Kristi mengernyitkan kening dan memejamkan mata saat ia menyesap jus nanasnya dan mengunyah dengan khidmat bubble buatannya sendiri. Rasanya sedikit asam, manis dan kenyal. Tapi, semua itu membuatnya tersenyum dan merasa bahagia karna kerja kerasnya membuat bubble sedari siang dengan mengikuti resep di kanal video membuahkan hasil.
Sekarang ia bisa bersantai sembari menonton televisi dan menikmati jus nanas bubblenya, sebab toko roti menjelang sore begini sudah tidak seramai siang tadi. Jadi, Kristi tak perlu membantu di toko.
Getar ponsel mengalihkan pandangan Kristi dari layar televisi. Satu pesan dari Amal. Akhirnya setelah tiga jam, Amal membalas pesan Kristi. Agaknya cowok itu telah selesai bertanding.
From Amal :
Lancar. Aman sentosa, wkwk. Tim gue menang. Btw, hari ini gue bisa pulang cepet. Soalnya anak Pak Pelatih lagi sakit, jadi acara makan-makannya diundur.
To Amal :
Wuahhhh selamat. Okeehh, gue tunggu di rumah ya. Ada resep baru yang harus lo coba.
Setelah menekan tombol kirim, Kristi meletakkan ponsel di atas meja dan berlalu ke dapur dengan segelas jus nanas yang tinggal setengah.
Saat pulang dari pasar tadi, Kristi mencari-cari resep masakan dengan bahan buah nanas di kanal internet. Hasil pencariannya di kanal internet itu membuah hasil, ia mendapat menu-menu sederhana yang menarik untuk dicoba.
Yang pertama yaitu jus nanas dengan bubble yang tadi Kristi minum tadi. Lalu ada puding nanas yang sudah Kristi buat siang tadi bersamaan dengan bubble. Sekarang, puding itu sedang didinginkan di dalam kulkas. Dan menu terakhir adalah nasi goreng nanas.
Kristi mulai menyiapkan bahan-bahannya, sembari bersenandung kecil. Memasak menu-menu sederhana ini dan sesekali mencoba menu-menu baru sudah menjadi kebiasaan Kristi dan Amal yang akan selalu mencicipinya. Tak semuanya berjalan mulus, terkadang keasinan, gosong atau malah hancur tak berbentuk. Namun, Kristi tak menyerah, meskipun ia sering menangis karna dimarahi Amal tiap kali ia gagal dengan resepnya.
Dan karena Amal juga lah Kristi jadi ingin terus mencoba dan membuat makanan enak. Yah, terkadang keseringan gagal daripada berhasil. Tapi, saat berhasil memasak menu baru dan mendapati acungan jempol dari Amal membuat Kristi bahagia luar biasa. Memang, Amal dan Kristi tidak bisa dijauhkan. Bagaimana bisa ada seseorang yang bilang kalau Amal punya kehidupannya sendiri? Disaat ke duanya saling bergantung seperti ini.
Sepuluh menit berlalu. Suara langkah kaki terdengar menaiki tangga. Bersamaan dengan itu Kristi memasukkan potongan buah nanas ke dalam wajan yang berisi nasi goreng setengah matang.
"Wangi banget!!"
"Eh, lo udah dateng." Kristi melambaikan tangan dan menyuruh Amal untuk bergegas mendekat.
"Ambilin piring dong."
"..."
"Amal, tolong."
"Ck. Baru juga dateng udah disuruh-suruh aja. Gue ini tamu loh, dipersilahkan duduk kek ini malah disuruh ambil piring."
"Amal kan ini buat lo juga. Kenapa sih harus ngomel."
"Ck." Amal berdecak sebagai balasan, ia terlihat kesal dari ekspresinya. Meskipun begitu Amal tetap mendekat ke rak piring dan mengambil dua piring.
Kristi menata nasi goreng dengan cantik ke atas piring, di tambah telur mata sapi, irisan tomat dan mentimun, nasi goreng nanas pun sudah jadi. "Tarraaaaaaa nasi goreng nanas siap disantap!!"
"Hm, baunya enak. Rasanya enak gak?" Amal melirik Kristi dengan pandangan menilai siap mengkritik dengan mulutnya yang pedas.
"Dicoba dulu dong." Kristi mengulurkan sendok. Tampak yakin dan percaya diri dengan masakannya kali ini.
Sama seperti minggu-minggu yang telah lewat, suasana tegang muncul tiap kali Amal mencicipi masakan Kristi. Serupa dengan kompetisi masak di televisi dengan dewan juri yang mencicipi masakan para kontestan untuk menilai kekurangan dari masakan yang telah dibuat yang memberikan sensasi tegang bagi kontestan itu sendiri. Begitu juga dengan yang Kristi rasakan sekarang. Meskipun Amal bukanlah seorang chef ternama dan bukan juga dewan juri di kompetisi memasak, namun sensasi tegangnya tetap sama.
"Enak!" Amal berseru dengan mata berbinar dan mengacungkan ibu jari pada Kristi.
"Wuahh akhirnya masakan gue berhasil."
"Jarang-jarang kan gue muji lo gini."
"Iya, jarang banget. Abisnya lo keseringan ngomel, marah, cemberut. Heran deh gue sama lo yang punya sifat buruk kayak gitu tapi masih aja ada yang suka."
Amal melirik Kristi sekilas, terlihat penasaran dengan ucapan Kristi namun kembali acuh dan memakan nasi gorengnya lagi.
"Gue tau lo penasaran sebenernya, tapi pura-pura cuek aja."
"Siapa yang penasaran?!" Amal menyela tak terima.
"Ck. Jangan teriak gitu dong. Santai bro santai." Kristi terkik geli melihat ekspresi masam dari wajah Amal.
"Jadi, tadi di pasar gue gak sengaja denger obrolan orang. Mereka kakak adek, dan ternyata adeknya suka sama lo."
"Wah lo nguping ya?!"
"Dia ngomongnya deket gue, kedengeran lah."
"Halah." Amal menyela
"Ck." Kristi berhenti bicara. Ia kehilangan selera membahas hal itu lagi.
"..."
"..."
"Kris?"
Kristi melirik dan menaikkan satu alis sebagai tanggapan.
"Kok malah diem?"
"Males gue sama lo."
"Hahaha. Oke oke lanjut ngomong aja. Aneh tau gak diem-dieman sama lo."
"Bilang aja lo penasaran sama orang yang naksir lo itu." Kristi mengerlingkan mata, menggoda Amal.
"Terserah lo mau mikir apa Kris," sahut Amal malas-malasan.
Kristi tergelak. "Jadi, kakak si cewek ini ternyata anak basket, gue sadar pas liat jaket tim mereka. Terus dia bahas soal tanding sepak bola di sekolah dan nyebut nama lo dalam obrolan mereka."
"Oh gitu."
"Gitu doang tanggepan lo?"
"Iya. Emang lo mau gue ngapain? Salto? Kayang?" Setelah berujar seperti itu, Amal meraih gelas berisi jus nanas. Cowok itu mengernyit pelan, merasai rasa asam dan manis jus nanas di lidahnya.
"Kok ada kenyal-kenyal gitu?"
Kristi nyengir. "Gimana? Enak gak?"
Amal mengangguk.
"Itu bubble. Gue bikin sendiri. Pinter kan gue."
"Oh yang item bulet-bulet itu ya?"
"Pengambaran lo jeleek banget."
"Terus harus gimana dong Kristi?"
"Lo bisa bilang kalau bulet kenyal kayak agar-agar."
"Intinya sama aja kan." Amal mengeluarkan buble dari dasar gelasnya ke permukaan dengan sendok. "Tuh item bulet-bulet."
"Hhh." Kristi hanya bisa menghela napas jengah dan lanjut makan, ia tak bisa berkata-kata lagi.
**
Kak Fikri's Calling
3 missed call
Karena ponsel Kristi dalam mode getar dan di taruh di atas meja depan televisi, sedangkan si empunya berada di ruang makan, alhasil panggilan dari Fikri tak terjawab.
Amal yang dari awal sudah tak memiliki firasat baik tentang Fikri ditambah lagi dengan yang ia dengar tadi di tempat fotocopy, membuat ketidaksukaan Amal menjadi berkali-kali lipat lebih besar.
Amal menyadari saat layar ponsel Kristi menyala, ia bisa melihat dari sudut matanya. Namun, dengan segera ia mengalihkan perhatian Kristi agar tak melihat ke ruang tv, firasatnya bilang kalau yang menghubungi Kristi adalah Fikri. Dan Amal tak ingin Kristi dekat-dekat dengan cowok itu lagi.
Setelah menghabiskan nasi goreng nanas dan jus nanasnya, Amal bergerak cepat ke ruang tv, pura-pura hendak menonton televisi dan mencari siaran bagus. Padahal tangannya bergerak cepat meraih ponsel Kristi, dan menghapus log panggilan tak terjawab dari Fikri.
"Amal! Lo yang cuci piring!"
"Kok gue?" Amal terkejut bukan main, ia kira Kristi mendekatinya, namun gadis itu masih menyusun piring-piring bekas makan mereka tadi.
"Kan gue yang masak, lo yang cuci dong."
Selagi tangannya lincah memainkan ponsel Kristi, ia menolehkan wajah pada Kristi dan memasang tampang datar. Setengah merengut, Amal bertingkah manis yang sangat jarang sekali dilihat orang lain. Agaknya cuma Kristi sendiri yang pernah melihatnya. "Gak mauuuuu Kristiiii!"
"Ck." Kristi berdecak. Tak terpengaruh dengan nada suara Amal yang dibuat semanis mungkin. "Lo tu ya!" Ia bergerak cepat, mendekati Amal dengan spatula bekas memasak nasi goreng. Ia sengaja mengacungkan spatula itu, seolah hendak memukul Amal dengannya.
Bukannya takut, Amal malah tergelak. Ponsel yang ia mainkan tadi, sudah ia letakkan kembali ke posisi semula. Ia telah berhasil menghapus riwayat panggilan tak terjawab dari Fikri. "Jangan marah-marah dong. Lo jadi kayak ibu kantin yang nagih utang bawa-bawa spatula segala."
Mendengar seloroh Amal, Kristi jadi teringat kejadian di kantin satu minggu yang lewat. Kantin yang ramai seperti biasanya jadi semakin ramai saat ibu kantin keluar dari dapur sembari membawa spatula dan mengacungkannya ke salah satu murid yang merupakan tersangka yang telah membuat ibu kantin itu murka.
Dari yang Kristi dengan murid itu sudah sering membayar gorengan tidak sesuai dengan yang ia makan. Tiga gorengan yang ia makan hanya ia bayar dua gorengan saja, kadang ada di saat ia tak membayarnya sama sekali.
"Temen lo itu, dia kalo mau bayar suka ngurangin harga sendiri. Heran deh gue. Untung ibu kantinnya sadar."
"Bukan temen gue. Gak punya gue temen kayak gitu."
"Yaudah, sana cuci piring."
"Siap, ndoro!!"
Amal bergegas menuju wastafel dan mencuci piring, sedangkan Kristi duduk santai di depan televisi dan memainkan ponselnya.
Amal melirik Kristi sebentar, melihat apa yang gadis itu lakukan, ternyata Kristi hanya memainkan game di ponselnya. Syukurlah gadis itu tak curiga sama sekali dengan apa yang barusan Amal lakukan pada ponselnya.
**
Selepas makan di rumah Kristi, Amal pun pamit pulang. Tentunya setelah cowok itu mencuci piring dan merapikan meja makan.
Toko bunga Dekava's Flower sudah tutup. Amal mendorong pintu kaca dan mendapati Ibunya sedang menyusun bunga-bunga ke dalam sebuah buket.
"Udah pulang? Gimana pertandingannya nak?"
"Lancar dong Ma. Kan ada Amal." seloroh Amal dengan pongah. Mengundang tawa ke duanya menggema di dalam toko.
Amal lalu beringsut mundur sesudah memastikan kalau Ibunya tak meminta bantuan dalam merangkai bunga. Ia lalu beralih menyusun pot-pot bunga yang sudah kosong ke satu sisi dan melepas bel kecil yang menggantung di ujung pintu.
"Tumben jam segini Mama udah tutup toko."
"Tadi sore ada cewek yang dateng dan beli semua bunga yang ada di dalam toko. Terus dia minta buket ini diantar sebelum jam delapan malam." Mawar -Ibunya Amal- menjelaskan selagi fokus dengan rangkaian bunga yang hampir selesai.
"Pantesan." Amal mangut-mangut. Melihat pot-pot yang kosong ia mengerti setelah diberitahu Ibunya. Agaknya gadis yang membeli semua bunga sedang mengadakan acara yang membutuhkan banyak bunga-bunga segar.
Setelah menyusun dengan rapi pot-pot itu di satu sisi, Amal kemudian meraih bagian bawah pot yang terisi air dan membukanya untuk membuang air-air itu supaya bisa diisi kembali saat pagi nanti. Fungsi air-air itu adalah untuk menjaga bunga-bunga tetap segar.
"Amal boleh Mama minta tolong?"
Amal segera berbalik dan mendekat. "Apa Ma?"
"Bisa anterin buket bunga ini ke alamat ini?" Mawar sudah selesai merangkai bunga, ia menaruh alamat di secarik kertas ke atas telapak tangan Amal. "Mama mau masak makan malam spesial buat kamu karna pertandingan hari ini lancar."
Amal mengangguk. Ia antusias menunggu makan malam spesial masakan Ibunya. Meskipun tadi ia sudah makan sepiring nasi goreng nanas di rumah Kristi, namun porsi sepiring itu kurang untuk lambung Amal yang tergolong bisa muat banyak.
Cowok itu lalu mendekap dengan hati-hati buket bunga yang sudah dirangkai dengan rapi oleh Ibunya lalu mengikatnya kuat di stang sepeda. Karena alamat yang dituju tak terlalu jauh, Amal lebih memilih mengantar dengan sepeda saja ketimbang dengan mobil. Toh, ia bisa hemat bensin dan jadi lebih sehat, bukan?
Amal menggoes sepedanya hati-hati. Berusaha buket bunga yang ia ikat di stang tak berubah bentuk dan aman sampai tujuan. Alamat itu berada tiga blok dari rumah Amal. Lumayan jauh karna Amal menggoes sepedanya pelan-pelan. Apalagi saat ada tanjakan yang sudah dua kali Amal temui. Cowok itu bahkan turun dan menuntun sepedanya sampai ke puncak tanjakan lalu menggoes lagi.
Alamat itu ternyata adalah sebuah gedung serba guna yang bisa dibooking untuk berbagai macam acara. Dan acara malam ini yang hampir dimulai ialah acara tukar cincin atau pertunangan. Amal bisa tahu sebab ada lampu neon yang dibentuk sebuah kalimat tentang acara yang akan berlangsung tergantung di luar gedung.
Amal lalu turun dan menuntun sepedanya ke depan gedung. Ia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sejumlah nomor yang tertera di sebelah alamat lalu menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel di telibga. Tak lama panggilan tersambung, Amal menperkenalkan diri dahulu lalu memberitahu kalau buket bunga sudah sampai. Setelahnya dari dalam gedung muncul seorang gadis dengan gaun pesta dan ponsel di telinga berjalan mendekat ke arah Amal.
Seakan mengerti kalau gadis itu adalah si pemesan buket bunga, Amal segera memutuskan panggilan dan melepas ikatan buket pada stang sepeda. Kemudian ia memastikan buket bunga masih berbentuk serupa seperti yang Ibunya rangkai di toko tadi sebelum menyerahkannya pada gadis itu.
"Dari Dekava's Flower ini buket bunganya."
Gadis itu pun menerimanya dan tersenyum simpul. Ia balas menyerahkan uang dan tip untuk Amal.
"Terimakasih. Semoga suka dengan bunga-bunga dari toko kami." Setelah mengucapkan kalimat itu yang sudah Amal hapal di luar kepala, Amal segera berbalik menuju sepedanya. Dan menggoes kembali menuju rumah.
Tanpa Amal sadari gadis itu masih berdiri di tempat yang sama, melihat kepergian Amal seraya tersenyum penuh arti.
**
Acara kontes memasak masih berlangsung. Kristi terlambat menontonnya setengah jam karena harus membantu menutup toko. Hari ini cookies berbentuk hati laku keras. Orang tua Kristi juga membuat cookies dalam bentuk lainnya, seperti bulan, bintang, dan bentuk bunga dengan cetakan kue yang Krisiti beli di pasar tadi pagi. Dan itu juga habis tak bersisa. Alhasil toko bisa tutup lebih cepat dan ke dua orang tua Kristi bisa pergi lebih awal ke acara pertunangan anak teman mereka yang diadakan di gedung serba guna tiga blok dari rumah mereka.
Kristi tak terlalu dekat dengan anak teman orang tuanya yang akan bertunangan, cuma Kristi pernah beberapa kali bertemu dengannya sebab ia sering membeli roti di Olana's Bakery. Dari cerita yang orang tuanya ceritakan, sebut saja nama anak teman orang tua Kristi ini Gery. Dia lulusan teknik universitas negeri di kota mereka dan sudah direkrut oleh perusahaan besar. Dan calon tunangannya ini masih semester 4 fakultas kedokteran di universitas yang sama. Kata orang tua Kristi juga, mereka sudah berpacaran cukup lama dan memutuskan bertunangan sekarang dan menikah saat si calon tunangannya ini lulus kuliah.
Kala itu Kristi menyela, "Gimana kalau dalam waktu si ceweknya Bang Gery ini lulus terus mereka udah gak saling suka lagi. Pernikahannya batal dong."
Ayah Kristi mangut-mangut setuju, mendukung opini Kristi. Namun, Mama Kristi malah memberinya pukulan di lengan. "Kamu tu ya jangan ngomong sembarangan."
Kristi meringis. "Kan kata aku kalau Ma. Kalau."
Karena hal itu, Kristi tak berani lagi membahas Gery dan tunangannya di depan orang tua Kristi. Dan malam ini pun Kristi sengaja bilang ada tugas yang harus dikerjakan dan tidak pergi ke acara pertunangan itu. Selain malas, Kristi juga enggan berada di tempat yang tidak familiar.
Sekarang acara kontes memasak itu sudah masuk di sesi penilaian juri. Kontestan disuruh maju satu persatu ke hadapan juri. Dan disinilah suasana tegang bermula. Kristi yang hanya menonton mereka di televisi saja ikutan tegang.
Kontestan yang pertama maju, dikritik karena makanannya belum matang sempurna dan penataan di piring tidak mengundang minat sama sekali. Mendengar itu Kristi jadi mencelos dan sedih. Padahal dari tampilan di televisi masakan kontestan pertama terlihat menggugah selera. Kalau soal penataan makanan di piring, Kristi menyerah akan itu. Sebab, yang Kristi tahu mau di tata seperti apa pun jika makanan itu enak pasti akan tetap enak. Bukannya begitu ya?
Setelahnya, kontestan ke dua pun masuk. Kristi jadi tegang lagi. Dan bersamaan dengan itu ponselnya yang ditaruh di atas meja pun bergetar.
Kak Fikri's Calling
"Astaga Kak Fikri!" Kristi terlonjak.
Ia segera meraih ponselnya. Dan menggeser tombol hijau.
"Halo Kak."
"Halo Kristi. Kemana aja kok telpon Kakak baru diangkat?"
"Ha? Kakak nelpon aku ya tadi?"
"Iya. Sekitar jam tujuhan lah. Lagi sibuk ya tadi?"
"Iya Kak, lagi bantu tutup toko." Kristi tak yakin dengan jawabannya sendiri.
Tapi, kalau memang Fikri menelpon sekitar jam tujuh, pasti Kristi Tahu dari notifikasi yang muncul. Namun, tidak ada notifikasi sama sekali. Padahal tadi sekitar jam segitu Kristi sempat memposting foto nasi goreng nanas dan jus nanas plus bubble ke media sosialnya. Kalau tidak salah sekitar jam segitu Amal masih di sini. Atau jangan-jangan...
"b**o! Mana mungkin Amal kayak gitu!" kristi mengumpat pelan.
Dan sialnya sambungan telepon dengan Fikri masih menyala.
"Apa Kris? Kenapa?"
"Ha? Enggak Kak. Itu tadi ada kucing garong lewat." Kristi merutuk. Memukul bibirnya yang asal bicara.
"Kucing garong? Hahahah kamu ada-ada aja."
Dari jendela lantai dua tempat Kristi berdiri melihat jalanan, ia mendapati Amal dengan sepedanya mendekati toko Dekava's Flower. Agaknya cowok itu baru saja dari luar.
"Jadi gimana Kris? Mau kan jadi suporter Kakak minggu depan?"
"Mau Kak."
"Okey. Sampai jumpa besok di sekolah ya."
Dan sambungan akhirnya ditutup. Kristi melihat layar ponselnya yang masih menampilkan jumlah menit sambungan teleponnya tadi dengan Fikri. Lalu ia memeriksa riwayat panggilan dan hanya mendapati riwayat panggilan masuk dari Fikri barusan. Tidak ada riwayat panggilan lain sekitar jam tujuh di ponselnya.
Kristi tak ingin berprasangka negatif. Tapi, tidak mungkin kan riwayat panggilan itu hilang sendiri?
**