleh ku bahwa aku akan berpisah dengan cara yang menyedihkan seperti ini.
Aku tahu jika sesuatu seperti ini akan terjadi kapan saja. Tetapi yang membuat aku merasa ini tidak adil adalah mengapa ketika aku tulus Menyayangi dan mencintainya, Dimas meninggalkan ku begitu aja. Aku juga tahu jika risiko mencintai seseorang harus siap untuk disakiti, aku mengerti semua itu. Tapi aku begitu sangat naif memulai tanpa persiapan.
Aku berhenti berlari dan menghampiri pohon rindang yang selalu aku kunjungi beberapa hari yang lalu. Aku duduk dengan letih mengingat kejadian sebelumnya ketika dimas putus denganku.
"Haa .. Kenapa dia jahat banget sih, kenapa dia memutuskan secara sepihak begitu tanpa kejelasan apapun. setidaknya kasih tau apa salahku." ucapku dengan lirih
"Hei .." Ucap seseorang yang membuatku melihat sekeliling dengan heran.
"Apaan sih! Iseng banget jadi orang." Gumam Ku dengan kesal.
"Shuuut, hei lu yang di bawah!" Dia mengulangi ucapannya lalu aku mencari suara itu ke segala arah dan saat aku mendongak keatas pohon, ternyata ada seorang laki-laki Yang duduk di sana.
"kamu siapa?" Aku bertanya dengan heran.
"gua yang seharusnya bertanya lu siapa?, apa yang lu lakukin di sini dan menangis bodoh seperti itu." Ucapnya yang tidak ada sopan santunnya sama sekali kepada orang yang baru di kenal.
Aku berhenti menangis karena kesal mendengar ucapannya yang menjengkelkan itu. Aku pikir hanya aku yang tahu tempat ini, ternyata ada seseorang yang tahu juga.
"Menyingkir! gua mau turun." Ucapnya seperti kesal karena aku menghalanginya.
Seperti perintah yang harus dilaksanakan, aku menurutinya tanpa protes. Kemudian pria itu melompat dan turun dengan selamat.
"Kenapa lu liat-liat!?" tanyanya dengan sinis melihat ku.
"E-eh nggak."
Aku melirik label nama yang bertuliskan nama cowok itu, namanya Danevan Xavier. Nama yang unik, sangat tidak biasa untuk orang Indonesia. Tapi dari pakaiannya itu jelas bukan dari sekolahku, lalu aku mencoba melihat ke arah logo sekolah, tetapi tidak ada logo di bajunya. Meskipun hanya melihat rompi, aku sudah tahu bahwa laki-laki bernama Danevan itu berasal dari sekolah yang berbeda.
"Kenapa lu natap gua kayak gitu? aneh banget sih lu, nangis di bawah pohon tua gini. Jadi jangan liatin gua dengan tatapan aneh lu itu." Dia berkata dengan arogan sambil melirik tajam ke arahku.
"Apa! dasar gak jelas." Kataku dengan sedikit tekanan.
"Apa maksud lu gak jelas?. " ucapnya dengan kesal tapi aku langsung mengalihkan pembicaraan.
"Um, tunggu, giliran ku untuk bertanya, kamu berasal dari sekolah mana?. " Tanyaku dengan kesal, karena dia sangat tidak sopan.
"lu gak akan tahu sekolah gua, sekolah gua gak sepopuler sekolah lu. " Jawabnya seenak jidat.
"ish ya udah kalau ga mau kasih tau, jangan ngegas gitu dong sama orang yang belum di kenal." jawabku dengan kesal juga.
"hmm, sekolah swasta Deket kok dari sini terus gua kesini karena ada pertandingan badminton di sekolah lu."
"nah gitu dong jangan marah-marah kalo ngomong."
"biasa juga, lu nya aja yang sensitif."
"Yaudah deh gini, kita kenalan aja namaku Naya. Salam kenal. " Ucapku sambil menjulurkan tanganku lalu tanpa diduga dia menyambutnya dengan senang hati.
"Danevan, panggil aja evan. " Ucapnya dengan sedikit senyum di bibirnya.
"eh tapi gua penasaran kenapa lu nangis kejer gitu?. " tanya evan yang membuat ku salah tingkah.
"ah udah ah lagi gak mau bahas.. "
Setelah perkenalan singkat itu, kami jadi sering bertemu di pohon tua ini. Dan mulai lebih mengenal satu sama lain. Aku sudah tahu dia sekolah dimana dan kami saling tukar nomor handphone.
Sejak pertemuan tak sengaja itu, pria bernama Danevan Xavier menjadi sahabatku, entah apa yang membuat kami berdua menjadi semakin dekat. Tapi untungnya aku mengenal dirinya, lalu membuatku perlahan lupa akan semua kenangan Dimas.
Pertemuan singkat itu adalah awal dari persahabatan kami. Potongan kenangan tentang seseorang yang pernah menyakiti perlahan memudar disaat orang baru masuk dalam kehidupan. Pernyataan itu memang benar adanya. Walaupun tidak ada yang sepesial dengan perkenalan singkat itu, tapi aku bersyukur bisa mengenalnya.
benar apa yang selalu di ucapkan ayah ketika aku kecil, tidak ada yang di namakan kebetulan di dunia ini tapi semua ini adalah sebuah takdir. Sebuah takdir yang membawaku kedalam kehidupan yang berwarna, dan aku akan selalu mengingat pertemuan pertama ini dengannya.
****
Hallo teman teman online ku terima kasih kalian telah membaca karya ku, semoga kalian suka ya
happy Reading all