bc

Dua Hari Dua Malam

book_age12+
897
FOLLOW
10.1K
READ
family
goodgirl
brave
confident
drama
sweet
bxg
humorous
campus
friendship
like
intro-logo
Blurb

Menjadi teman satu projek pengamatan bersama Lukas, cowok yang hobi sekali membolos kelas dan jarang akrab dengan siapapun, membuat Luna harus bekerja ektra keras untuk menyelesaikan projek ini.

Bisakah Luna melewati ini semua?

chap-preview
Free preview
Lukas Jangan Rese
Luna sudah pasrah. Ia meletakkan kepalanya di atas meja dan memejam erat-erat. Pendengarannya berusaha menuli. Ia sedang tidak mau mendengar kegaduhan yang ada di dalam kelas. Ia juga sedang tidak mau diganggu ataupun disemangati. Luna hanya ingin dirinya bisa menerima kenyataan bahwa ia harus satu tim dengan Lukas, laki-laki dingin nan cuek yang jarang masuk kelas. "Luna, semangat, Lun! Lo pasti bisa!" Luna menutup telinga ketika Intan menepuk bahunya, memberikan ia semangat. "Bisa, Lun. Bisa!" Kini giliran Desi yang menyemangatinya. Luna masih dalam posisi yang sama. Otaknya sedang berpikir bagaimana cara dua orang yang tidak pernah saling akrab walau sudah dua tahun satu kelas, mengerjakan projek mata kuliah Pengembangan Bahan Ajar dan Media Pembelajaran. Jika projek tersebut hanya sebatas membuat makalah dan mempresentasikan di depan kelas, Luna tidak akan menganggap semua ini sebagai cobaan. Tetapi, projek yang diberikan dosen adalah melakukan pengamatan di SMA/SMK dengan objek bahan ajar dan media pembelajaran yang digunakan di sekolah tujuan observasi. Luna sudah mengangkat kepalanya, tetapi ia masih memejamkan mata. Ia memijit pelipisnya yang terasa pening. Kemudian perempuan itu kembali meletakkan kepalanya di atas meja. "Ayo, balik!" seru Desi pada Luna. "Duluan aja," balas Luna lemas. "Gue kemarin bawa bandeng goreng dari rumah. Ayo makan bareng sama Nisa juga." Jika biasanya Luna akan bersemangat kalau mendengar yang namanya makan gratis, untuk hari ini ia benar-benar tidak memiliki semangat. Luna menggeleng dengan kepala yang masih menempel di atas meja. "Nggak papa, Lun. Lo pasti bisa, kok! Lukas juga pasti bisa diandelin." Nisa berusaha memberikan aliran positif pada perempuan itu. "Diandelin gimana? Selama ini dia jarang banget masuk, alasannya sakit. Padahal dia pecicilan gitu!" Luna sudah mengangkat kepalanya dan mencak-mencak di dalam ruang kelas yang sudah sepi. "Kalian enak, bisa kebetulan banget satu tim. Lah, kenapa aku kudu sama Lukas coba?" "Tuhan ngasih lo cobaan, pasti ada tujuannya." Luna beralih menatap Desi. "Nah, kan. Kamu aja anggep aku lagi dapat cobaan." Desi terkekeh. "Ya gimana, ya. Walau Lukas itu ganteng, tapi dia itu nggak jelas orangnya. Dulu pas gue sekelompok sama dia, dia sama sekali nggak bikin makalah. Cuma ngedit PPT doang." Mendengar penuturan dari Desi menambah rasa gundah dan galau Luna semakin tinggi. "Apa kabar aku?" "Lo bakal baik-baik aja, kok. Percaya sama gue." Nisa sudah memberikan senyum termanisnya. Ia menyorot netra Luna seperti cahaya surga. "Ayo. Ikut makan nggak, nih?" "Aku lagi nggak nafsu makan." Ekspresi kecewa keluar dari wajah Desi dan Nisa. "Halah. Nggak asyik, Lo!" Hanya tinggal Luna seorang diri di dalam kelas setelah Nisa dan Desi memutuskan untuk pergi. Luna masih galau di sana, di bangku paling ujung dan paling belakang. Ia memandangi foto profil dosennya, dan tidak henti-hentinya ia merutuki dosen yang telah membuatnya satu tim dengan Lukas. "Bu, Lukas itu nggak jelas orangnya. Masa saya kudu satu tim sama dia? Projek observasi pula. Pasti saya yang kerja sendirian." "Bisa nggak sih, Bu, kalau saya sendirian aja ngerjain observasi? Saya nggak mau satu tim sama Lukas!" Perempuan itu masih mengomel di depan layar ponselnya. "Hari ini Lukas juga nggak masuk lagi, Bu. Terus gimana caranya saya ngabarin dia? Saya sendirian aja ya, Bu. Nggak usah sama Lukas. Please, Bu." Luna sudah merengek di depan layar ponselnya. Beruntung ruangan tidak sedang dipakai untuk kelas lain. Setelah puas mengadu pada foto profil dosennya, Luna memutuskan untuk pulang. Bukan pulang ke kostnya apalagi pulang ke rumah orang tua, karena itu terlalu jauh. Universitas Matahaya ada di Kota Malang sedangkan rumah orang tuanya ada di Bandung. Walaupun begitu, Luna bukan asli Bandung. Ia hanya tinggal di sana sejak lahir tanpa ada keturuan darah Sunda. Luna memilih untuk ke kost Desi saja. Karena belum ada satu jam semenjak Desi dan Nisa pulang, pasti bandeng goreng yang Desi bawa dari rumah masih tersisa. Mungkin juga Desi akan sengaja menyisakan bandeng goreng tersebut untuk Luna. Luna segera keluar dari ruang kelas. Ternyata, jika dilihat-lihat, ruangan kelas yang cukup besar tersebut sedikit menakutkan saat tidak ada orang, ditambah dengan cuaca siang hari ini yang mendung. Baru saja Luna berhasil keluar dari koridor yang lumayan sepi, pendengarannya langsung dipenuhi oleh suara ramai saat ia melewati kantin. Jika jam makan siang seperti ini memang kantin akan sangat ramai. Padahal makanan di kantin lumayan mahal. Luna tidak tahu kenapa masih banyak mahasiswa yang memilih makan di kantin padahal di belakang kampus juga tersedia banyak warung makan yang harganya jauh lebih ramah di kantong. Luna menghentikan langkahnya di saat ia mendengar suara seseorang yang sangat familiar. Matanya menelusuri keadaan kantin, mencari sosok yang suaranya sangat mengganggu pendengarannya. Itu dia. Laki-laki jangkung dengan kemeja kotak-kotak yang sedang nongkrong sambil menyesap rokok di tangan kirinya. Kakinya diangkat satu dan ada segelas kopi di depannya. Sesekali ia terbahak, lalu terbatuk, kemudian terbahak lagi. Otak Luna tidak pernah mengkomando. Tetapi tiba-tiba saja ia melangkah menghampiri Lukas. Seketika perempuan itu linglung saat tepat berada di samping Lukas. Obrolan yang khas dengan gelak tawa disertai kepulan asap rokok, kini menjadi hening semenjak kehadiran Luna. "Maaf, Mbak. Cari siapa?" ucap seorang laki-laki berambut gondrong dengan senyumnya. Lebih tepatnya laki-laki itu bertanya dengan nada yang menggoda. "Cari saya, ya?" lanjutnya dengan tatapan menggelikan. Lukas yang menyadari ada teman satu kelasnya berdiri di sampingnya langsung membuang sebatang rokoknya yang masih panjang ke atas paving dan langsung ia injak. Laki-laki itu kemudian berdiri. Kontras sekali tinggi badan Luna dan Lukas. Berbeda lebih dari dua puluh lima centimeter, membuat Luna terlihat imut saat bersebelahan dengan Lukas. Lukas menarik tangan Luna dan membawanya menjauh dari teman-temannya. "Ngapain?" tanya Lukas dengan ketus. Laki-laki itu perlu menunduk selaras dengan Luna yang harus mendongak. "Hnggg ... Eh." Agaknya perempuan itu baru sadar dari kelinglungannya. "Lo ngapain nyamperin gue sama teman-teman gue?" tanya Lukas lagi. "Aku nggak nyamperin kamu sama teman-teman kamu." Luna bergeming sejenak. "Hah? Gimana? Jadi aku nyamperin kamu sama teman-teman kamu?" Luna mengalihkan pandangannya ke kumpulan teman-teman Lukas yang kembali ngebul dengan batang rokok mereka masing-masing. "Jadi sebenarnya lo itu mau ngapain?" "Aku?" Luna menunjuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia juga tidak paham mengapa saat ini dirinya dan Lukas sedang berbicara empat mata. Jujur, ini untuk yang pertama kalinya selama satu tahu belakangan. "Ya elo. Siapa lagi?" "Nggak ngerti. Lupain aja. Aku mau pulang." "Yaudah. Sana." Luna sudah berbalik dari hadapan Lukas. Ia melangkah beberapa meter dengan terus memikirkan kenapa dirinya tiba-tiba merasa linglung. Bahkan ia sempat memukul kepalanya beberapa kali, ia ingat apa yang harus ia lakukan.  Langkah Luna praktis terhenti. Ia mengangkat telunjuknya ke udara saat lampu yang menyala muncul dari dalam kepala. "Nah. Aku baru ingat!" ucapnya pada diri sendiri. Luna memutar badan dan bergegas kembali ke kantin. "Lukas!" teriaknya pada laki-laki itu yang kebetulan belum kembali pada kumpulan teman-temannya. Lukas menengok. Mengetahui bahwa Luna yang memanggil namanya, laki-laki itu mengembuskan napas lelah. "Apa lagi?" "Kita satu tim!" ucap Luna tegas. Lukas mengangkat sebelah alisnya. "Tim apa? Gue males ngurusin politik." Tanpa embel-embel apa-apa lagi, Lukas langsung berbalik dan kembali pada kumpulan teman-temannya, meninggalkan Luna yang masih berdiri di tengah-tengah kantin sendirian. Hanya ada dua pilihan, Luna harus terus mengajak Lukas untuk bekerja sama atau dirinya yang akan berkerja sendirian sedangkan Lukas hanya titip nama. Luna masih memandangi Lukas dari jarak sekitar sepuluh meter. Ia masih bergeming walau beberapa kali tubuhnya tersenggol mahasiswa yang berlalu-lalang.  Lukas menengok ke arah Luna ketika satu temannya memberikan kode bahwa perempuan yang bersama Lukas masih ada di kantin. Lagi-lagi Lukas harus menginjak rokok yang baru saja ia nyalakan. Ia kembali bangkit dan menghampiri Luna. "Ngapain masih di sini?" tanyanya. "Ayo. Gimana?" "Gimana apanya, Lun?!" Lukas sudah memasang wajah sebal karena ucapan Luna yang tidak jelas. "Kita harus ngomong." "Lah. Ini udah ngomong." "Lukas ... kita satu tim di tugas PBA&MP." Lukas kembali mengangkat sebelah alisnya. "PBA ... PB ... apa?" tanyanya tak mengerti. Luna menarik tangan Lukas begitu saja. Tidak ada perlawanan dari Lukas. Sampai akhirnya mereka sudah berada di tempat parkir. Entah kenapa Luna membawa Lukas ke tempat parkir yang cukup panas walau sedang mendung. Mungkin menurutnya tempat parkir terasa lebih menenangkan dari pada kantin. "Mata kuliah pagi ini. Dan kamu nggak masuk, katanya izin sakit. Tapi ternyata kamu malah asyik nongkrong di kantin." "Gue sakit. Tapi tadi. Pas gue sembuh, ya gue berangkat ke kampus." Lukas menjawab apa adanya. "Kenapa nggak masuk kelas?" Luna sudah melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia sekarang terlihat seperti ibu yang sedang memarahi anaknya karena ketahuan membolos. "Emang apa masalahnya? Kenapa lo tiba-tiba sok akrab sama gue?" Ucapan Lukas masih ketus. "Setidaknya kalau kamu masuk kelas, aku jadi bisa ngusulin buat nggak satu tim sama kamu." "Lo juga bisa kan, usul biar nggak satu tim sama gue tanpa ada gue di dalam kelas?" "Bisa. Tapi nanti kamu sama siapa?" Luna malah balik bertanya. Lukas membuang wajahnya sejenak. Ia lalu terkekeh ringan. "Ngapain mikirin gue? Gue bisa sama yang lain. Kalau emang tugasnya harus tim, ya kan nggak mungkin juga gue sendirian." Tanpa Luna sadari, dirinya sudah mengangguk menyetujui perkataan Lukas. "Iya juga, ya. Harusnya tadi aku ngusulin buat ganti tim aja." Ia berguman sendirian. Tetapi gumaman itu masih bisa didengar oleh Lukas. "Udah terlanjur. Mau bagaimanapun juga, lo tetep satu tim sama gue." Lukas berbalik, hendak kembali ke kantin. "Tapi kamu jangan rese." Praktis laki-laki itu berhenti. Ia berbalik dan menatap Luna dengan matanya yang memincing. "Rese? Gue rese? Woah!" Lukas mengedarkan pandangannya ke angkasa lalu turun pada kedua bola mata Luna. "Bahkan kita belum pernah ngobrol sepanjang ini sebelumnya. Lo udah bisa bilang gue rese?" Luna tidak menjawab. Nyali perempuan itu jadi menciut ketika suara Lukas terdengar cukup keras. Lukas menepuk sisi bahunya hingga membuat Luna berjengit. "Semangat ya, buat satu tim sama gue," ucapnya dengan bisikan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Luna sendirian di parkiran.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook