bc

Sweet Destiny

book_age16+
2.0K
FOLLOW
10.9K
READ
love after marriage
age gap
arranged marriage
arrogant
goodgirl
doctor
drama
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Orang-orang di sekitarnya bilang, tidak ada yang bisa dibanggakan dari diri Nadine selain wajahnya. Bagi mereka, Nadine hanyalah sesosok gadis bodoh yang hanya pandai bersolek.

Di sisi lain, ada Genta—seorang dokter muda dengan status duda anak satu, yang begitu membenci perempuan bodoh. Dia lebih menyukai perempuan yang cantik otaknya dibanding hanya cantik parasnya.

Bagaimana jika kedua insan yang bertolak belakang ini dipertemukan, dan bahkan diminta untuk menjadi sepasang suami istri? Akan bagaimanakah kehidupan rumah tangga mereka nantinya?

chap-preview
Free preview
SD 01 : The Wijayas
Di sore hari yang terik, terlihat sebuah taman di suatu rumah yang terlihat ramai. Taman yang biasanya sepi, kini terlihat dipenuhi oleh orang-orang yang sebagian besar berjenis kelamin wanita. Semua orang terlihat asyik berkumpul dan bercengkerama—namun tidak dengan sesosok gadis yang kini justru asyik memandangi kerumunan itu dan terlihat enggan bergabung. Gadis itu adalah Nadine Wijaya—anak dari si pemilik rumah. Gadis berparas cantik itu dari tadi hanya sibuk melihat dari jauh tanpa ada niatan untuk mendekat ke kerumunan. “Nadine?” tegur ibunya membuat dara berusia dua puluh empat tahun itu terlonjak kaget. “Mama bikin kaget aja,” decak Nadine sambil mengelus dadanya pelan. “Ngapain di sini?” “Cuma..., mau cari angin aja,” balas Nadine membuat ibunya menekuk keningnya tidak mengerti. Diawasinya tempat Nadine berdiri. Putrinya itu berdiri di tempat yang tertempa matahari sore—yang sejujurnya masih agak terik. Melihat ibunya yang saat ini tengah menatapnya curiga, Nadine pun buru-buru menambahkan, “Di sini anginnya lumayan.” Nadine memberi ibunya senyuman kikuk, dan ibunya justru terlihat menghela napasnya pelan. “Kamu lagi menghindar dari pertemuan keluarga ‘kan?” tebak ibunya membuat senyum di wajah Nadine lenyap. Ibunya memang paling mengerti dirinya... “Boleh nggak, Nadine nggak ikut ke sana?” tanyanya takut-takut. Masih segar di ingatannya isi obrolan pertemuan keluarga bulan lalu. Mereka bertanya dan berbicara hal-hal yang tidak disukai Nadine. Dan bagi Nadine, pertemuan keluarga sudah seperti neraka. “Sebentar aja, Nad. Daripada nanti kamu dimarahi Papa—kamu tau kan, Papa kamu kayak gimana?” Ibunya benar. Bagaimana pun Nadine membenci pertemuan keluarga ini, dia tetap tidak bisa menghindarinya. Papanya tentu tidak akan membiarkannya melewatkan acara yang baginya sudah seperti neraka ini. “Mama temenin, ya?” bujuk ibunya. Nadine menatap wajah ibunya yang terlihat sedang berusaha meyakinkannya. Wajah ibunya sekarang seolah tengah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mau tidak mau Nadine pun mengiyakan, dan kini nerakanya pun dimulai. “Nadine, kemana aja kamu? Dari tadi Bude cari kok nggak kelihatan?” tanya kakak dari ayahnya, dan Nadine hanya membalasnya dengan senyum canggung. “Kamu apa kabar? Makin cantik aja sekarang.” Ini masih permulaan. Awalnya memang terlihat baik- baik saja. Tapi, tidak setelahnya. “Kuliah kamu gimana? Skripsinya udah sampai mana?” Mungkin orang-orang akan mengira ini hanyalah pertanyaan basa-basi yang akan diucapkan oleh para tetua di pertemuan keluarga. Namun mereka akan menarik kata-kata tersebut, setelah mendengar kalimat yang diucapkan bude Nadine selanjutnya. “Cepet lulus ya, Nduk. Marsya aja sekarang udah mau lulus S2, lho. Kamu masih S1 aja lamanya minta ampun,” komentar budenya membuat hati Nadine mulai berdenyut nyeri. Marsya adalah anak semata wayang Bude Nadine. Dia memang gadis yang berprestasi, berbeda dengan Nadine. Dan budenya itu selalu saja membawa-bawa nama anaknya untuk ia banding-bandingkan dengan Nadine. Dan lama-lama Nadine muak juga. “Wah, Marsya udah mau lulus tho? Perasaan baru kemarin dia ambil S2, kok tiba-tiba udah lulus aja Mbak?” respons tante Nadine—adik dari ayahnya. “Iya, dia itu memang anaknya pinter. Ya gimana nggak pinter, orang hobinya aja baca buku,” balas budenya jumawa. Dan Nadine hanya bisa menyimak sambil sesekali tersenyum. Setidaknya pembicaraan mengenai Marsya membuat Nadine tak lagi menjadi bahan pembicaraan. “Oh, iya. Kemarin papa kamu cerita, katanya dia habis buang-buangin make-up kamu yang bejibun di kamar, ya?” Pertanyaan budenya kali ini membuat Nadine mulai murung. Senyum di wajahnya kini lenyap digantikan dengan wajah sendu. “Kamu itu udah 24 tahun, Nadine. Udah waktunya fokus sama pendidikan, mau sampai kapan kamu kayak gini?” tutur budenya membuat Nadine diam-diam menipiskan bibirnya kesal. “Jangan main make-up terus, Bude tau kamu cantik—tapi tetep, pendidikan itu nomor satu. Perempuan kalau cuma modal cantik, ya nggak ada gunanya.” Nadine memandangi budenya dengan tatapan terluka, dan sepertinya budenya itu tidak mau tahu dengan bagaimana terlukanya Nadine atas ucapannya barusan. Budenya terus saja berkomentar tentang bagaimana bodohnya Nadine. Budenya bahkan juga mengungkit-ungkit rekam jejak pendidikannya selama ini yang memang tidak bisa dibanggakan. “Mbak, dicoba dulu kuenya?” tutur Ira—ibu Nadine, menyela ucapan budenya mengenai betapa bodohnya Nadine selama ini. Dan diam-diam Nadine menghela napasnya lega, dia sangat bersyukur ibunya menyela di saat yang tepat. “Wah, kue talam. Ini bikin sendiri?” tanya budenya antusias. “Iya, Mbak. Ira buat sendiri.” Ira memang tahu keluarga dari suaminya menyukai kue-kue tradisional, itu sebabnya di acara pertemuan kali ini ia menyempatkan untuk membuatkannya khusus untuk ipar-iparnya ini. “Lho, Nadine nggak bantu?” ucapnya kembali sinis. “Aduh, Nadine. Seenggaknya kalau enggak pinter itu ya bantu-bantu apa gitu, masak atau apa kan bisa.” “Tunggu, jangan bilang kamu nggak bisa masak?” cecar budenya lagi membuat Nadine semakin merasa kecil. “Ya Ampun, kamu tuh bisanya apa, sih? Pinter enggak, masak nggak bisa, mimpi apa Aryo punya anak macam kamu?” Diam-diam Nadine merasakan ibunya yang mengelus punggungnya lembut. Meski hatinya sakit, tapi Nadine lega ada ibunya di sampingnya. Dan meski yang bisa dilakukan ibunya saat ini hanya mengelus punggungnya dalam diam, tapi bagi Nadine itu sudah cukup. Lagipula Nadine tahu ibunya itu memang tidak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan keluarga ayahnya. “Perasaan mbak sama masmu itu orang hebat semua, lho. Dari kecil mereka selalu juara kelas, pinter anaknya. Lah, kamu kok malah kayak gini?” Ucapan seperti ini memang sudah sering Nadine dengar—ucapan tentang bagaimana hebatnya saudaranya dan betapa bodohnya dirinya. Seharusnya Nadine sudah terbiasa, namun sayangnya tidak. Ucapan semacam ini masih saja terasa menyakitkan. “Tapi Nadine kan cantik, Mbak.” kata tantenya menimpali. Dan sebenarnya tantenya ini juga sama saja—ya, hampir semua keluarga ayahnya memang tidak ada yang benar menurut Nadine. “Seenggaknya Mas Aryo bisa cariin Nadine calon suami yang kaya buat menopang hidupnya nanti. Kalau cantik kayak gini, siapa sih yang mau nolak?” ucap tantenya yang sarat akan sindiran. Orang-orang selalu mengatakan tidak ada yang bagus di diri Nadine selain wajahnya. Dia bodoh, dia ceroboh, dia tidak bisa masak, dia tidak bisa melakukan apapun dengan benar. Tapi setidaknya dia cantik—itulah yang dikatakan banyak orang. Dan jangan pikir Nadine menyukai ungkapan itu. Karena dia sangat-sangat membencinya. “Iya sih,” ucap budenya setuju. “Ya udah, Ra. Mending Nadine cepet-cepet dinikahin aja, mau ngejar karir juga apa yang mau dikejar? Dilihat dari kuliahnya yang nggak selesai-selesai aja udah kelihatan gimana masa depannya nanti,” ucapnya pada ibu Nadine. Ucapan budenya sangat-sangat menyakiti hati Nadine. Budenya mengatakan seolah Nadine tidak memiliki masa depan. Tanpa sadar mata Nadine mulai memanas. Dalam hati, Nadine berdoa semoga pembicaraan seputar dirinya segera berakhir. Karena jika tidak, mungkin dia akan berakhir menangis di tengah-tengah acara. *** Acara masih belum selesai, tapi Nadine memutuskan untuk langsung berpamitan ke dalam. Dia tahu bude dan tantenya agak tersinggung, karena Nadine langsung pergi tanpa menunggu persetujuan keduanya. Tapi mau bagaimana lagi? Air matanya tidak bisa diajak kompromi. Pada akhirnya Nadine menyerah dan menangis juga, itu sebabnya ia buru-buru pamit dan masuk ke dalam kamarnya. Ucapan bude dan tantenya sudah sangat keterlaluan. Dia tidak tahan lagi. Nadine tahu dia bukan gadis yang pintar—berbeda dengan Marsya, mbak, dan juga masnya. Nadine tahu dan sadar betul akan hal itu. Marsya—anak dari budenya sudah lulus S1 dari universitas top di Indonesia, dia juga lulus dengan predikat cumlaude dalam kurun waktu 3,5 tahun. Tak hanya itu, dia juga diterima melanjutkan studi ke Harvard University yang merupakan universitas top dunia untuk mengambil jenjang S2, dan kabarnya tidak lama lagi dia juga akan segera lulus. Sangat berbeda dengan Nadine yang untuk mendapatkan gelar S1 saja susahnya setengah mati. Lalu pembanding lainnya, ada Pramana Wijaya atau biasa disebut Pram—kakak pertama Nadine yang tak kalah pintarnya dan bahkan kini sudah bergelar dokter spesialis jantung di usianya yang masih terbilang muda. Lalu ada Maretha Wijaya atau biasa disebut Retha—kakak kedua Nadine yang tidak kalah luar biasa. Retha sempurna di mata orang-orang, karena selain parasnya yang tak kalah cantik dari Nadine, perempuan itu juga pintar. Dia juga mengikuti jejak kakaknya sebagai seorang dokter, dan sedang berencana mengambil pendidikan spesialis seperti kakak pertamanya dalam waktu dekat. Dan ayah Nadine juga sama sempurnanya, dia adalah dokter spesialis jantung senior sekaligus direktur RS. Medika Wijaya—yang juga merupakan rumah sakit milik keluarganya. Rumah sakit itu adalah milik kakeknya yang kemudian diwariskan kepada ayahnya yang merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Keluarga ayahnya mayoritas adalah seorang dokter—begitupun dengan kakeknya dulu. Itu sebabnya ayahnya sangat berambisi menjadikan seluruh anaknya seorang dokter. Namun sayang, ambisi ayahnya tidak bisa tercapai karena anak bungsunya tidak punya harapan untuk menjadi dokter karena kapasitas otaknya. Beberapa kali Nadine mencoba mendaftar di jurusan kedokteran—mulai dari negeri hingga swasta, tidak ada satu pun yang mau menerimanya. Nadine bahkan sampai gap year atas perintah ayahnya, dan memutuskan untuk belajar setahun penuh agar bisa diterima di jurusan kedokteran. Namun hasilnya nihil, dia tetap tidak diterima sekeras apapun ia berusaha. Dan Nadine bersyukur pada akhirnya ayahnya menyerah untuk menjadikan Nadine dokter seperti kakak-kakaknya. Meski begitu, Nadine tetap tidak bisa menjalani hidup seperti kemauannya. Ia tetap disetir oleh ayahnya. Jurusannya yang sekarang pun juga atas perintah ayahnya—public health. Ayahnya bilang, setidaknya jurusannya ini masih berhubungan dengan kesehatan. Ayahnya memang sangat terobsesi melihat anaknya berkarier di bidang kesehatan. Dan entah kapan Nadine bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Dia benci dengan hal-hal berbau kesehatan, tapi dia dituntut untuk berkarier di bidang itu. Kapan dia bisa lepas dari jerat keluarganya ini? Karena jujur saja, Nadine sudah mulai muak dengan semuanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
96.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook