bc

SEBERKAS CAHAYA

book_age16+
0
FOLLOW
1K
READ
others
student
drama
lighthearted
lucky dog
male lead
realistic earth
school
slice of life
weak to strong
like
intro-logo
Blurb

Potret kehidupan masa kecil seorang anak yang diperlakukan tidak adil oleh masyarakat setempat, karena statusnya sebagai anak piatu, ditambah lagi ayahnya dipenjarakan sebagai tumbal kekuasaan pada masa itu. Hal itu senantiasa terbawa dalam ingatan. Tak pernah lekang oleh waktu, yang membentuk kepribadiannya di masa depan..

"Belajarlah yang rajin. Cukup menjadi seperti kunang - kunang yang memberi setitik cahaya dalam kegelapan malam "

chap-preview
Free preview
TEMPAT YANG INDAH
“Kaju, ayo lompat !” teriak Longa dari dalam sungai. Aku menoleh ke sungai. Longa, Ruma, Meo, Be’o dan Wonga sedang berenang sambil bercanda. Kelihatannya seru, tapi aku  masih enggan untuk bergabung bersama mereka.  Udara pagi ini cukup dingin.  Dan hangatnya sinar matahari  membuat aku lebih memilih untuk berjemur dan duduk  santai di atas bebatuan  dari pada berenang.  Sungai ini tidak   begitu besar, dan menjadi satu – satunya sumber air di tempatku. Hulunya  berada di utara  perbukitan, yang melintasi beberapa wilayah dan berakhir di pantai. Arusnya juga tidak terlalu deras dan kedalamannya  hanya satu meter sehingga aman bagi anak – anak seperti kami untuk berenang. Di sepanjang sungai terdapat semak belukar dan pepohonan yang rindang, sehingga walaupun di saat matahari lagi bersinar terik, di tempat ini selalu sejuk. Di kiri dan kanannya ada juga  batu – batu yang cukup besar, yang biasa kami gunakan untuk berjemur setelah mandi. Di tengahnya menyerupai sebuah kolam yang cukup besar, tempat yang biasa digunakan penduduk sekitar untuk mandi, mencuci, ataupun memandikan hewan ternak seperti kuda dan kerbau. Air sungai begitu bening dan dasarnya terlihat jelas. Tampak biru kehijauan jika kita melihatnya dari kejauhan. Sungguh memesona. Di sungai ini juga ada ikan, udang, kepiting, dan belut. Kadang – kadang setelah berenang,  aku dan teman – teman memancing ikan dan udang, atau menangkap  kepiting. Lumayanlah buat lauk. Memancing lebih membutuhkan kesabaran dibandingkan ketika menangkap kepiting. Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil. Kami semua akan bersorak gembira ketika ada ikan atau udang yang tertangkap, karena tidak semua anak bisa beruntung dalam memancing, walaupun yang tertangkap itu hanya ikan atau udang kecil. Berbeda dengan memancing yang bisa dilakukan sendiri, menangkap kepiting membutuhkan kerja sama, karena kepiting biasanya ada di bawah batu di pinggir sungai. Beberapa dari kami mengangkat batu, sisanya mengambil kepiting yang ada di bawahnya. Hasilnya akan dibagi rata. Ukuran kepitingnya juga kecil – kecil. Biasanya dibuat sambal sama ibu, dengan campuran cabe dan jeruk purut. Rasanya sedap sekali. Menangkap belut lebih susah lagi. Hanya orang dewasa dan tertentu saja yang bisa melakukannya. Biasanya dilakukan pada malam hari. Entah bagaimana caranya, aku tidak tahu. Aku hanya pernah melihat belut hasil pancingan pamanku. Panjangnya mencapai satu meter dengan besarnya seukuran tangan orang dewasa dan berwarna kecoklatan. Rasanya dagingnya mirip daging ayam, hanya lebih berminyak. “Kajuuu, ayo sini lompat !” teriakan Ruma mengajakku berenang menyadarkanku dari lamunan. “Malas ah. Dingin.” Jawabku “Jangan malas Kaju. Dinginnya cuma sebentar kok. Kalau sudah masuk ke dalam air, tidak dingin lagi. Lagi pula setelah berenang nanti kita bisa berjemur.” bujuk Ruma.  Aku diam tidak menjawab. Malah meletakan kepalaku di antara lutut sambil merapatkan kakiku, lalu menutup mata. Tiba – tiba aku merasa percikan air mengenai badanku. Aku  kaget dan membuka mata. Rupanya teman – temanku tidak menyerah mengajakku berenang. Mereka beramai – ramai memercikkan air kepadaku. Dengan tepaksa aku pun melompat ke sungai menyusul mereka. Dingin air sungai menyambutku ketika aku masuk ke dalamnya. Aku sempat mengigil kedinginan. Tetapi setelah beberapa kali mengerakkan kaki dan tangan,  dinginnya pun menghilang. Aku berenang mengikuti teman – teman. Beberapa kali aku menyelam lalu  kembali ke permukaan untuk bernapas.  Air sungai terasa begitu menyegarkan.  “Teman – teman ayo kita lomba menyelam.” Ajakku kepada teman – teman. “Ayo.” Jawab Wonga.  Dia termasuk salah satu temanku yang jago menyelam. “Apa syaratnya untuk jadi pemenang ?” tanyanya. “Hmm… apa ya.” pikirku sambil mengetukan jari di kening. “Aku tahu.Bagaimana kalau kita menyelam sambil mengambil batu dari dasar sungai. Yang membawa batu paling banyak, dialah pemenangnya.” usul Longa. “Setujuuu.” Jawab kami serempak. Kami keluar air dan berdiri bersisian di atas batu “Tapi, siapa yang jadi wasitnya ?” tanya Meo. Kami semua terdiam dan saling berpandangan. Tampaknya semua ingin ikut berlomba. “Begini saja biar adil, kita buat dua kelompok. Masing – masing kelompok terdiri dari tiga orang anak. Pertama lomba masing – masing kelompok. Yang jadi pemenang pertama dan kedua dalam kelompok, akan dilombakan lagi untuk mendapat pemenangnya. Bagaimana, apakah kalian setuju dengan usulku ini ?” tanyaku Teman – temanku menganggukkan kepala tanda setuju. Kami sepakat untuk membuat dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Wonga, Ruma, dan Meo. Kelompok kedua Be’o, Longa,  dan aku sendiri. Peraturannya peserta hanya boleh meloncat ke sungai setelah hitungan ke tiga dari wasit dan yang membawa batu paling banyak sebelum hitungan dua puluh, akan jadi pemenangnya. Longa menjadi wasit untuk kelompok satu. Wonga, Ruma, dan Meo berdiri bersisian. Setelah Longa menghitung sampai tiga, mereka meloncat ke sungai dan langsung menyelam mengambil batu. Ruma menjadi pemenang pertama karena membawa empat batu, disusul Wonga dua batu dan Meo tidak mendapatkan batu. Selanjutnya kelompok kami bersiap untuk berlomba. Ruma yang jadi wasitnya. Setelah hitungan ke tiga, kami melompat ke sungai. Aku menyelam ke dasar sungai. Setelah mengambil dua  batu, aku berenang ke atas. Tapi  keberuntungan belum berpihak padaku karena Longa lebih dulu sampai di permukaan dengan jumlah batu yang sama denganku, sedangkan Be’o berhasil membawa tiga batu. Jadi sudah pasti pemenang dari kelompokku adalah Be’o dan Longa. Aku menjadi wasit untuk lomba penentuan. Wonga, Be’o, Ruma, dan Longa telah bersiap. Setelah aku menghitung sampai tiga, mereka pun melompat ke dalam sungai, menyelam dengan cepat mengambil batu dari dasar sungai. Meo berteriak memberi semangat kepada mereka berempat. Rupanya perlombaan di babak ke dua ini begitu seru, karena belum sampai hitungan ke lima belas, Wonga, Ruma, Longa, dan Be’o sudah kembali ke permukaan sungai dengan membawa batu. Meo dan aku menghitung jumlah batu yang dibawa mereka. Wonga membawa empat batu, Ruma lima batu, Longa dan Be’o masing – masing tiga batu. Ruma menjadi pemenangnya karena jumlah batunya paling banyak.  “Ruma… Ruma… Ruma “  teriak kami semua mengakui kemenangan temanku Ruma hari ini. Ruma tersenyum bangga. Tidak ada hadiah buat pemenang, tetapi pengakuan dari teman – teman yang lain, sudah cukup membuat yang menang bahagia. Sesederhana itu. Berenang dan bercanda di sungai adalah salah satu hiburan buat aku dan teman – teman. Setelah puas berenang, kami berjemur sebentar, lalu kembali ke rumah. Matahari sudah mulai tinggi. Di sepanjang perjalanan pulang kami melihat ke kiri dan kanan. Sudah menjadi kebiasaan aku dan teman – teman sehabis mandi, kami  mencari buah – buahan yang tumbuh liar di hutan dekat sungai, seperti mangga, jambu, dan berry hutan. Sayangnya saat ini mangga belum berbuah, hanya jambu dan berry saja. Kami pun tidak menyia – nyiakan kesempatan untuk memetik jambu dan berry. Rasanya ada yang manis ada juga yang sedikit masam. Kami menikmatinya dengan rasa gembira. “Teman – teman, jangan keasyikan makan buah – buahan, kita juga kan harus mencari kayu bakar,” kata Ruma mengingatkan kami semua. “Baik Ruma. Ayo teman – teman, kita cari kayu bakar !” jawabku sekaligus mengajak teman – teman mencari ranting – ranting kering untuk dibawa pulang. Setelah ranting – ranting terkumpul, kami mengikatnya dengan tali dan membawanya ke rumah masing – masing. Jarak rumahku dengan teman – teman lumayan jauh. Maklum kami tinggalnya di ladang  yang jauh dari perkampungan. Di sekeliling ladang masih berupa hutan belantara. Masih banyak binatang – binatang liar yang hidup di sana Rumah tempat tinggalku merupakan sebuah pondok kecil, yang dibuat menyerupai rumah panggung. Walaupun kecil, pondok ini sangat nyaman dan cukup untuk kami berempat bapak, ibu, aku dan Niku adikku yang masih kecil. Pondok kami  terletak di tengah kebun, yang  memudahkan kami untuk mengawasi setiap sudut kebun  dari serangan hewan liar yang suka merusak tanaman. “Kaju. bantu Bapa pasang jerat e.”suara bapak terdengar memanggilku. “Baik Bapa.” Jawabku  sambil menghampiri ayahku. “Kita mau pasang jerat di mana Pa ?” tanyaku lagi. “Di tempat yang belum ada pagarnya,” jawab bapakku. Kami pun menuju ke tempat tersebut. Jerat yang dibuat bapakku berupa tali dengan simpul yang kuat. Juga sebuah lubang yang cukup dalam. Di atas lubang tersebut, ayah menaruh kayu dan daun – daunan, sehingga jika ada binatang yang lewat di atasnya, pasti akan jatuh ke lubang itu. Ladang  kami belum pernah diserang binatang liar, tapi kita tetap harus berjaga jaga. Kemungkinan di malam hari babi hutan dan monyet bisa masuk ke dalam ladang, jika makanan di hutan mulai berkurang. Kata bapak, babi hutan merusak tanaman singkong, ubi, pisang,, dan jagung dengan menyeruduk dan menggali tanah di sekitar tanaman. Monyet mematahkan jagung yang belum berbuah. Juga buah pisang dan pepaya. Jadi kalau kami tidak menjaga ladang  dengan baik, kemungkinan semua tanaman bisa rusak dan kami terancam gagal panen. Hari menjelang malam, ketika aku dan bapak kembali ke pondok. “Kaju, cuci tangan dulu.” suara ibuku menyapa. ‘Baik mama.” jawabku sambil bergegas menuangkan air dari dalam bambu untuk mencuci tangan. Sewati ( sejenis piring yang terbuat dari ayaman daun lontar  ) singkong rebus telah ibu siapkan untuk kami. Rasanya sungguh nikmat. Walaupun hanya ditemani sambal tomat dan sayuran rebus seadanya tanpa lauk apa pun. Makan bersama bapak dan ibu adalah saat yang menyenangkan karena kami dapat  bertukar cerita tentang kegiatan kami seharian.  Bapak dan ibu tertawa jika mendengarkan ceritaku yang lucu. Tak jarang pula bapak dan ibu memarahiku jika aku mengusili teman – temanku. Bapak dan ibu senantiasa menasehatiku agar selalu berberbuat baik.  Menolong yang kesusahan, berkata jujur, dan berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. “Jika kita melakukan kesalahan, jangan malu untuk minta maaf, karena dengan mengakui kesalahan dan meminta maaf, hati kita akan tenang,” begitu pesan bapak. Setiap perbuatan yang baik, pasti  mendapatkan balasan yang baik. Intinya apa yang ditabur, itu pula yang dituai. Kebersamaan, itulah yang  kurasakan. Walaupun masih kekurangan, tapi ada banyak cinta  yang diberikan bapak dan ibu untuk aku dan adikku. Cinta yang diwujudkan lewat perhatian dan kasih sayang, lewat tutur kata dan perbuatan. Malam perlahan mulai turun. Kegelapan mulai membayang.  Segera ibuku menyiapkan biji – biji jarak yang ditusuk menyerupai sate. Jika dibakar, biji – biji jarak itu akan menyalah mengeluarkan lidah api. Untuk menahannya agar dapat berdiri tegak, lidi yang sudah ditusuk biji jarak ditangcapkan di atas batang pisang sebagai alasnya, kemudian diletakkan di tengah ruangan sebagai penerang di malam hari. Penggunaan alas dari batang pisang juga berguna untuk mencegah kebakaran. Karena biji – biji jarak akan mati dengan sendirinya ketika mencapai batang pisang. Dinginnya udara malam terasa menusuk kulitku. Untuk menghangatkan tubuh, aku berdiang di tungku api, tempat ibuku biasa memasak. Kehadiran tungku api setidaknya dapat menghalau dinginnya udara malam, yang menerobos dari dinding – dinding pondok, yang terbuat dari pelupuh bambu. Bersama desahan angin  dan suara binatang malam, perlahan mataku mulai terpejam, merangkai mimpi dan harapan seorang anak kecil dari Eko Bena , tempat yang indah,  jauh dari keramaian di pulau Flores yang damai.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.4K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.6K
bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.3K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.1K
bc

Marriage Aggreement

read
80.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook