SD 03 : Another Fight

1408 Words
Nadine sampai di halte dekat rumahnya. Ia lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Orang yang mengenalnya mungkin akan heran, ia berasal dari keluarga berada, tapi kenapa harus repot-repot naik bus hingga berjalan kaki seperti ini? Jawaban pertama, karena ia memang lebih suka naik bus dibanding taksi. Lalu jawaban kedua sekaligus jawaban utamanya adalah karena Nadine tidak bisa menyetir. Dan lagi, ayahnya memang tidak memperkerjakan sopir karena beliau sudah menyediakan mobil untuk setiap anggota keluarganya. Ya, semua—kecuali Nadine. Ayahnya bilang, orang seceroboh Nadine tidak boleh dibiarkan membawa mobil. Beliau takut anak bungsunya ini membahayakan nyawa orang lain di jalanan. Ya, sebodoh dan seceroboh itulah Nadine di mata ayahnya. Nadine seringkali merasa sedih dan rendah diri karena penilaian dari ayahnya, namun tidak ada yang bisa ia lakukan karena jauh di dalam lubuk hatinya, ia pun turut membenarkan. Ia bodoh, dan ia mengakuinya. Namun bukan berarti tidak ada hal yang tidak bisa Nadine kerjakan dengan benar. Dia mungkin tidak pandai dalam hal akademik, tidak pandai memasak, juga tak pandai mengendarai mobil—namun dia pandai merias. Kata orang itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Apa yang bisa dibanggakan dengan bersolek? Namun nyatanya Nadine bisa menghasilkan banyak hal dari kegiatannya ini. Di sela kegiatannya berkuliah, Nadine rajin membuat konten make-up di sosial media. Followersnya pun sudah mencapai puluhan ribu, dan berkat itu ia sering mendapatkan tawaran endorsment. Meski hasil yang didapatkannya masih jauh dibanding kedua kakaknya, namun Nadine bersyukur karena setidaknya ia bisa membeli apa yang dia inginkan tanpa meminta ke kedua orangtuanya. Tapi ayahnya selalu menutup mata. Beliau sama sekali tidak menganggap jerih payahnya selama ini. Beliau selalu saja menganggap kegiatan bersolek Nadine tidak ada gunanya. Baginya profesi perias atau content creator sama sekali tidak bisa dibanggakan. Ayahnya bahkan menganggap bahwa profesi semacam ini hanya akan mencoreng nama besar keluarga Wijaya. Dan hal itu sangat menyakiti hati Nadine, dan lebih menyakitkan lagi begitu ia mendapati ayahnya yang membuang seluruh koleksi make-up miliknya beberapa hari yang lalu—hal yang sempat diungkit oleh budenya di pertemuan keluarga kemarin. Nadine hanya ingin ayahnya menghargai mimpinya. Ia ingin ayahnya mendukung apa yang akan menjadi tujuan hidupnya. Namun ayahnya tidak bisa, ayahnya tidak bisa mendukung mimpi-mimpi Nadine. Yang ada ayahnya justru memaksakan mimpinya kepada dirinya. Menjadi dokter dan bekerja di bidang kesehatan—itulah yang diinginkan ayahnya, dan Nadine harus bekerja keras untuk bisa memenuhinya. Nadine pontang-panting demi bisa memenuhi keinginan ayahnya itu. Otaknya tidak sama dengan kedua kakaknya, namun ayahnya sama sekali tidak peduli. Sehingga mau tidak mau Nadine harus bekerja 10x lipat lebih keras hingga rasanya mau mati. Rasanya sulit, namun ia bisa apa? Menolak? Memberontak? Tidak ada gunanya. Mau bagaimana pun Nadine menolak, ia tidak akan pernah bisa menang melawan ayahnya. Satu-satunya hal yang bisa ia syukuri sekarang hanya karena ia memiliki sosok ibu di hidupnya. Ibunya adalah satu-satunya orang yang mampu membuatnya kuat dan bertahan hingga saat ini. Beliau satu-satunya malaikat di rumah—yang sudah seperti neraka untuknya, dan beliau juga satu-satunya orang yang mendukung mimpinya untuk menjadi seorang perias profesional. Di saat ayah serta kedua kakaknya mencemooh karena mimpinya yang mereka anggap memalukan, ibunya datang dan menjadi penyelamat Nadine. Dia yang tadinya sudah hampir tenggelam karena rasa rendah diri yang semakin besar, pada akhirnya terselamatkan karena malaikatnya itu. Tanpa ibunya, entah Nadine akan menjadi apa. Mungkin dia sudah seperti mayat hidup yang hanya bisa disetir oleh ayahnya, tanpa bisa merasakan perasaan apapun di hatinya. Ya, semenyedihkan itulah ia tanpa ibunya. *** Setelah beberapa meter berjalan, Nadine pun sampai juga di depan rumahnya. Ia masuk melewati pagar, dan mulai berjalan menuju pintu utama. Namun beberapa meter sebelum benar-benar sampai di depan pintu, ia mendengar keributan yang berhasil membuat Nadine terdiam di tempatnya. “Nadine masih terlalu muda untuk menikah, Mas!” teriak ibunya yang terdengar hingga ke seluruh penjuru rumah. “Terlalu muda apanya! Usia Nadine sekarang sudah cukup untuk menikah!” balas ayahnya lebih keras. Nadine melihat pemandangan di depannya dengan helaan napas lelah. Pintu rumah masih terbuka lebar hingga memudahkan Nadine melihat pertengkaran itu. Mereka bahkan tidak mau repot-repot menutup pintu sebelum bertengkar seperti ini—batin Nadine sedih. “Aku akan tetap menikahkan dia dengan Genta,” ucap Aryo—ayah Nadine keras kepala. Dari nada bicaranya, terlihat bahwa ia tidak ingin dibantah. Memang sejak kapan ada yang bisa membantah perintah ayahnya? Tidak ada yang bisa, entah itu anak-anaknya maupun istrinya. Ayahnya terlalu superior untuk bisa dibantah. “Tapi dia duda,” kata Ira—ibu Nadine yang terdengar keberatan. “Terus kenapa? Yang terpenting dia dari keluarga terpandang. Nadine nggak punya otak yang cukup untuk menunjang masa depannya, jadi dia harus menikah dengan laki-laki yang bisa menjamin hidupnya.” Nadine menatap ayah dan ibunya yang saat ini tengah terlibat percakapan alot dengan wajah sedih, dan lebih sedih lagi begitu ia menyadari bahwa dialah penyebab pertengkaran ini terjadi. Lagi-lagi ayah dan ibunya bertengkar karena dirinya. Bukan sekali ini saja mereka bertengkar karena dirinya. Sudah sering sekali. Namun sesering apapun ia melihatnya, rasanya tetap saja menyakitkan. “Apa ini karena ucapan mbak dan adik kamu di pertemuan keluarga kemarin? Otak kamu pasti dicuci sama mereka, iya kan?” desak ibunya. Ya, keluarga dari pihak ayahnya memang selalu menjadi akar masalah bagi keluarga mereka. Kakak dan adik ayahnya memang suka sekali ikut campur masalah keluarga mereka. “Jangan bicara sembarangan kamu! Dan jangan pernah ikut campur urusanku! Biar aku yang atur hidup anakku, kamu hanya perlu diam dan patuh!” sentak Aryo membuat tubuh Nadine gemetaran di tempat. Namun ibunya masih terus membantah. Nadine benar-benar takjub dengan keberanian ibunya. “Kamu nggak bisa seenaknya begini. Ini menyangkut masa depan Nadine. Kamu harus tanya dulu ke anaknya, yang menjalani semua ini nanti Nadine—bukan kamu, Mas!” Biasanya ibunya tidak akan membantah sampai seperti ini. Mungkin karena ini menyangkut masa depan Nadine, jadi ibunya berusaha keras untuk menentang keputusan ayahnya ini. “Sudah kubilang diam!” “Mas, tapi—“ Nadine buru-buru menjauh dari tempatnya dan segera berlari keluar dari pagar. Dia sudah tidak sanggup lagi melihat pertengkaran di antara ayah dan ibunya. Dia benci melihat pertengkaran keduanya, dan lebih benci lagi karena dialah biang dari pertengkaran ini. *** Makan malam di kediaman Wijaya terasa ramai. Suasana terasa hangat karena obrolan yang tercipta. Orang yang melihat, mungkin akan berpikir mereka keluarga yang sempurna—ya, memang banyak orang yang menganggap bahwa keluarga Wijaya adalah keluarga yang sempurna. Orang-orang mengatakan bahwa mereka terlihat hangat dan harmonis. Namun tidak bagi Nadine. Selama 24 tahun ia hidup menjadi bagian dari keluarga ini, tidak pernah sedikit pun ia merasakan kehangatan itu. Contohnya seperti sekarang ini. Mereka terlihat hangat, keluarga beranggotakan lima orang itu saling mengobrol santai di sela makan malam mereka—semua, kecuali Nadine dan ibunya. Hanya ayah dan kedua kakaknya saja yang saling berbincang seru, sedangkan Nadine dan ibunya hanya sibuk dengan makanannya. Bukan karena Nadine dan ibunya tidak mau ikut berbincang, melainkan karena ayahnya memang hanya mengajak dua kakak Nadine saja untuk mengobrol. Yang mereka obrolkan juga tidak jauh dari masalah rumah sakit, kinerja rumah sakit, dan masalah pekerjaan lainnya—yang tentu saja tidak akan bisa dipahami oleh Nadine maupun ibunya. Rasanya selalu menyakitkan setiap kali ayahnya hanya akan menganggap kakak-kakak Nadine saja, sedangkan dirinya dan ibunya diabaikan karena dianggap tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. “Nadine, mau tambah nasinya?” bisik ibunya pelan. Ibunya terlihat seperti tidak ingin mengganggu obrolan ketiganya. Nadine menggeleng kepalanya pelan sambil berusaha menampilkan senyum simpul. Ia pandangi nasi di piringnya, dan masih tersisa banyak. Ibunya bertanya seperti itu pasti hanya untuk menghiburnya. Ibunya pasti menyadari wajah sendunya, dan berinisiatif mengajaknya mengobrol—meski dengan bisik-bisik pelan, agar ia tidak terlalu merasa terasingkan. Ibunya sibuk menghiburnya, padahal jelas ibunya juga merasa sedih. Karena sebagai istri, ibunya pun juga tidak ikut diajak berdiskusi. Apa rasanya bertahun-tahun menikah dengan orang yang bahkan tidak bisa menghargaimu? Itu pasti tahun-tahun yang sulit bagi ibunya. “Nadine,” panggil seseorang membuat Nadine menegakkan kepalanya seketika. Rasanya asing ada yang mengajaknya bicara di meja makan, dan lebih asing lagi begitu ia tahu bahwa orang yang mengajaknya bicara ini adalah ayahnya. “Y-ya, Pa?” jawab Nadine terbata-bata. Ia masih belum sepenuhnya sadar dari keterkejutannya. “Setelah makan malam, Papa tunggu di ruang kerja Papa. Ada yang mau Papa bicarakan sama kamu.” Tidak ada yang aneh dengan nada suara ayahnya. Nadanya masih terdengar seperti biasa—lugas, padat, dan jelas. Namun entah kenapa Nadine merasa takut. Ia seperti merasakan firasat buruk dari titah ayahnya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD