7. Cookies Coklat

2567 Words
Denting oven terdengar, Kristi bergegas mendekat dan membuka oven seketika aroma harum cookies menguar di udara. "Wah, wangi banget. Udah bisa nih bikin menu sendiri," sahut Ayah Kristi dari meja makan. Kristi nyengir, membawa cookies buatannya mendekat. "Coba dulu yah, mana tau rasanya aneh." "Oke. Ayah coba." Farhan lalu mengambil sekeping cookies dan mencicipinya. Kristi jadi harap-harap cemas. Sebab kalau rasanya aneh, sia-sia saja dong dia membuat lima belas keping cookies pagi ini. Rencananya Kristi akan membawa cookies itu ke sekolah dan makan bersama teman-temannya. Karena pagi ini Kristi bangun lebih pagi, ia ikut membantu Larissa -Ibunya Kristi- membuat adonan cookies. Alhasil ia dapat seperempat bagian cookies dengan rasa original. Kristi ingin mencoba rasa coklat dan ia bereksperimen memasukkan coklat ke daliam adonan cookiesnya. Makanya karna ada penambahan resep dari resep awal, Kristi jadi gugup, takut kalau-kalau cookies hasil eksperimennya memiliki rasa yang aneh. "Hmm enak,” sahut Ayah Kristi menahan senyum. Ekspresinya sulit dibaca membuat Kristi tak percaya dengan apa yang Ayahnya ucap. "Beneran yah?" "Iya. Enak!" Ayah Kristi berseru lalu tergelak karna berhasil mengerjai Kristi tadi. "Ayah ih." Kristi pun ikut tertawa. Kemudian Kristi memasukkan tiga belas keping cookies coklat yang tersisa hasil eksperimennya ke dalam wadah. Karna satu lagi sudah dimakan Ayahnya dan satu lagi Kristi memakannya sendiri. Setelah itu Kristi pun bersiap untuk berangkat sekolah. Di depan toko Olana's Bakery, Amal sudah menunggu dengan sepedanya. Cowok itu tampak rapi seperti biasa, tak lupa memakai dasi dan topi. Karna hari ini hari senin dan ada upacara pagi. Namun, ada yang berbeda dari sepeda Amal, ada seikat bunga Mawar di stang sepeda cowok itu. "Lo bawa bunga ke sekolah buat apa Mal?" "Ini bunga buat Pak Supri. Katanya mau dikasih ke Bu Ana yang ulang tahun hari ini." "Oh gitu. Kirain." "Kirain apa?" "Kirain lo mau nembak cewek." "Yakali!" Amal kontan tergelak. "Cepet naik!" Lalu ia mempersiapkan diri duduk di sadel sepeda dan menunggu Kristi untuk duduk di jok belakang. "Udah Kris?" "Udah!" Mereka pun berangkat. Melewati jalanan di lingkungan mereka. Kali ini Amal memilih lewat gang-gang kecil, meskipun di jalanan besar sudah dibuat jalur khusus sepeda tapi Amal lebih suka lewat gang. Lebih cepat sampai dan tidak banyak bertemu kendaraan lain. "Amal, gue bikin cookies pagi ini." Kristi memberitahu selagi Amal menggoes sepeda. "Gak hangus kan?" "Enggak." "Oven di rumah lo gak kebakar kan?" "Enggak! Astaga Amal! Emang lo pikir tiap gue masak selalu gosong apa?" Amal tak langsung menjawab. Karena lewat gang-gang kecil meskipun tidak banyak kendaraan yang lewat namun tetap saja sesekali mereka berpapasan dengan sepeda motor, alhasil Amal harus sedikit menepi atau berhenti dan membiarkan motor itu lewat lebih dulu. Sama seperti sekarang, ada seorang bapak-bapak dengan tiga anak di atas motornya yang baru saja lewat dan Amal menepi sebentar. "Loh! Kan iya Kris. Sering malah. Kalau gak gosong pasti asin." Mendengar komentar pedas dari Amal, Kristi hanya bisa diam. Ia ingin sekali membalas dengan mencubiti pinggang Amal atau kalau tidak memukul keras punggung cowok itu. Hanya saja posisi mereka sekarang tidak tepat. Amal sedang menggoes sepeda dan fokus ke jalanan. Apalagi Kristi duduk diboncengan. Salah-salah nanti mereka malah jatuh dan tak jadi sekolah. Mengendarai sepeda sendiri atau membonceng orang lain tingkat konsentrasinya sangat berbeda. Sebab mengangkut beban di jok belakang atau manusia akan membuat keseimbangan sedikit goyah jika tidak fokus mengendalikan stang sepeda, bisa-bisa terjerembab jatuh. Apalagi lewat gang kecil dan harus berpapasan dengan pengendara lain. Makanya, Kristi memilih diam. Dan mencengkram kuat tas Amal yang menjadi pegangannya serta menahan rasa sebalnya. "Kris! Lo masih di sana kan?" "Iyalah." "Gue kira lo udah kecebur got." "Sialan lu Mal." Lalu terdengar suara gelak Amal. Begitulah kira-kira obrolan mereka berlangsung sampai ke duanya tiba di sekolah. Pak Supri terlihat berbinar saat mendapati Amal membelokkan sepeda melewati gerbang dan berhenti di sebelah pos satpam. "Gimana? Kamu bawa kan?" Begitu tanya Pak Supri dengan semangat. Kristi tertawa kecil. Lalu ia turun dari jok belakang. "Bawa dong Pak." Amal membuka ikatan bunga di stang sepedanya, kemudian menyerahkan bunga itu pada Pak Supri. "Makasih ya Mal," ujar Pak Supri setelah menerima bunga itu dan memberikan uang pada Amal. "Bunganya emang buat apa Pak?" Kristi tiba-tiba menyahut. Pura-pura tak tahu. "Ituloh. Bu Ana kan hari ini ulang tahun. Bapak mau ngasih bunga ini sebagai kado ulang tahun Bu Ana." Mendengar itu Kristi menahan senyum geli. Memang ya romansa tak memandang umur. "Nah mumpung Kristi masih disini. Bapak mau minta tolong tulisin kartu ucapan buat Bu Ana." Pak Supri lalu masuk ke dalam pos satpam dan kembali keluar dengan sebuah kartu ucapan berwana merah muda dan sebuah bolpoin. Kristi lalu menerimanya dan menuliskan kalimat yang diucapkan Pak Supri pada kartu itu. "Selesai." Setelah membubuhkan gambar love kecil-kecil di ujung tulisan sebagai pemanis, Kristi menyerahkan kartu ucapan itu pada Pak Supri. "Wah, makasih ya Kristi, Amal, sudah bantu Bapak." Pak Supri tersenyum senang. "Iya Pak. Sama-sama." Kristi menanggapi, tersenyum geli. "Semangat ya Pak. Kalau perlu nyatain perasaan Bapak langsung ke Bu Ana." Amal berseloroh membuat Pak Supri semakin tersenyum lebar. ** Istirahat ke dua siang ini benar-benar panas luar biasa. Terik matahari tak tanggung-tanggung menyengat kulit. Membuat seragam basah oleh keringat. Rara mengipas-ngipas wajahnya dengan buku tulis, bibirnya tak berhenti menyedot es jeruk dari plastik yang ia pegang. Gadis itu kelihatan nelangsa karna cuaca panas siang ini. "Panas banget anjir," keluh Rara seraya mengusap keringat di dahinya. "Iya. Parah sih ini." Dina menimpali. Kali ini rambut hitam lebat gadis itu disanggul. Ia mengeluh panas hanya dengan rambutnya dikuncir kuda. Mereka bertiga duduk-duduk di taman kecil depan kelas mereka. Seraya berbincang untuk menghabiskan jam istirahat ke dua. Kristi tadinya juga ingin ikut menimpali. Namun, ia lelah bicara dan lebih syahdu menyedot es jeruk yang sama dengan punya Rara dari dalam plastik di tangannya. Seketika Kristi teringat dengan cookies coklatnya. Tadinya Kristi ingin memakan cookies itu bersama teman-temannya saat istirahat pertama, namun saat istirahat pertama di kantin malah menjual nasi kuning yang sudah lama tidak dijual lagi, karna ibu kantin yang menjualnya pulang kampung beberapa bulan belakang ini.Alhasil karena rindu dengan rasa nasi kuning itu, Kristi merelakan cookiesnya untuk dimakan pada istirahat ke dua ini. Kristi bergegas masuk ke dalam kelas, lalu kembali dengan wadah berisi cookies coklat. "Guys, cobain cookies coklat buatan gue." Kristi mengulurkan wadah cookiesnya di antara Dina dan Rara. Ke duanya dengan antusias mengambil sekeping cookies dan mencobanya. "Enak." Dina yang lebih dulu bicara. Ia sudah menghabiskan sekeping cookies, kali ini ia sudah mengambil keping ke duanya. "Enak banget, parah!!!" Rara berseru heboh. "Lo bisa jual ini di sekolah Kris, biar gue yang bantuin." Ia lalu mengusul bantuan tanpa cuma-cuma. Kristi senang karna dua temannya menyukai cookies yang ia buat. Namun, ia ragu jika menuruti perkataan Rara untuk menjual cookies buatannya di sekolah. Sebab tak semua orang akan suka cookies yang ia buat, bukannya selera orang berbeda-beda bukan? "Atau gak lo bisa nitip di kantin Kris, biar ga repot jualin sendiri." Dina memberi usulan lain. Kalau dititipi di kantin, kemudahannya Kristi tak perlu langsung berinteraksi dengan pembeli. Jadi, ia tak perlu repot menghadapi pembeli secara langsung. Tapi, untuk itu semua tentunya Kristi harus bertanya pada ke dua orang tuanya, dibolehkan atau tidak berjualan di sekolah. Es jeruk dalam plastik milik Kristi sudah habis. Punya Rara bahkan lebih dulu habis. Membuat ke duanya kembali merasa kepanasan. "Din, temenin beli es lagi dong. Gak kuat gue panas-panas gini." Rara mengeluh, ia beranjak dari duduknya. "Ayok Kris!" lalu mengajak Kristi ikut serta. Kristi menggeleng. Menolak. Kalau ia ikut nanti malah kepingin beli es juga, di siang hari panas terik begini minum es terus menerus juga tak baik untuk kesehatan. Makanya Kristi menolak dan bilang ingin menemui Amal. Mereka berpisah di depan Kelas, Rara dan Dina menuju kantin sedangkan Kristi ke arah sebaliknya. Kelas Amal terletak di sebrang kelas Kristi. Terpisah lapangan upacara yang luas dan kantor guru serta tata usaha, Kristi memilih lewat di belakang kantor guru. Setidaknya lewat sini ia jadi tak terkena sinar matahari. Sebab terhalang atap kantor guru. Sesampainya di kelas Amal, Kristi tak menemukan cowok itu di sana. Ia malah bertemu Fakhri yang asik menggoda seorang gadis. Dan ujar Fakhri, Amal pergi ke gedung olahraga untuk bermain futsal. "Panas-panas gini main futsal? Gak habis pikir gue sama cowok." Begitu gumam Kristi sembari menyusuri taman samping sekolah di sebelah kelas Amal menuju gedung olahraga. Ternyata di gedung olahraga ini, rasa panas tak terlalu kentara sebab langit-langit yang tinggi dan jendela-jendela besar yang membuat sirkulasi udara lancar ditambah lagi banyaknya pohon-pohon besar di belakang gedung membuat angin tak terasa panas malah sejuk. Pantas saja Amal memilih main futsal di sini. Kristi masuk lewat pintu di tengah gedung yang terbuka lebar di lantai dua gedung olahraga. Seketika ia disambut pemain futsal yang asik mengoper bola, salah satu di antara mereka adalah Amal. Kristi lalu melangkah menuju tribun penonton tak jauh dari pintu masuk. Ia sengaja duduk di tribun bawah agar Amal bisa melihatnya langsung setelah cowok itu selesai bermain. Di tribun bagian futsal tak banyak yang duduk-duduk di sini. Hanya ada Kristi serta tiga orang cowok lainnya yang agaknya juga bermain futsal dan sedang menunggu giliran. Sedangkan di tribun bagian basket, banyak gadis-gadis yang duduk-duduk di sana. Ternyata tim basket sedang mengadakan rapat, mereka duduk melingkar di lantai lapangan. Agaknya sedang membahas soal pertandingan minggu depan. "Hei! Tumben ke sini." Amal tiba-tiba datang. Cowok itu tak lagi mengenakan seragamnya, namun ia memakai tshirt putih polos. "Mau nemuin lo. Nih ada cookies coklat buat lo." Kristi pun mengulurkan wadah cookiesnya dan Amal langsung mencoba sekeping cookies. Cowok itu melahap sekeping cookies langsung dimulutnya seraya mengangguk-angguk. "Enak, gak gosong." Kristi berdecih pelan, namun ia tetap senang karna Amal memujinya. Dalam sekejap, wadah cookies itu berpindah tangan ke Amal. Sekarang mereka berdua duduk berdampingan di tribun penonton. "Ternyata gedung olahraga adem ya. Gak kayak kelas gue. Panas." "Bukannya kelas lo udah ada kipas anginnya ya?" "Ada. Cuma itu kipas angin ada satu, sekelas ada 40 orang, lo bayangin lah gimana jadinya..." Kristi nyengir melirik ke arah Amal. Amal balas tergelak. Ia bisa membayangkan satu kipas angin dengan 40 orang pas sekelas akan ribut, terlebih lagisaat hari sedang panas-panasnya. Akan selalu ada seorang yang akan memonopoli kipas angin itu sendiri. Futsal masih berlanjut. Namun, Amal tak lagi bermain ia sibuk menghabiskan cookies coklat. Salah satu dari tiga cowok yang duduk di sisi tribun lain ikut bermain menggantikan Amal. Tim basket juga mulai bermain, setelah sorakan tim sehabis rapat mereka. Gadis-gadis yang duduk di tribun juga tak kalah heboh. Mereka bersorak mencoba menarik perhatian tim basket. Namun, dari sekelompok gadis yang bersorak heboh itu, ternyata ada seorang gadis yang hanya diam dan duduk di tribun agak jauh dari sekelompok gadis-gadis heboh itu. Kristi baru menyadari kehadirannya dan tatapannya yang tak lepas mengarah ke Kristi dan Amal. Kristi balas menatap gadis itu. Dengan jarak pandang lumayan jauh, tapi ke duanya sadar saat tatapan mereka bertemu. Gadis itu segera mengalihkan tatap dan pura-pura sibuk dengan ponselnya, sedangkan Kristi tetap menatap ke arahnya. "Oi! Keluar nanti mata lo liat ke sana mulu!" Amal berseru membuat Kristi tersentak kaget. Gadis itu segera melayangkan pukulan bertubi-tubi ke lengan Amal. "Amal!!!!" Kristi mengumpat dengan matanya. Amal hanya tergelak. Tak merasa sakit sama sekali akibat pukulan Kristi. Ia justru geli melihat ekspresi murka dari Kristi. Bagi Amal, Kristi sedang kesal seperti ini, lucu. "Lo kalau mau liat anak basket main, pergi sana. Jangan di sini." "Maunya sih. Cuma males, berisik." Kristi meringis mendapati gadis-gadis heboh tadi tak berhenti bersuara. "Biasalah. Suntikan penyemangat buat anak basket. Lo liat? Si Fikri yang lo suka itu mulai berlagak sok jago." Kristi melihat ke arah tim basket lagi. Tepatnya ke Fikri yang mendrible bola, cowok itu tak hanya mendrible bola tapi juga berputar-putar layaknya jagoan. Meskipun Kristi kesal Fikri dikatai oleh Amal, tapi melihatnya secara langsung membuat Kristi malu. "Padahal gue lebih sreg kapten basket si Rafdan daripada dia, tapi gara-gara cewek-cewek lebih suka dia makanya dia bisa jadi kapten basket." "Ha? Emang iya?" Amal mengangguk semangat. Dalam hal membuka aib Fikri tak ada yang lebih jago dari dirinya. "Kalau Rafdan itu yang mana?" "Itu yang nomor punggung 11." Kristi kembali memerhatikan tim basket. Mencari nomor punggung 11 dan mendapati seorang cowok atletis dengan bahu lebar sedang menshoot bola dan berhasil masuk dengan mulus. Gayanya biasa saja. Ia hanya berhigh five dangan teman di sampingnya lalu kembali fokus bermain. Tak lama Fikri juga memasukkan bola ke ring, cowok itu heboh berkeliling lapangan seolah yang baru saja ia lakukan telah menyelamatkan tim dari kegagalan. Lebay sekali. Dan Kristi lihat Fikri berlari ke arah gadis-gadis heboh itu yang membuat mereka jadi lebih heboh. Alhasil Kristi jadi ilfil sendiri. Gadis itu bergidik mengundang gelak tawa Amal. "Kan udah gue bilang. Lo sih suka sama orang yang modelan dia gitu, suka pamer." Kristi cemberut. Ia tak bisa membantah karna kenyataannya sudah jelas. Namun, alasan Kristi suka dengan Fikri bukan karna cowok itu anak tim basket. Ada beberapa hal yang hanya Kristi ketahui. Kristi lalu bangkit. Mengambil wadah cookiesnya yang sudah kosong dari tangan Amal sembari berjalan keluar gedung olahraga. Amal pun mengikuti. Di luar, Kristi tak langsung turun. Ia menuju pagar pembatas balkon dengan merasakan semilir angin seraya melihat ke kelasnya, dimana masih ada beberapa teman kelasnya yang bermain di luar pertanda jam istirahat ke dua belum berakhir. "Belum mau balik ke kelas?" Amal datang, merangkul Kristi. Kristi menggeleng. Tak merasa perlu melepas rangkulan dari Amal. Toh, mau dilihat orang lain atau tidak juga tak berpengaruh pada ke duanya. "Masih shock ya?" Amal tiba-tiba tergelak. Melepas rangkulannya dan tertawa penuh semangat. "Amal k*****t!" Kristi mendesis. Yang Amal katakan memang benar. Ia seolah tertampar kenyataan dan merasa jadi gadis bodoh telah menyukai Fikri. Namun, jujur saja sekali lagi Kristi menyukai Fikri bukan karna cowok itu populer di kalangan gadis-gadis, tapi ada hal lain yang hanya Kristi ketahui. Agaknya kadar rasa suka Kristi pada Fikri berkurang sedikit karna melihat hal tadi. "Udahlah. Cowok kayak gitu gak pantes buat lo." "Lo emang sesuka itu ya ngejelekin dia." "Gue bukan ngejelekin tapi ngasih tau yang sebenarnya. Buktinya gak ada kan yang pacaran sama dia. Atau lo pernah denger dia deket sama cewek lain?" Kristi menggeleng. Melihat kenyataan kalau Fikri lumayan dekat dengannya, selain itu tak ada gadis lain yang tampak dekat dengan Fikri. "Nah itu membuktikan. Cewek-cewek di sekolah ini gak ada yang mau pacaran sama dia." "Dih lo sok tau!" Kristi protes. "Belum tentu apa yang lo bilang emang kenyataannya. Udahlah jangan bahas dia." Kristi jadi kesal sendiri. Ia pun berlalu pergi dan melangkah cepat meninggalkan Amal. Di ujung balkon dekat tangga. Kristi malah bertemu dengan gadis yang menatapnya dari tribun bagian basket. Kristi mengerjap, menghentikan langkah dan menghadap ke arah gadis itu. "Hmm. Maaf, ada yang mau kamu omongin ya?" Gadis itu jadi gelagapan. Dan segera menggeleng. "Gak ada kok Kak." Kristi melihat lambang di lengan kanan seragamnya. Ternyata gadis itu adik kelas Kristi. "Oh, aku tau. Kamu pasti merhatiin Amal ya?" "Ha?" Gadis itu menatap Kristi dengan mata membulat tak percaya. Kristi tertawa kecil. Ia menyentuh lengan gadis itu. "Gapapa kok aku tau." sembari tersenyum dan melirik ke arah Amal yang masih berdiri di tempat Kristi sebelumnya, cowok itu terlihat penasaran menatap lurus ke duanya. Saat si gadis juga melihat ke arah Amal, otomatis Kristi dapat melihat sisi kiri wajah gadis itu. Seketika ia teringat kakak beradik yang ia dengar pembicaraannya di kedai es campur pada hari minggu di pasar. Dan entah kenapa Kristi sedikit menyesal telah berperilaku baik pada gadis itu. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD