bc

Istri yang Dirahasiakan

book_age16+
7.2K
FOLLOW
54.0K
READ
goodgirl
drama
tragedy
sweet
wife
shy
like
intro-logo
Blurb

"Bersabarlah, tunggu sebentar lagi, aku akan menunjukkan ke dunia kalau kamu istriku juga." (Adrian Dinata)

Adrian Dinata, lelaki tampan dan rupawan yang merupakan seorang artis terkenal dan diketahui sudah memiliki istri sah dari kalangan selebritis juga, dengan terpaksa menyembunyikan identitas istri keduanya yang bernama Aisyah Az-zahra. Wanita yang baru saja dinikahinya itu terpaksa disembunyikannya dulu demi menjaga karir dan hati sang istri pertamanya. Karir keartisannya yang sedang melambung tinggi serta kehidupan rumah tangganya bersama Casandra yang terlihat harmonis di layar kaca dan jauh dari gosip memaksanya untuk menutup rapat persoalan rumah tangganya yang mulai goyah diterpa gelombang. Casandra yang bersikeras masih menolak memiliki anak demi karirnya, sedang Adrian yang sangat menginginkannya, menjadi alasan yang melatarbelakanginya menikah kembali. Ditambah pula paksaan dari ibunya yang ingin sekali memiliki cucu dan sikap cuek istrinya itu menjadi alasan utamanya melakukan hal tersebut. Lalu akankah pernikahan diam-diam yang dilakukan Adrian akan terbongkar? Dan tahukah Casandra selama ini kalau suaminya--Adrian telah menikah lagi? Bagaimanakah reaksinya?

*cover by canva free

chap-preview
Free preview
Pertemuan Pertama
Kutatap lekat gadis belasan tahun berkerudung merah muda yang duduk di seberang kursi--tempatku duduk. Ia hanya menunduk. Tak berani menatapku meskipun sesekali mendongakkan kepala mencuri pandang, lalu kembali menundukkan pandangan ke bawah. Entah apa asyiknya pemandangan di bawah. Lantai kayu yang beralasan karpet murahan yang sudah sobek di beberapa bagian. Terlihat kusam menunjukkan umur karpet plastik tersebut yang sudah tua dan tak pernah diganti. Rumah yang kudatangi ini jauh berbanding terbalik dengan rumah mewahku. Bahkan luas rumah ini saja ukurannya setara dengan luas kamar kami. Miris. Entah bagaimana bentuk kamarnya. Mungkin hanya ukuran 3x4 meter saja setiap biliknya. Sangat sederhana. "Kamu beneran tidak tahu siapa Adrian? dia ini artis terkenal lo, sinetronnya sering wara-wiri di televisi, dan filmnya selalu box office. Masa nggak pernah lihat?" tanya ibuku setengah tidak percaya. Setiap kata penuh penekanan mempertanyakan ketidaktahuan gadis di depan kami ini. Gadis itu menegakkan kepalanya, menggeleng pelan lalu merunduk kembali. Heh! Aku tak percaya, Ibu akan menikahkanku dengan gadis seperti dia. Dia cuma bisa menunduk, mendongak dengan menggelengkan kepala atau mengangguk saat diajak bicara. Selebihnya diam membisu. Apa yang terlihat di depan mata, membuatku langsung ilfeel. Cantik sih, itu poin penting karena aku seorang public figur. Pasanganku harus bisa mengimbangi, tapi kalau orangnya seperti dia, heh! Sungguh aku tidak tertarik untuk menikahinya. Rasanya ingin membatalkan saja niat Ibuku tersebut. "Maklumi saja Bu, keponakan saya ini sedari kecil sampai besar tinggal di Pesantren dan hidup di kampung. Dia mana tahu dan kenal artis papan atas seperti Nak Adrian. Tahunya mengaji, belajar dan baca kitab. Kalau urusan nonton televisi, Aisyah tidak pernah Bu, iya kan Nak?" tanya wanita berbadan tambun menatap Aisyah dengan sorot mata tajam menekan. Walau disamarkan dengan seulas senyum manis, tetap tidak bisa membohongiku yang lumayan lama di dunia perlakonan. Aktor sepertiku ini sudah khatam cara bermain ekspresi. Sama seperti ibuku, ternyata bibinya juga berhasrat menginginkan terjadinya pernikahan ini, dan aku tahu apa yang melatarbelakangi keinginannya tersebut. "Oh, nggak apa, bagus itu. Televisi tidak baik untuk dijadikan tontonan. Banyak cerita dan tontonan tidak bermutu di sana. Baiknya Aisyah tetap seperti ini saja, nggak usah coba-coba untuk melihatnya, ya, Nak. Nggak mendidik, saya suka Aisyah begini, polos nggak terkombinasi sama dunia hiburan. Kamu memang cocok untuk menjadi menantuku," puji ibuku setinggi langit sembari mengulas senyum lebar. Hah, apa Ibu bilang, TV bukan tontonan yang baik? Nggak mendidik? apa Ibu tidak sadar kalau aku, anaknya besar di sana? Aku cuma bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan Ibu. "Iya Bu, Aisyah tahunya begitu. Selain paham di agama, ia juga pintar di rumah. Ngurus rumah bisa, masak apalagi, dia jagonya. Makanannya selalu enak. Tuh, yang bikin kue tadi, Aisyah lo, enak kan Bu, Nak Adrian?" imbuh wanita yang tidak lain adalah Bibinya Aisyah--Yuni namanya. Ia menawarkan kue yang tersaji di atas meja di hadapan kami. Begitu getolnya dia menyanjung keponakan yang sedari kecil sudah dirawatnya itu. Ia juga sempat bercerita sedikit tentang hidup Aisyah. Gadis polos ini adalah anak yatim piatu. Orangtuanya sudah meninggal sejak kecil. Sekarang, Bi Yuni lah yang membesarkan dan membiayai hidup Aisyah. Cuma itu informasi yang baru kudengar saat ia memperkenalkan Aisyah kepada kami. Perkenalan ini terlalu singkat dan cepat. Sulit untuk dapat mengetahui sifat aslinya. Aku datang ke rumah ini cuma berdua saja dengan ibu. Membawa mobil sendiri dan mengemudikannya. Managerku tidak diajak. Ia bahkan tidak tahu kalau aku ke sini. Semua dirahasiakan atas keinginan Ibu. Wanita tersayangku itu tidak yakin kalau managerku itu bisa dipercaya. Lebih baik waspada, katanya, cari aman. Aku terpaksa harus menyembunyikan identitas dengan menutupi wajah menggunakan masker agar tidak ada orang yang mengenaliku di daerah sini. Walaupun ini kampung kecil dan jauh dari kota, tetap saja harus berhati-hati. Di sini sudah tersedia listrik dan televisi. Siapa tahu mereka juga mengenal dan menonton acaraku. *** "Gimana Nak Aisyah? bersedia 'kan menikah dengan anak saya, Adrian. Saya yakin hidupmu akan terjamin. Semua yang kamu inginkan akan terpenuhi. Percaya deh sama Ibu," bujuk ibuku antusias menawarkan hidup nyaman padanya. Aku memperhatikannya lagi, ia tertunduk sambil meremas kuat jemarinya. Sesekali menengok ke arah bibinya. "Mau kok Bu, Aisyah mana bisa menolak. Saya sudah tidak sanggup harus mengurus Aisyah, sudah tua, sering sakit-sakitan. Jualan barang kelontong di pasar sering sepi. Barang dagangan juga berkurang karena saya tidak bisa menambah stok barang. Kadang Aisyah harus bikin kue buat dititipin di warung-warung sini buat membiayai hidupnya. Aisyah bisa saja mengabdi di pondok pesantren, tapi hati saya tidak tenang kalau tidak melihat dia menikah terlebih dahulu. Saya teringat sama almarhum kedua orangtuanya. Janji saya akan terpenuhi dan hidup saya akan tenang kalau Aisyah sudah menikah. Saya tidak akan khawatir lagi sama nasibnya kelak," papar Bu Yuni dengan raut wajah sedih. Wow … sebuah kisah yang menarik, pintar sekali bibinya merangkai cerita seperti itu. Kasarnya sih, bilang saja sudah malas merawat keponakan. Ribet amat sampai menjual cerita sedih begitu, secara tampilan Bu Yuni yang jauh dari kata sakit. Badannya yang agak berisi dengan make up setebal ini kurang meyakinkan bagiku mendengar kisah pilunya barusan. Aku pun dengan mudah memahami jalan pikiran bibinya Aisyah ini. Sepertinya, dia mata duitan, yang dia butuhkan uang sampai rela memaksa Aisyah--ponakannya agar mau menikah denganku. Tawaran ibuku pasti menggelapkan matanya. Aisyah … Aisyah, kasihan sekali nasibmu. "Aisyah …." seru bibinya sambil menjawil lengan gadis tersebut. Aisyah yang diam jadi tersentak kaget, "iya, terserah Bibi saja," gumamnya pelan tergagap. Mendengarnya saja membuatku kesal. Nampak pasrah tak berdaya. Kalau tidak mau, harusnya tolak saja. Kuyakin hidup tidak sesengsara itu. Pasti ada rejeki di setiap orang, hanya saja cara mendapatkannya yang berbeda. "Terserah? kamu terpaksa menikah denganku?" cercaku sembari menatapnya tajam. Aku sengaja menekannya. Ingin tahu seberapa pasrahnya dia. Aisyah terperangah, namun Bi Yuni lekas menyela ucapanku. "Tidak, Aisyah mau kok. Tidak terpaksa. Dia hanya bingung saja harus menjawab apa. Biasanya juga begitu, setiap ditanya cuma dijawabnya terserah. Iya kan Syah?" tekan bibinya lagi. Mata Bi Yuni melotot memberi kode pada Aisyah, ia yang sedsri tadi sudah pasrah, mengangguk setuju meiyakan ucapan bibinya. Bertambahlah poin minus Aisyah di mataku. Lemah. Mudah menyerah, dan berputus asa. Lagi-lagi bukan tipeku. "Ya sudah, kapan kita melangsungkan pernikahan ini? kalau bisa secepatnya saja. Bagaimana tiga hari setelah hari ini." Ucapan Ibu membuatku membulatkan mata. Aku menatap Ibu tidak setuju, tapi malah dibalasnya dengan gelengan kepala. "Kami nurut saja, terserah dari pihak laki-laki," balas Bi Yuni dengan melempar senyum malu-malu. "Bagus, kalau begitu tiga hari lagi kami akan datang kemari. Ini ada sedikit tanda jadi dari kami. Semoga ini mencukupi semua biaya yang diperlukan untuk melangsungkan pernikahan. Tidak perlu mengundang orang kampung, cukup saksinya saja, karena anak saya ini kan artis terkenal, saya tidak mau pernikahannya diekspos banyak wartawan. Anggap saja ini pernikahan rahasia," jelas ibuku dengan menyodorkan amplop berwarna cokelat yang terlihat tebal kepada bibinya Aisyah. Matanya langsung berbinar melihat amplop tersebut dan malu-malu tapi perlahan mengambilnya. Tetiba rasa nyeri menghinggap hati, tatkala melihat wajah Aisyah yang seketika murung. Wajahnya sendu, seperti terpaksa menyetujui pernikahan ini. Kenapa rasa sesaknya sampai ke hatiku? Perasaan empati kah atau sebatas kasihan? "Tunggu Bu, apa surat perjanjian itu sudah dibaca Aisyah?" tanyaku lebih lembut dari sebelumnya hanya ingin memastikan kalau Aisyah tidak terlalu pasrah menerima pernikahan ini. Setidaknya dia membaca point-point penting dalam surat perjanjian tersebut. "Apa sudah Bu Yuni kasih?" tanya balik ibuku kepada Bi Yuni. "Surat perjanjian? Perjanjian apa?" Aisyah bertanya dengan polosnya. Aku yakin dia tidak tahu-menahu akan surat tersebut. Pasti bibinya menyembunyikan hal ini. "Tolong Bibi jelaskan, saya tidak ingin akhirnya keponakan bibi ini menyesal setelah menikah dengan saya, atau melanggar point perjanjian yang sudah tertulis disana, karena ada dendanya, dan itu besar. Saya tidak yakin kalau kalian bisa bayar. Jadi, suruh dia baca dulu isinya." Aku melempar pelan map yang berisi rincian perjanjian pra pernikahan ke atas meja. "Aisyah mengambil map tersebut, membuka dan membaca isinya. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Dapat kulihat ia jeli membaca isi tersebut. Lalu matanya melotot dan menatap ke arahku. "Ini apa maksudnya? Pernikahan rahasia? Nikah siri? Perjanjian apa ini?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook