SD 02 : Completely Mess

1305 Words
Nadine tengah termenung di kursi kantin seorang diri dengan mata yang fokus pada layar laptop di depannya. Sudah masuk jam makan siang—kantin pun semakin ramai, namun ia sama sekali tidak terpengaruh dengan keramaian tersebut. Satu-satunya yang menjadi perhatiannya saat ini hanyalah isi skripsi di layar laptopnya—juga dengan lembaran skripsi di meja kantin yang baru saja dicoret habis-habisan oleh dosen pembimbingnya beberapa saat lalu. “Ternyata di sini,” ucap seseorang sambil menepuk pundak Nadine pelan. Nadine agak terkejut dan langsung menoleh ke belakang. Ternyata Citra. Citra adalah sahabat Nadine. Mereka saling kenal ketika awal masuk kuliah. Usia Citra memang satu tahun lebih muda dari Nadine—mengingat Nadine memang sempat menunda kuliah satu tahun. Namun perbedaan itu sama sekali tidak menjadi masalah bagi keduanya. Nyatanya mereka tetap bisa saling cocok satu sama lain, bahkan memutuskan untuk bersahabat hingga sekarang. “Ngapain?” tanya Citra sambil mengambil duduk di samping Nadine. Matanya melirik penasaran pada tumpukan kertas penuh coretan yang sudah bisa ia tebak itu apa. “Biasa, revisi lagi,” jawab Nadine lemas. Persis seperti dugaan Citra. “Kali ini apa?” tanya Citra santai. Tidak ada raut prihatin atau semacamnya melihat wajah suram Nadine saat ini. Baginya ini sudah pemandangan sehari-hari—ya, melihat Nadine yang berkutat dengan lembaran revisinya memang bukan sesuatu yang baru untuknya. “Pak Hardi kayaknya udah gila, deh!” Citra mengerutkan dahinya bingung melihat raut berapi-api Nadine. Dia memang sudah biasa melihat wajah suram dan sendu Nadine setiap kali mengerjakan revisi skripsinya. Tapi ekspresi berapi-api seperti ini sepertinya baru pertama kali. “Masa iya dia minta buat ganti judul? Gila, kan?!” katanya masih dengan wajah marahnya. Jika itu masalahnya, wajar jika Nadine semarah ini. “Itu sama aja dia nyuruh buat ngulang dari awal kan, Cit?!” todong Nadine pada sahabatnya. Citra yang ditodong pun hanya bisa mematung sambil menelan ludahnya gugup. Melihat sikap diam sahabatnya, Nadine pun sudah bisa menyimpulkan bahwa jawabannya ‘iya’. Helaan napas mulai keluar dari bibir tipisnya, diikuti dengan bahunya yang turut terkulai lemas. Nasib skripsinya sekarang benar-bebar kacau. “Tapi... kenapa sampai harus ganti judul? Memangnya tadi Pak Hardi ngomong apa?” tanya Citra hati-hati. Citra tahu Pak Hardi memang dosen yang terkenal suka mempersulit mahasiswanya, namun tidak mungkin beliau mempersulit tanpa alasan. Pasti ada alasan kuat kenapa Pak Hardi sampai menyuruhnya begitu. “Pak Hardi bilang topiknya terlalu biasa...” “—dan nggak menantang,” lanjutnya lemas. “Lah, kok baru sekarang? Maksud gue, dia kan udah setuju di awal. Lo juga udah disuruh revisi ini itu dari beberapa hari yang lalu.” “Nah itu dia!! Makanya gue bilang orang itu udah gila!” ucap Nadine semakin kesetanan. Orang-orang terlihat melirik kesal ke arah mereka—mungkin karena u*****n Nadine yang terdengar menggelegar ke penjuru kantin. “Sabar, Nad. Kita coba cari jalan keluarnya sama-sama, ya?” kata Citra menenangkan. Namun sayangnya tidak berhasil, yang ada Nadine semakin menggila. Nadine terlihat menelungkupkan wajahnya ke atas meja kantin. “Gimana kalau gue nggak bisa lulus tahun ini? Gue harus gimana, Cit?” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heboh. Citra semakin khawatir di tempatnya—bukan khawatir dengan kondisi Nadine, melainkan khawatir dengan tatapan orang-orang di sekitar mereka. “Nad, sabar dulu...” bisik Citra menahan malu. Dia tahu sahabatnya ini sedang sedih dan juga kesal, tapi setidaknya dia harus tahu tempat! “Hai,” sapa seseorang membuat Nadine langsung menutup mulutnya seketika. Rengekan menyebalkan dari mulutnya memang sudah tidak lagi terdengar, namun ia masih mempertahankan posisinya yang masih menelungkupkan wajahnya ke meja. Citra menyikut lengan Nadine agak keras hingga membuat gadis itu mengaduh. Seketika ia langsung menegakkan kepalanya, dan protesannya ia telan kembali begitu mendapati sesosok laki-laki asing di depannya. “Hai,” sapa laki-laki itu lagi. Jadi laki-laki ini yang tadi menyapanya? “Gue Hans,” kata laki-laki itu. Nadine terlihat mengerutkan dahinya dalam. Apa mereka saling kenal sebelumnya? Melihat raut bingung Nadine, Citra pun buru-buru menambahkan, “Dia temen gue.” Nadine menganggukkan kepalanya perlahan dengan masih memasang wajah bingung. “Oh, oke. Hai, Hans...” sapanya kikuk. “Kayaknya gue nyapa di waktu yang nggak tepat, mungkin next kita bisa ngobrol lagi,” ucap laki-laki itu sembari berlalu pergi. Tapi anehnya sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu sempat memberikan tatapan aneh kepada Citra yang tidak dimengerti Nadine. Namun ia memilih untuk mengabaikannya. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal tidak penting seperti ini. Ada hal yang lebih perlu ia pikirkan dan ratapi. “Apa?” tanya Nadine begitu ia menyadari tatapan Citra yang menghunus ke arahnya. “Dia Hans!” “Iya, oke. Terus?” balasnya semakin tidak mengerti. Dia tahu laki-laki itu bernama Hans, laki-laki itu juga sudah mengatakannya tadi. “Dia yang mau pdkt sama lo! Semalam kan gue udah bilang di telepon!” kesal Citra. Nadine terlihat mengingat-ingat. Hans? Telepon semalam? Ah, benar! Hans! Kini Nadine ingat. Semalam, setelah pertemuan keluarga yang menjengkelkan, Citra meneleponnya. Dia mengatakan ada temannya yang tertarik pada Nadine dan berniat untuk pdkt dengannya. Saat itu secara impulsif Nadine langsung mengiyakan. Setiap selesai acara pertemuan keluarga, suasana hati Nadine memang akan selalu buruk. Dia selalu berakhir dengan perasaan insecure, tidak berguna, dan perasaan negatif lainnya. Dan saat mendengar ada sosok laki-laki yang tertarik padanya, Nadine jadi merasa lebih diinginkan. Perasaan semacam itu muncul secara tiba-tiba. Jadi ia langsung mengiyakannya tanpa pikir panjang. “Udah inget?” sindir Citra yang dibalas Nadine dengan cengiran kikuknya. “Sori, tadi lupa.” Sekarang Nadine jadi memikirkan sosok Hans tadi. Dia jadi tidak enak dengan laki-laki itu. “Salah gue juga, sih. Harusnya gue cari timing yang tepat buat kalian.” “Besok coba gue cari waktu yang—“ “Nggak usah, Cit!” potong Nadine cepat. “Gue... lagi nggak pengen deket sama siapa-siapa,” ucapnya hati-hati. Dalam hati, Nadine merutuki sikap gegabahnya semalam. Tidak seharusnya ia mengiyakannya semudah itu. Sekarang bagaimana cara yang tepat untuk membatalkan acara pdkt ini? Selain tidak enak dengan Citra, ia juga jadi tidak enak dengan Hans! “Begini, gue kan lagi pusing-pusingnya sama skripsi. Jadi, untuk saat ini kayaknya nggak pas aja buat pdkt sama seseorang,” kata Nadine meminta pengertian. “Justru itu!” sentak Citra membuat Nadine terlonjak kaget. “Orang yang lagi pusing-pusingnya sama skripsi biasanya butuh support system, dan itu bisa lo dapetin dari pacar.” “Ta-tapi, Cit—” “Lo tenang aja, Hans anaknya nggak aneh-aneh kok. Gue bisa jamin dia anak baik-baik,” ucap Citra memotong kalimat Nadine. Nadine sudah ingin membantah lagi, namun Citra kembali memotongnya dengan kalimat-kalimat yang terkesan mempromosikan Hans kepadanya. Kalau sudah begini, Nadine bisa apa? Kini ia hanya bisa pasrah sambil berusaha mendengarkan rentetan mengenai ‘Hans yang ini dan itu’ dari mulut Citra. Mungkin setelah lulus nanti, sahabatnya itu bisa bekerja sebagai sales. Pekerjaan itu benar-benar cocok untuknya. *** Setelah berjam-jam, Nadine pun akhirnya lepas juga dari rentetan kalimat seputar Hans. Ia akhirnya bisa lepas dengan alasan harus segera pulang. Tadinya Citra sempat menawarkan diri untuk mengantarnya, namun ia langsung menolaknya dengan cepat. Jangan harap ia mau mendengar ocehan mengenai Hans sepanjang perjalanan. Berdesakan di bus jauh lebih baik dibanding harus terjebak dengan Citra dan rentetan ceritanya mengenai Hans. Dan Nadine bersyukur bus hari ini tidak terlalu ramai, sehingga ia pun bisa menikmati perjalanan dengan nyaman. Namun bus yang lengang tidak selamanya bagus juga, karena nyatanya suasana bus yang sepi justru membuat Nadine tenggelam dalam kekhawatiran yang menghantuinya. Ingatannya kembali pada ucapan Pak Hardi saat bimbingan tadi, beliau bilang judulnya perlu diganti, dan itu artinya skripsinya sangat jauh dari kata selesai. Kalau sudah begini, Nadine ragu bisa lulus tepat waktu. Ucapan bude dan tantenya di pertemuan keluarga kemarin kembali terngiang-ngiang di pikirannya. Mungkin mereka benar, Nadine memang bukan anak yang patut dibanggakan. Ia berbeda dengan para saudaranya—jangankan bisa sehebat saudaranya, untuk hal remeh semacam skripsi saja ia kesulitan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD