Freya dan DarenUpdated at May 29, 2023, 05:13
Nafasku mulai sesak, meringis dalam diam, menahan perih isakan tertahan di dalam hati. Terkubur oleh ejekan ketegaran yang terus kuperankan. Di satu sisi, ada keinginan untuk membuka hati yang terus meronta kembali ke pelukannya. Tapi di sisi lain, kenyataan di depan mata terus berupaya menyadarkan diri.
Dia sudah bersama yang terindah. Sadarlah Frey dan teguhkan hati sebelum hancur berkeping-keping. Ini keputusan terbaik.
Tapi hatiku terus menjerit memanggil namanya, meleleh bersama air mata yang membasahi pipi. Pedih yang kurasakan, menutup semua logika yang harusnya terbuka. Mata tidak kunjung lepas menatap bangunan yang berada di luar jendela. Di tempat yang terlihat teduh itu, kenangan berlomba-lomba mengingatkanku pada masa-masa indah, saat bersamanya. Dada terasa kian berat kala asa menguasai diri, namun tidak sanggup berucap kata pamit.
“Dek, ayo berangkat! Barang-barangmu sudah dimasukkan Mas Abel ke dalam mobil.” Suara yang mendekat ke ruangan nenuntun kambali kendali diri.
“Tunggu sebentar, Mbak.”
“Oke. Kalau gitu, mbak dan masmu tunggu di depan rumah. Segera turun kalau sudah siap.”
Selepas keheningan yang disisakan Mbak Ilma, kepala menoleh ke dingding samping jendela. Papan kecil mengantung di sana dan terdapat foto-foto kenangan yang kuhabiskan di tempat ini. Tidak terasa, dua tahun sudah aku berada di desa nenek. Wajah pria itu menghiasi hampir dua per tiga papan menunjukkan rangkaian peristiwa bagai album yang terbuka.
Langkah bergerak meraih tas di dekat meja hias, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menoleh ke jendela, papan kenangan yang bisa menghambat niat. Tangan memegang erat-erat tali tas sandang sebelum membuka kamar sepenuhnya.
Di depan pintu, bibirku bergetar, mendamba kehadirannya menggenggam tanganku seperti biasa. Wajah berpaling penuh harap ke arah jendela untuk kesempatan terakhir bertatap dengannya. Namun, kesunyianlah yang menyapa harapan. Memupuk rasa putus asa.
Kuusap air mata yang kembali berderai, kali ini harus benar-benar ikhlas.
“Di tempat baru, pasti ada pelipur lara untuk mengisi kepergiannya, Dek.” Suara Mas Abel memecah suasana di dalam mobil, mengantar kepergian kami dari tempat itu.