bc

Senja (Bahasa Indonesia)

book_age16+
1.3K
FOLLOW
20.6K
READ
friends to lovers
sadistic
goodgirl
sensitive
student
drama
tragedy
regency
small town
friendship
like
intro-logo
Blurb

Senja ialah keindahan di ujung waktu yang hanya sekedipan mata saja. Namun sang Senja terbiasa menepati janjinya untuk selalu kembali esok hari. Kuharap kamu pun begitu, kembali setelah janjimu sebelum pergi.

Hanya sebuah cerita keindahan yang kita ciptakan di ujung waktu. Yang begitu indah meski tidak dengan sesap kopi atau cokelat panas. Kamu memberiku jingga yang berwarna dan mengatakan bahwa meski telah redup, hidupku harus terus berlanjut.

chap-preview
Free preview
Hari Kelulusan
Untuk apa sebenarnya kita memakan bangku sekolah? Bukan, bukan seperti rayap yang menggerogoti hingga habis, kenyang lalu meninggalkan kotoran. Sekolah adalah tempat di mana kita menjadi orang yang berpendidikan. Apa pula gunanya S1 hingga S3 jika kita hanya tahu tentang teorinya, tanpa pernah mengenal sebuah etika, tata krama, nilai, dan norma. Jangan menjadi orang yang hanya bersekolah, karena anak usia 20 tahun pun bisa mendapatkan gelar Master. Tetapi, jadilah orang yang berpendidikan, karena sekalipun kamu lulusan terbaik S3 di Harvard University, jika etika, tata krama, nilai, dan normamu buruk, ijazah tiada artinya. Sekalipun kamu lulus dengan predikat cumlaude jika kamu tetap tak mengerti arti perbedaan, persatuan, sosialisasi dengan sesama, gotong royong dan tetap korupsi. Kamu hanya bersekolah bukan berpendidikan. Orang yang berpendidikan adalah mereka yang mempunyai etika baik sekalipun tak pernah merasakan nikmatnya bangku sekolah, tak pernah mengerti tentang pembuatan makalah, jurnal, ataupun skripsi, tetapi mereka tahu caranya bersosialisasi, baik tutur kata, dan perbuatannya. Maka, pendidikan tak bisa dinilai dari berapa lama kamu menikmati teori, tetapi berapa banyak kamu mengamalkan apa yang seharusnya kamu amalkan. Begitulah isi pidato serta pesan-kesan seorang Senja Bhuana Wicesa. Sahabat terbaik dari perempuan bertinggi badan 158 cm bernama Kanya Bhakti Mayanetra. Cesa, begitu sapaan akrab sahabat Kanya. Ia yang melangkah maju tanpa teks apapun, juga tanpa persiapan apapun. Kanya dan Cesa hanya berdiskusi selama lima menit setelah sang Koordinator kegiatan Pelepasan Siswa kelas XII tahun 2015 mendadak menemui mereka dan meminta Cesa mengisi kekosongan yang ditinggalkan pengisi acara aslinya. “Untuk itu teman-teman. Saya berdiri di sini guna menyampaikan bahwa setelah lulus dari sekolah ini, jadilah orang yang berpendidikan. Jangan mau kalah dengan lulusan S1, S2 atau bahkan S3. Jangan sekalipun mempermasalahkan perbedaan, jangan sekalipun korupsi, jaga etika, perbaiki norma, dan berpegang teguh terhadapnya. Kita mungkin hanya lulusan SMK, hanya bergulat dengan mesin-mesin dan komputer setiap harinya, tetapi kita adalah lulusan terbaik yang berpendidikan, lebih berpendidikan dari orang-orang berdasi yang korupsi. Hiduplah dengan baik, berbekal pendidikan yang kita dapatkan. Teori hanyalah pembantu tetapi karakter adalah yang membuatmu lebih bermutu!” Cesa penuh semangat. Lancar tanpa ada kesalahan. Itu memang isu-isu yang sering kali menjadi bahan diskusi antara Kanya dan Cesa.  Kanya memberikan tepuk tangan paling menggeleggar untuk Cesa. Bahkan tak berhenti hingga dia turun dari mimbar dan berjalan ke tempat duduknya semula, di belakang Kanya. Jurusan dua sahabat berbeda, Cesa anak Pemesinan dan Kanya anak Rekayasa Perangkat Lunak. Ekstrakulikuler Paskibra telah mempertemukan mereka menjadi sepasang sahabat yang mahsyur hingga pelosok sekolah. “Lebay lu!” bisik Cesa di telinga kanan Kanya. Tidak ada tanggapan suara, hanya tersenyum dan mengangkat kedua ibu jarinya. “Itu juga berkat diskusi-diskusi menyebalkan denganmu setiap harinya.” Cesa kembali berbisik. Sekali lagi Kanya tak mengatakan apapun. Mereka memang bukan pasangan sahabat yang bertemu hanya untuk curhat-curhat manja soal cinta, mereka bertemu hanya untuk berdebat dan berdiskusi soal isu-isu mentereng di Indonesia, baik politik, buruknya fasilitas dan pengembangan kemampuan para atlet di negeri ini, serta masih banyak lagi. Cukup berat memang hal-hal yang mereka bahas, nampaknya mereka sangat menyukainya. “Habis lulus kalian mau nikah?” Pertanyaan mencengangkan terlontar dari salah satu sahabat perempuan Kanya yang secara tidak langsung juga menjadi sahabat Cesa. Dia adalah Anna. Sudah tujuh tahun Kanya dan Anna mengudara bersama, menjalani lika-liku persahabatan yang ala-ala. Jika dengan Cesa sudah berjalan tiga tahun dan bahasan mereka seputar politik, berbeda dengan Anna, lebih banyak membahas perihal cinta. Yang terpenting adalah Anna pemegang rahasia terbesarnya yang tidak Cesa ketahui. “Mulutmu itu, An!” bantah Kanya cepat. “Ya, terus apa lagi? Kita semua yang sedang duduk di sini mengharapkan undangan pernikahan dari kalian. Mau sampai kapan jadi sahabat? Nggak bosen?” Anna semakin menjadi. Karena seringnya Kanya dan Cesa bersama menikmati waktu luang di Paskibra maupun di luar itu, akibatnya mereka sering dicomblangkan.  Sayangnya mereka benar-benar hanya bersahabat. Kanya diam tapi Cesa berkata, “Mungkin selamanya.” Setelah hening menerpa, badai justru menerpa d**a Kanya, sesak sekali. Cesa mengatakan itu dengan lancar, ringan, semacam angin yang membawa debu terbang. Tersenyum masam. “Iya, selamanya.” Meski ada asa besar di balik kalimat Kanya.  “Aigooo, kadang gue pengen banget bertanya sama Tuhan. Kenapa gue dapet dua sahabat yang cukup bodoh untuk urusan cinta?” gumam Anna, cukup keras untuk Kanya dan Cesa dengar. Anna memang lebih gaul dari dua sahabat itu. Jika terkadang Kanya dan Cesa menggunakan bahasa Gue ataupun Lo, itu artinya Anna yang telah meracuni mereka. Maklum, dia dulunya lama tinggal di Jakarta, dia juga penyuka drama Korea. Kanya dan Cesa hanya saling memandang. Tersenyum dan mengangkat alis bersamaan. “Tahu nggak, An?” Cesa menepuk bahu Anna yang memang duduk di samping Kanya. “Apa?” Menoleh. “Kadang aku juga bertanya-tanya sama Tuhan. Kenapa cinta itu lebih penting dari persahabatan? Kenapa juga cewek dan cowok bersahabat dalam waktu yang lama itu menjadi masalah? Kenapa pula aku punya sahabat macam kamu, yang pikirannya hanya cinta dan drama Korea? Apa Tuhan tak menyiapkan sahabat yang lebih baik dari kamu?” Cukup panjang daftar pertanyaannya. Kanya bahkan tak bisa berpikir Tuhan akan menjawab pertanyaan yang mana lebih dulu. Ini hanya candaan. “Lo tahu Tuhan akan jawab pertanyaan yang mana dulu, Senja Bhuana Wicesa?” Anna menekan setiap katanya. Cesa menggeleng. “Tuhan akan menjawab pertanyaan terakhir lo lebih dulu. Mungkin Tuhan berkata semacam ini ‘Hai si Fulan. Saya telah menyiapkan sahabat terbaik untukmu, dia lah si Fulana, Kanya Bhakti Mayanetra. Apa kamu tidak meyadarinya, Hamba-Ku yang budiman?’ begitu kiranya Tuhan berkata.” Cesa kesal dibuatnya, hingga melempar kotak snack yang sudah tiada isinya. “Eh, dasar nggak berpendidikan! Buang sampah sembarangan!” racau Anna membuat banyak orang menoleh ke arah mereka. Terlalu berisik padahal Ketua OSIS sedang menyampaikan beberapa kalimat untuk kelas XII. “Oke, Oke. Aku kalah. Mana sampahnya.” Cesa semakin kesal saja. Apa yang dia ucapkan juga berbalik kepadanya. Senjata makan tuan. Anna menyeringai penuh kemenangan. Mengejek sembari memberikan kotak kosong yang sudah tak berbentuk. Banyak hal yang Kanya lamunkan, banyak hal yang dia pikirkan, banyak hal pula yang membuatnya frustasi dalam beberapa detik. Hingga dia tidak sadar bahwa semua orang telah berteriak gembira. Seruan syukur telah menggema. Kami lulus 100% tak tersisa.  “Tinggal pengumuman kuliah, Gengs!” pekik Anna. Suaranya yang menggelegar menambah riuh suka cita. “Kamu aja sama Kanya, aku enggak!” sahut Cesa yang langsung membuat Kanya dan Anna terkejut. Bukannya mereka mendaftar bersama-sama waktu itu? Kanya ingat betul Cesa mengambil jurusan Teknik Pemesinan di Universitas Sebelas Maret, sedangkan Kanya mengambil jurusan Teknik Informatika, dan Anna mengambil jurusan Pendidikan Sastra Bahasa Indonesia, di Universitas yang sama. “Lah, lo kan daftar di UNS?” “Aku sudah membatalkannya sehari setelah kita mendaftar. Maaf nggak bilang apa-apa sama333 kalian.  Tapi itu keputusanku,” jelas Cesa yang tidak mudah kami mengerti. “Aigooo, lo juga nggak tahu, Nyung?” tanya Anna pada Kanya. Dia memang sering memanggil sahabatnya dengan Nyung, entah artinya apa. Tentu saja Kanya tidak mengetahuinya, jika dia tahu dia tidak akan terkejut mendengar pernyataan Cesa.  “Setelah ini aku jelasin ke kamu, Kan. Jangan pulang dulu dan lo, Miss Drakor. Lo boleh pulang, corat-coret baju, sambil godain polisi-polisi di jalanan,” kata Cesa bergantian pada Kanya dan Anna, kemudian pergi ke arah depan.   “Bilang aja mau pacaran!” ketus Anna kesal. Terkadang dia memang  merasa disisihkan karena Kanya dan Cesa lebih sering bersama daripada mereka bertiga lengkap seutuhnya. Tapi dia bukanlah orang yang terlalu mengikat, dia adalah orang yang percaya bahwa seseorang mempunyai hak asasinya masing-masing untuk berteman atau memilih dengan siapa seseorang menikmati waktu luang.  Cesa menyeringai. Terus saja menuju ke arah depan, entah apa yang akan dia lakukan. “Nikmatilah sebelum kalian nggak banyak waktu bersama, Nyung!” pesan Anna. Dia tahu betul Kanya butuh waktu bersama sebelum mereka berpisah entah oleh jarak atau waktu. Mungkin jarak itu pasti, bisa saja Cesa kembali ke kampung halamannya di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Cesa di Karanganyar hanya ikut dengan neneknya. Dia pun terpaksa sekolah di sini karena orang tuanya yang meminta.  “Terima kasih, Anna. Besok aku akan berkunjung ke rumahmu. Jangan pergi kemanapun, oke?” Meminta janji dengan kelingking. “Gue pasti di rumah. Memangnya mau ke mana lagi gue? Tugu, Jumantono, Karanganyar, selalu terbuka buat lo.” Menepuk bahuku dua kali. “Tapi, nikmati dulu waktu lo sama Cesa. Jangan jadi orang bodoh terus menerus, Nyung. Lo sih, ngodein pakai PHP. Anak mesin mana tahu? Coba lo kasih kodenya pakai bahasa biner, terus yang lo kodein anak Ototronik, pasti doi ngerti.”  PHP dan Biner adalah bahasa pemrograman yang mereka pelajari di jurusan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL). Tiga tahun berkutat dengan bahasa pemrograman itu membuat mereka sedikit tidak simetris. Bahasa-bahasa yang kami gunakan terkadang juga terlalu tinggi, jika bukan anak RPL mungkin tidak akan tahu. “I know, An. Anak mesin hanya tahu bagaimana caranya benda kerja mereka enggak blong satu milli saja, mereka juga hanya tahu bagaimana caranya mengoperasikan mesin CNC,” mendengus kesal. Mereka terlalu sibuk dengan bahasa pemrograman dan benda kerja anak mesin, tanpa pernah sadar jika acara telah berlanjut. Pengumuman lulusan terbaik masing-masing jurusan dan lulusan terbaik satu sekolah sudah dimulai. Dari jurusan Teknik Pemesinan jangan ditanya lagi, sudah pasti Cesa. Pantas saja dia sudah bersiap di ujung panggung. Selanjutnya jurusan Teknik Ototronik, sudah pasti Zola dan dia tidak datang karena sedang tes masuk Kepolisian. Dari jurusan Teknik Pembuatan Kain, sudah pasti anak perempuan yang bertubuh gempal di samping Cesa. Dari jurusan RPL, Kanya? “Buruan Kanya Bhakti Mayanetra!” Anna mendorong sahabatnya.  Lulusan terbaik secara keseluruhan adalah Cesa. Otaknya memang bukan otak manusia biasa, mungkin dia itu keturunannya Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie. Sekalipun dia aktif diberbagai macam kegiatan sekolah non-akademik tetapi masih bisa menyaingi mereka yang bahkan hanya sibuk belajar setiap waktu.    Serangkaian acara penyerahan penghargaan dan hadiah, pengalungan samir serta pemberian bunga telah usai. Waktunya menikmati hiburan yang sudah panitia siapkan. Termasuk yang telah Kanya siapkan. Yah, buruk-buruk begitu, Kanya lah sang Bendahara dalam acara Maha Dewa di akhir sekolah. “Kalah!” ejek Cesa sambil menjulurkan lidahnya. Kanya hanya bisa menghela napas. “Tak masalah.” Ini hanya urusan teori, bukan urusan karakter, mental, dan yang lainnya. Mungkin Kanya dan Cesa bisa imbang untuk urusan itu. “Makan-makan, Nyung,” goda Anna. “Soal makan-makan itu urusan nanti, An. Aku mau bicara dulu sama Kanya. Nantilah kalau apa yang aku inginkan tercapai, bakalan aku ajak kamu makan-makan sepuasnya.” Cesa sudah menggenggam tangan Kanya.  Anna mendengus. Melirik tangan sahabatnya yang saling menggenggam sekarang. “Jangan sogok gue pakai makan-makan sepuasnya kalau cuma pengen ngobrol berdua aja!” Kesal, berbalik arah. “Aku nggak nyogok kamu, An. Kami pergi dulu.” Cesa menarik tangan Kanya. Acara belum usai tetapi mereka sudah pergi meninggalkan aula. Masuk ke dalam kantin langganan sejak masih polos-polosnya—kelas X, sampai Ibu Kantin hafal betul dengan mereka. “Hayo, mau pacaran jangan di kantin ibu!” tegur Ibu Kantin yang duduk di balik meja kasirnya. Cesa menghentikan langkahnya. “Ya ampun, Ibu. Enggak pacaran kita. Numpang ngobrol aja, lagian di depannya Ibu sini kok. Nggak di belakang.” Menarik Kanya duduk di kursi kosong, tepat di depan Ibu Kantin. Sementara Cesa menarik kursi dan duduk di samping kanan Kanya. Ibu Kantin hanya memicingkan mata. “Maksudnya apa ini? Ibu di suruh jadi saksi lamaran kalian?”  Kanya dan Cesa kompak menoleh pada Ibu Kantin pun kompak bersuara. “Ibu!” Ibu Kantin hanya tertawa. Cesa menggaruk-garuk kepalanya. Kanya dan Ibu Kantin saling melempar pandangan, bingung. Satu menit, dua menit, hingga lima menit. Tak ada apapun yang dibicarakan, hanya keheningan dan riuh-riuh samar  dari dalam aula. “Jadi begini, Ibu dan Kanya. Hanya Ibu, Kanya, Papa, adikku dan Mama yang tahu soal ini. Oh, dan Tuhan. Aku daftar tentara." Mulut Kanya dan Ibu Kantin menganga. Seorang Cesa yang bahkan tak sering membicarakan tentang tentara justru dengan tiba-tiba membuat keputusan yang super mengejutkan. Dia bukan orang yang suka membahas militer, apa yang dia bahas lebih banyak soal isu-isu politik. Kanya pernah mengira bahwa sahabatnya itu akan menjadi seorang politisi atau pejabat tinggi yang berhubungan dengan politik. Dia bahkan seringkali mengatakan keinginannya untuk merubah gaya pandang seseorang terhadap politik, di mana politik detik ini dianggap kotor oleh banyak orang. Ini benar-benar mengejutkan. Mereka hanya membahas sekilas saja soal tentara, karena memang tidak ada isu-isu yang begitu signifikan dan seru untuk dibahas. Mungkin jika dihitung dengan jari, banyaknya mereka membahas tentara itu tidak sampai lima jari. Benar-benar lebih sering membahas politik. “Besok aku berangkat ke Kodam IV/Diponegoro untuk seleksi daerah. Jadi, aku minta doa dari Ibu dan Kanya. Semoga bisa berjalan dengan lancar dan hasil terbaik.” Cesa melanjutkan bicaranya, bahkan Kanya dan Ibu Kantin belum sempat menanggapi pernyataan yang pertama.  “Memangnya kamu punya sawah untuk dijual, Cesa? Sudah siapkan uang berapa?” tanya Ibu Kantin yang semakin membuat mulut Kanya menganga sempurna. “Enggak ada kaya gitu, Bu. Coba dulu siapa tahu ada jalan ke sana.” Cesa menjawab. Memang terkadang berita-berita tentang biaya masuk tentara yang besar itu seringkali lewat di telinga Kanya. Tapi entahlah, dia tidak pernah berurusan soal itu. Tak ada juga satupun dari keluarganya yang menjadi tentara. Semuanya hanya menikmati apa yang tentara-tentara itu perjuangkan, ya keamanan negara, ya kenyamanan hidup tanpa terusik musuh. “Ya, Ibu doakan berhasil. Tapi kalau sudah menjadi tentara, jangan lupa sama Ibu, jangan pula sombong dan membanggakan pangkat yang tidak ada apa-apanya di akhirat nanti, mengabdilah dengan semestinya.”  “Siap, Bu, aamiin. Semoga diterima dulu lah.” Kanya mengamini. “Sejak kapan kamu pengen jadi tentara? Bukannya lebih pengen jadi Bupati?” tanyanya masih tidak mengerti dengan alasan yang mendadak ini. Tak habis pikir saja, hantu pahlawan mana yang merasuki Cesa. “Itu kan kamu, yang katannya pengen menggantikan Bapak Juliyatmono di masa yang akan datang. Aku sudah dari dulu pengen jadi tentara, sayangnya memang tidak aku publikasikan. Dan ya, walaupun aku sangat menyukai dunia politik dan lingkungannya, tapi dunia tentara bagiku adalah pengabdian yang sesungguhnya,” jelas Cesa bahkan tak merasa bersalah telah menyembunyikan sesuatu darinya. “Bukankah kita berjanji untuk menceritakan segala macam hal dan tidak memiliki rahasia satu sama lain?” “Ini Ibu jadi obat nyamuk, ya?” Ibu Kantin mencairkan suasana yang hampir saja bertensi tinggi. Karena mereka membutuhkan waktu berdua, akhirnya Ibu Kantin meninggalkan mereka, lebih memilih membantu karyawannya menggoreng bakwan di belakang.  “Jadi, kenapa nggak cerita soal itu?” Kanya masih ingin mendapatkan jawaban. Cesa tersenyum. “Kamu cantik ya kalau lagi ngambek kaya gini. Bibirmu seksi loh kalau lagi manyun.”  Ada desiran halus yang sangat mengganggu dalam d**a Kanya, desiran yang lambat laun menggumpal besar. Semakin besar, hingga sesak sekali rasa di hati. Bola mata hitamnya bahkan sudah tak sanggup lagi menatap wajah Cesa. Tatapannya yang semakin dalam itu sangat menyiksanya.  “Cesa, aku serius!” Bangkit dari tundukan kepalanya. Menatap Cesa tak mau kalah, tetapi berat sekali terfokus pada mata yang bersinar itu, hanya membuat jantungnya semakin tak karuan. Cesa justru tersenyum. “Aku lebih serius lagi.” Tidak mau kalah. “Aku tahu, aku memang cantik dan seksi. Jadi, sudah cukup memujiku. Kembali ke topik yang utama!” tekan Kanya sangat percaya diri. Cesa kembali tersenyum. Kanya tahu Cesa memang murah senyum tetapi senyumnya yang manis itu juga tak perlu terus-menerus diperlihatkan. “Jika kamu juga punya rahasia besar yang kamu sembunyikan dariku, kenapa aku tidak bisa, Kan? Bukankah adil?” Jantung Kanya tersentak. Mungkinkah dia tahu rahasia terbesar Kanya? Hanya Kanya dan Anna yang tahu. Lebih baik jika jantungnya berhenti berdetak saja kali ini. Sudah serasa mati kutu. Sudah seperti mata-mata yang mengintai musuh dan ketahuan. Sudah macam menyaksikan laga Malaysia vs Indonesia dan di menit akhir tiba-tiba Indonesia kebobolan. Macam itulah jantungku serasa berhenti berdetak. “Lupakan!” Cesa menggenggam tangan Kanya. “Cukup temani aku berjuang, entah melalui doa atau apapun yang kamu bisa, Kanya.” Kanya terdiam. Masih bertanya-tanya mungkinkah Cesa tahu soal rahasianya? Apakah Anna sudah membocorkan rahasia itu? Tapi Anna tak pernah sekalipun membocorkan rahasia Kanya, selama tujuh tahun ini mereka bersahabat. “Hey!” ucapnya membawa tangan Kanya kepangkuannya. “Jangan khawatirkan apapun. Khawatirkan saja perjuanganku besok.”  Memberi gerakan lembut di punggung telapak tangan Kanya dengan kedua ibu jarinya. Kanya hanya tersenyum tipis.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.0K
bc

Switch Love

read
112.5K
bc

Istri Muda

read
392.0K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.5K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook