Gedung olahraga indoor tampak ramai siang ini oleh tim basket sekolah. Mereka memakai seragam tim dan sedang latihan. Ada sekelompok gadis yang berdiri di tepi lapangan berteriak heboh menyemangati tim basket.
"SEMANGAT GUYS!! SEMANGAT!!" Seru Fikri tak kalah heboh menyemangati timnya. Selaku ketua tim basket ia disegani oleh rekan setimnya. Dan dikagumi oleh semua siswi perempuan di sekolah.
Namun sepertinya ada satu orang yang tidak termasuk ke dalam para penggemar Fikri. seorang gadis yang duduk di ujung tribun penonton paling atas. Ia duduk sembari bersandar dengan kepala tertunduk. Terlihat lesu sekali.
Latihan basket berhenti. Istirahat sepuluh menit kata Fikri dari tengah lapangan. Semua pemaiin basket menyebar. Sebagian besar ke sudut lapangan di mana tas-tas mereka terletak. Dan sebagian lain menuju sekelompok gadis yang berada di tepi lapangan tadi, mereka semakin heboh dan sibuk memberikan botol minuman kepada anggota tim basket yang mereka sukai. Salah satu diantaranya adalah Fikri.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, salah satu dari pemaiin basket naik ke tribun penonton. Melangkah cepat dengan kakinya yang panjang menuju tempat gadis itu.
"Hei! Bengong aja ntar kesurupan loh."
Sahutan itu membuat si gadis terkejut dan langsung mendongak lalu melayangkan pukulan pada lengan cowok itu. "Ih! Abang ngagetin aja!" Ia berseru sebal.
Cowok itu tergelak dan mengusak rambut gadis itu yang merupakan adik kandungnya dengan gemas. Namanya Rafdan, satu angkatan dengan Fikri. Pemaiin basket yang tak kalah dikagumi siswi perempuan satu sekolah. Sedangkan si gadis bernama Fina, merupakan adik kelas yang memberi coklat pada Amal tadi pagi.
"Kenapa bengong? Nanti kalau kesurupan beneran gimana?"
Fina berdecak pelan. "Kapan selesainya sih?" Ia merengek. Moodnya sudah hancur sejak bertemu Amal di depan kelas Kristi tadi. Wajah-wajah tampan pemain basket di sana sama sekali tidak membangkitkan moodnya. Ia malah semakin bosan.
"Bentar lagi. Sabar ya."
Fina manyun. "Lama banget. Kalau tau gini mending tadi aku langsung pulang aja."
Rafdan hanya tersenyum kecil. Setelah menghabiskan minuman dalam botol lalu ia taruh di sebelah Fina, ia kembali ke lapangan basket. Istirahat telah selesai. Latihan kembali dimulai.
Setengah jam berlalu. Fina sudah mati bosan sendiri menunggu di tepi lapangan. Akhirnya tim basket selesai latihan. Rafdan memberi isyarat kalau ia akan mandi dulu di ruang ganti sebelum pulang. Fina hanya bisa mengangguk pasrah dan memilih duduk di tibrun penonton paling bawah dan paling dekat dengan lapangan.
"Adeknya Rafdan ya?"
"Eh." Fina menoleh, menatap heran salah satu pemaiin basket yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Iya Kak. Ada apa ya?"
"Mau kenalan aja. Gue Fikri, ketua tim basket. Lo udah liat kan gimana gue tadi teriak-teriak nyemangatin yang lain." Fikri mengulurkan tangan sembari tersenyum sok keren mencoba menarik perhatian Fina.
Fina memiringkan kepala bingung dengan tindakan Fikri seolah ia sedang membanggakan diri. Ia memang sempat mendengar teriakan dari lapangan basket tapi tak terlalu memerhatikan siapa yang berteriak. Namun, demi sopan santun yang diajarkan orang tuanya, Fina balas menjabat tangan Fikri.
"Fina. Adek kandungnya Rafdan."
"Gue tau kok."
“Oh, Oke.” Fina membalas acuh, ia mencoba menarik tangannya kembali, namun Fikri malah menahannya.
"Tanya dong tau darimana Kak?" Fikri menyeringai.
Fina berdecak kesal. Ia hanya diam dan berusaha menarik tangannya.
"Yaudah deh, gue aja yang ngasih tau. Soalnya lo cantik. Masa gue gak tau nama lo."
"Cih." Fina berdecih terang-terangan. Ia menarik tangannya kuat-kuat dari genggaman Fikri. Setelah terlepas, Fina langsung beranjak pergi. Moodnya semakin buruk saja karna ulah Fikri barusan.
"Hmm menarik." Bukannya merasa kesal karna ditinggal begitu saja, Fikri malah tersenyum sembari menatap punggung Fina yang menjauh.
**
Hari ini hari minggu. Hari yang disukai seluruh umat manusia. Termasuk Kristi tentunya. Di luar masih gelap. Masih jam enam kurang lima belas menit. Matahari terlihat malu-malu di langit timur. Namun, meskipun begitu sama sekali tak mengurungkan niat Kristi untuk kembali bergelung di kasur.
Ia sudah mandi dan berpakaian. Sekarang ia sedang berdiri di balkon kamarnya, menunggu Amal keluar rumah.
Biasanya pertandingan yang diadakan hari minggu, membuat Amal harus pagi-pagi sekali pergi ke sekolah dimana tempat pertandingan diadakan. Untuk briefing dan sebagainya.
Makanya, karna nanti Kristi tak bisa datang untuk menyemangati Amal secara langsung, ia memilih menyemangati Amal pagi-pagi saja sebelum cowok itu berangkat.
Tak lama menunggu, Amal muncul dengan hoodie biru gelap yang dipakainya. Ia lalu berseru memanggil Amal. "Amal!" serta mengangkat kardus bekas yang sudah ia hias dengan rangkaian huruf dan jika dibaca menjadi kalimat, 'Semangat Amal!!!!'
Amal mendongak. Membuka tudung hoodienya dan tersenyum lebar. Ia mengacungkan dua ibu jari pada Kristi, kemudian melambaikan tangan sebelum berlalu pergi.
Di balkon, Kristi melihat punggung Amal sampai menghilang dari pandangannya. Setelah Amal benar-benar tak terlihat lagi, Kristi kembali masuk ke kamar. Ia harus bersiap untuk pergi belanja keperluan toko.
Hari ini adalah hari penting. Ia akan pergi belanja tanpa Amal. Meskipun ditemani dengan Rara, hanya saja ini termasuk kemajuan sebuah progres kehidupan Kristi yang tidak lagi meminta ditemani Amal.
Tepat jam tujuh pagi, Kristi keluar toko dengan senyuman lebar ia melangkahkan kaki di atas trotoar. Ia berjalan menuju halte, titik temunya dengan Rara. Karena rumah Rara terletak tak jauh dari halte di ujung jalan lingkungan rumah Kristi. Rumah Rara terletak di sebrang jalan halte yang menjadi titik temu mereka. Terkadang, Rara pergi sekolah dengan bus, tapi lebih sering ia pergi dengan Kakaknya yang seorang mahasiswa.
Setibanya di pasar buah yang menjadi tujuan pertama Kristi, pedagang dan pembeli memadati lorong-lorong hingga jalan menjadi sempit. Kristi dan Rara harus bergandengan tangan melewati lautan manusia agar tak terpisah. Karena sedang weekend seperti ini pasar buah jadi lebih ramai dari biasanya.
Kristi melihat daftar belanjaan yang harus ia beli di ponselnya. Seikat nanas yang biasanya berisi lima buah nanas yang akan digunakan untuk membuat selai nanas, lalu dua kilogram apel dan dua kilogram jeruk. Untuk buah-buahan hanya tiga macam buah yang akan dibeli. Kristi sedikit tergopoh-gopoh menuju stand sebelah, setelah mengikat dengan kuat plastik berisi buah jeruk.
Di stand sebelah Rara sedang asik tawar menawar harga buah alpukat yang menjadi pesanan Mamanya. Selagi menunggu Rara yang sekarang sedang bertingkah manis sebagai taktik pengurangan harga dari penjual, Kristi mengirim pesan pada Amal. Ia ingin tahu bagaimana pertandingan Amal hari ini. Berjalan lancar atau tidak.
To : Amal
Gimana Amal? Aman?
Lalu Kristi menyimpan ponselnya kembali. Karena Kristi tahu pasti pesannya akan lama dibalas oleh Amal. Kalau sedang hari pertandingan seperti ini, Amal akan lebih fokus pada pertandingan saja.
Urusan tawar menawar Rara dengan penjual buah alpukat sudah selesai. Tak tanggung-tanggung Rara mendapat dua buah gratis alpukat karna sudah bertingkah manis. Untung saja yang menjualnya mamang-mamang kalau ibu-ibu sudah pasti Rara akan kena usir.
Belanja kemudian dilanjutkan ke toko yang menjual bahan-bahan membuat roti. Berbagai macam jenis tepung, vanili, pewarna makanan, dan beberapa cetakan kue kecil berbentuk love, bintang dan bulan. Semua keperluan itu sudah Kristi beli kecuali telur, karena Kristi tidak bisa menjaga telur dengan aman sampai rumah. Bahkan beberapa minggu yang lewat Kristi membuat sekarpet telur retak dan tak ada yang bisa dipakai untuk membuat kue setibanya di rumah. Oleh karena itu, Ayah Kristi meminta orang peternak telur untuk mengantarkan telur langsung ke toko setiap minggu.
Dua plastik besar di tangan kiri dan kanan Kristi bawa dengan sekuat tenaga. Akhirnya sesi belanja telah selesai dan mereka singgah sebentar di kedai minuman es campur yang terletak di luar pasar. Cuaca hari ini begitu cerah hingga membuat gerah dan haus dahaga.
"Parah ya, lo belanja sebanyak ini tiap minggu." Rara berkomentar setelah memesan dua es campur komplit pada penjual.
"Iya, kadang lebih malah. Kan biasanya gue bareng Amal, jadi dia yang bantu bawain."
"Emang biasanya sebanyak apa?"
"Dua kali dari ini."
"Pantes sih lo bergantung sama Amal selama ini."
Kristi nyengir sebagai balasan. Pesanan es campur mereka datang. Lalu mereka berdua menyantapnya dalam hening.
"Cepetan dek, Abang mau liat pertandingan sepak bola di sekolah."
"Ck. Sekali-kali doang pergi sama aku, masih aja pikirin olahraga terus."
"Sayang loh dek kalau gak nonton langsung. Btw, hari ini dia main loh, kok kamu malah milih pergi belanja daripada liat dia main?"
"Males. Dianya aja gak pernah liat aku. Dianggep ada aja gak pernah tuh."
"Dangdut banget sih dek. Masa baru segitu aja udah nyerah. Usaha dong."
Kristi tertarik dengan obrolan salah satu pembeli es campur yang tak jauh darinya. Sepasang kakak beradik itu membahas soal sepak bola dan usaha si Adik untuk mendekati seseorang yang disukainya. Keduanya berdiri di samping gerobak es campur dengan menenteng belanjaan.
Yang laki-laki, si Kakak bertugas membawa kantung belanjaan lebih besar sedangkan yang perempuan, si Adik membawa kantung belanjaan berukuran sedang. Keduanya masih asik mengobrol, menghadap ke jalanan tepat di depan mereka.
Jadi, dari tempat Kristi duduk, sama sekali ia tak bisa melihat wajah dua saudara itu, Kristi hanya bisa melihat punggung mereka. Namun, jaket olahraga yang dikenakan si Kakak sepertinya Kristi kenal, jaket itu adalah jaket olahraga tim basket sekolah Kristi. Jaket itu sudah tak dipakai lagi, sebab dua tahun ini tim basket sudah memiliki jaket baru. Hanya saja Kristi pernah melihat Fikri memakai jaket itu dan memberitahu kalau jaket tersebut adalah jaket tim basket dua tahun ke belakang.
Dan dipastikan kalau, si Kakak adalah tim basket sekolah Kristi. Lalu obrolan mereka yang menyinggung pertandingan sepak bola adalah pertandingan persahabatan yang diadakan di sekolah hari ini, dan Amal salah satu pemaiinnya.
"Coklat kemarin udah dikasih ke Amal?"
"Udah."
"Diterima gak?"
"Diterima."
"Kok kamu kayak gak seneng gitu. Kan coklatnya diterima."
"Dia nerimanya karna dipaksa Kak Fakhri."
"Oh. Haduhh kasian banget sih." Suara gelak tawa si Kakak pun terdengar. "Makanya kalau suka sama cowok tuh yang normal-normal aja."
"Kak Amal normal loh Bang!"
"Ck. Jutek begitu. Kaku. Gak cocok sama kamu."
Mendengar nama Amal disebut, kuping Kristi jadi membesar.
"Justru itu daya tariknya Bang." Si Adik menjawab serta tertawa kecil lalu keduanya berlalu pergi setelah mendapat dua es campur yang sudah dibungkus.
Sampai keduanya tak terlihat lagi oleh Kristi, obrolan mereka masih saja terngiang-ngiang di dalam kepala.
"Justru itu daya tariknya Bang."
Di sekolah, yang bernama Amal hanya satu orang saja, yaitu Amal yang Kristi kenal. Bisa dipastikan kalau si Adik tadi menaruh hati pada Amal.
Hal ini bukan lah hal baru bagi Kristi. Amal juga termasuk dalam cowok-cowok populer di sekolah yang digandrungi para gadis. Terlebih dengan sifat jutek yang cowok itu miliki. Kristi saja heran dibuatnya, padahal sifat jutek Amal tak ada bagus-bagusnya.
Tapi, mendengar si Adik itu tertarik dengan Amal entah kenapa membuat Kristi gugup. Padahal sudah dua tahun ini Kristi mendengar dan melihat secara langsung gadis-gadis yang menyukai Amal serta menyatakan rasa suka pada Amal secara langsung, namun ia tak pernah mendapat perasaan gugup seperti ini.
Aneh. Kristi rasa ada yang salah. Tapi, ia tak tahu itu apa.
**
Sinar matahari yang menyengat tak membuat ke dua tim sepak bola berhenti menggiring bola menuju gawang lawan. Sorak-sorai dari penonton ke dua belah tim pun tak ada surut-surutnya sejak tadi. Sekarang sudah paruh ke dua permainan berlangsung. Sebentar lagi akan ditentukan pemenang dari pertandingan persahabatan ini.
Tim lawan dengan nomor punggung 23 menghadang Amal yang mengoper bola menuju gawang. Amal terhenti sebentar lalu mengambil langkah lain. Namun, si nomor punggung 23 ini selalu mengikuti.
Anehnya, si nomor punggung 23 sama sekali tak mengindahkan bola. Ia hanya berfokus pada Amal. Menahan pergerakan Amal.
"Mau lo apa bro?" Amal bertanya heran. Karna si nomor punggung 23 ini telah mendapat kartu kuning karna dianggap memperlambat permainan.
"Mau gue. Lo bersikap baik sedikit aja sama Fina."
"Fina? Maksud lo siapa?"
Pertanyaan Amal tak terjawab, sebab si nomor punggung 23 telah ditarik ke pinggir lapangan. Permainan kembali berlangsung normal, dari lirikan mata Amal bisa melihat si nomor punggung 23 kena marah habis-habisan oleh pelatihnya.
Memangnya siapa sih Fina yang dimaksud cowok itu? Tidak ada dalam daftar orang yang Amal kenal dengan nama Fina sama sekali.
Agaknya si fina-fina ini adalah orang yang cukup penting bagi si nomor punggung 23. Tapi, apa Amal harus peduli? Lagipula Amal juga tak kenal dekat dengan si nomor punggung 23. Hanya beberapa kali bertemu saat pertandingan seperti ini saja.
Amal kembali fokus dengan bolanya. Menggiring benda bulat itu menuju gawang lawan. Dan tanpa hambatan yang sukar bola itu meluncur mulus menuju gawang lawan. Tepat saat itu peluit berbunyi tanda waktu pertandingan telah selesai.
Teman satu tim Amal berlari menuju Amal yang telah menyelamatkan kemenangan dengan selisih satu angkah dari tim lawan. Mereka melakukan perayaan bak tim sepak bola dunia yang memenangkan piala dunia FIFA. Selain itu kehebohan juga disumbangkan oleh para suporter tim sepak bola sekolah yang menjadi tuan rumah hari ini. Yang sebagian besarnya adalah kaum hawa. Suara sorakan mereka benar-benar memekakkan telinga.
Setelah keluar dari kerumunan teman-temannya yang masih bersuka cita atas tendangan gol dari Amal, Amal bergegas ke ruang ganti untuk membersihkan diri. Hari ini pelatih tidak jadi memberikan traktiran makan malam, karena anaknya jatuh sakit. Alhasil acara makan-makan bersama diundur tiga hari lagi.
Amal yang paling senang mendapat kabar ini sebab ia bisa pulang cepat dan minta dimasakkan makanan oleh Kristi. Meskipun ia masih harus berpura-pura kecewa di depan teman-teman se timnya. Setelah selesai berganti pakaian. Amal segera keliar ruang ganti. Namun, kembali masuk saat didapati rombongan para gadis yang menjadi suporter heboh tadi malah berkumpul di depan ruang ganti. Amal tidak ingin mengambil resiko dikerubungi dan dimintai foto bersama. Amal enggan sekali dengan hal tak penting seperti itu.
Untungnya karna sebelum masuk SMA ini, saat SMP Amal sering memakai lapangan sekolah ini untuk bermain bola, ia jadi tahu seluk beluk lapangan dan beberapa sudut pagar yang terbuka untuk melarikan diri. Salah satunya adalah sudut ruang ganti.
Tepat di sebelah kamar mandi, ada tumpukan sapu, pel, dan tempat sampaah. Di balik itu tampak dinding yang merupakan papan triplek yang ditaruh saja tanpa dipaku sama sekali. Amal langsung bergerak memindahkan sapu dan barang lainnya serta menggeser papan itu sampai celahnya terbuka cukup lebar untuk ia lewati.
Setelah berhasil lewat, Amal kembali menggeser papan itu ke tempatnya dan bergegas menuju pagar setinggi pinggang di belakang lapangan sepak bola. Dengan mudahnya Amal melompati pagar itu, dan ia segera menyebrang jalan menuju tempat fotocopy yang tutup dan mengambil sepedanya yang ia taruh di sana.
Tanpa membutuhkan waktu lama Amal segera menggoes sepeda untuk pulang. Namun, kaki Amal seketika terhenti saat ia baru saja hendak menggoes sepedanya, ketika dengan jelas telinganya mendengar nama Kristi disebut.
"Lo yakin dia bakal nerima lo? Pawangnya galak loh."
"Yakin. Dari yang gue perhatiin selama ini, Kristi jelas Banget suka sama gue."
"Pd banget lo."
Suara mesin fotocopy terdengar. Agaknya suara yang Amal yakin adalah suara Fikri bersama temannya ini sedang memfotocopy sesuatu. Karna tempat fotocopy dimana Amal menaruh sepeda tadi adalah fotocopy milik Ayah Fikri.
"Masalahnya gue gak pernah dapet waktu yang pas buat ngomong berdua sama Kristi, soalnya tiap gue ketemu Kristi, dia selalu bareng pawangnya. Heran gue."
"Namanya juga pawang. Ya harus ngikut kemana-mana dong."
Kemudian obrolan itu disusul gelak tawa dan Amal dengan wajah datar menggoes cepat sepedanya untuk pergi jauh dari sana.
**