bc

Bahagia itu Bukan Milikku

book_age4+
2.6K
FOLLOW
32.9K
READ
love after marriage
boss
sweet
like
intro-logo
Blurb

Almira tidak pernah menduga jika Alfa, pria yang baru saja dinikahinya satu bulan ini, berkhianat.

Dia mencoba untuk mempertahankan rumah tangganya meski wanita lain yang dinikahi Alfa tidak mau meninggalkan sang suami.

Namun, usahanya itu terhalang oleh kehamilan Nasha, istri lain Alfa, dan kelahiran bayinya.

Sanggupkah Almira melewati cobaan rumah tangganya?

Cover by: Lina Rahayu

Edited by: Canva

chap-preview
Free preview
1. Penolong
“Masih sibuk?” Almira mendongak ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia tersenyum meski terlihat gurat kelelahan di wajah gadis itu. “Lumayan, sudah mau pulang?” Jemari Almira kembali  bergerak lincah di atas keyboard.  “Iya, masih banyak kerjaannya? Butuh bantuan?” tawar Midah. Dia duduk di samping Almira dan ikut mengamati pekerjaan sahabatnya di layar monitor. “Sudah hampir selesai. Makasih,” jawab Almira tanpa menoleh. Dia benar-benar harus menyelesaikan pekerjaan itu hari ini, tetapi tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Jarinya berhenti pada huruf ‘m’ dan membuat seluruh layar penuh dengan satu huruf. Midah yang sedari tadi berkonsentrasi membaca menoleh dan mendapati Almira termenung. “Almira!” Almira tersentak dan mengerjapkan mata bulatnya. Dia berdeham dan sibuk membenahi jilbab segi empat lavendelnya yang tidak berantakan sama sekali. “Ngelamunin apa, sih?” Almira menatap Midah dengan tatapan kosong. Dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. “Kamu sudah dua puluh lima tahun, Nduk, sudah waktunya berumah tangga.” Perkataan Bapak terlintas lagi di kepala Almira.  “Bapakmu betul, bukan cuma sekali dua kali ada orang yang menanyakan tentang kamu, kami harap kali ini kamu benar-benar mempertimbangkan,” timpal Ibu meyakinkan. Almira memandang kedua orang tuanya. Ada binar kebahagiaan di mata mereka dan dia tidak ingin menghapus itu.  “Bapak yakin kami cocok?” tanya Almira hati-hati. Bapak tersenyum dan menepuk punggung tangan anak gadisnya penuh kasih. “Bapak kenal keluarganya, insya Allah kalian cocok.”  Si gadis berparas cantik menghela napas. Dia belum pernah membuka hati untuk pria mana pun. Selama ini dia sekadar berteman biasa. Belum ada pria yang berhasil mengetuk dan membuka pintu hatinya. Hari-hari Almira habis untuk memikirkan masa depan dan pekerjaan. Sebagai anak tunggal dari keluarga sederhana, dia sadar betul jika harus berusaha keras. Tak ada siapa pun yang bisa membantu keberhasilannya kecuali dia sendiri. Sekarang dia sudah menduduki jabatan sebagai manajer keuangan di perusahaan besar dengan gaji yang luar biasa.  Satu hal yang tidak pernah terpikir dalam kehidupannya, pernikahan. Bukan karena Almira tidak ingin menikah, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada orang tua. Dia merasa masih banyak hal yang harus dilakukan untuk membahagiakan mereka. Jika kelak dia menikah, masih bisakah dia berkumpul dengan mereka? Sang suami pasti akan memboyongnya. “Beri Al waktu untuk memikirkan, insya Allah akan Al jawab secepatnya.” “Tentu saja, kami tidak akan memaksa kalau kamu memang merasa tidak cocok,” ujar Ibu. Tetap saja pembicaraan itu membebani Almira. Orang tuanya pasti sudah memikirkan matang-matang tentang perjodohan ini. Mereka tidak mungkin memilihkan orang yang salah. “Almira!” Suara memekakkan telinga membuat Almira kembali tersadar. Kali ini dia menatap Midah yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di d**a dan mata berkilat ngeri. Bukannya takut, dia malah tergelak.  “Kamu enggak cocok marah, jadi enggak usah pasang wajah kayak gitu,” kata Almira geli. Sejenak dia melupakan masalahnya. “Almira Nafisha! Aku lagi enggak pengin ngelucu. Kamu ada masalah, kan?” tembak Midah. Tawa Almira berhenti seketika. Midah memang bukan orang yang bisa dia bohongi. Persahabatan dari kecil membuat keduanya saling memahami. Almira berdeham dan mengatur suaranya. “Gimana pendapatmu tentang perjodohan?”  Midah terbelalak. Dengan tidak sabar dia duduk di kursi dan memegang kedua pundak Almira.“Kamu dijodohin sama siapa?” Almira bersiap untuk menjawab, tapi Midah menyela. “Jangan bohong!” Gadis berjilbab lavendel memutar mata.  “Aku enggak tahu, Mi. Kami belum ketemu.” Midah menyipitkan mata penuh selidik. Dia menurunkan tangan saat tidak menemukan kebohongan di mata Almira. “Aku rasa enggak ada salahnya ketemu dulu, kamu memang butuh pertolongan.” Midah mengangkat tangan ketika Almira ingin protes. “Kamu enggak pernah ngelirik cowok sama sekali. Maksudku ... aku tahu kita ini muslimah, tapi kamu enggak pernah ngasih tanda-tanda suka sama cowok.” “Aku cuma pengin konsentrasi belajar dan kerja. Kamu tahu itu, kan?” “Iya. Aku tahu, tapi sekarang sudah saatnya kamu buka hati. Enggak pengin nyusul aku?” “Baru juga nikah sebulan, sudah sombong,” cibir Almira. “Biar saja, yang penting aku laku duluan.” Almira tertawa pelan. “Aku serius. Kamu harus mulai buka hati.”  *** Almira berkali-kali melirik jam tangan. Sudah hampir Magrib dan dia masih terjebak di jalanan. Seharusnya dia tidak mengobrol panjang lebar dan menelantarkan pekerjaan. Dia berniat menunda pekerjaan sampai besok jika saja sang atasan tidak meminta laporan secara mendadak. Terpaksa dia menyelesaikan detik itu juga. Beruntung tinggal memperbaiki sedikit. Baru kali ini dia tidak bertanggung jawab. Masalah perjodohan itu benar-benar membuatnya kacau. “Lain kali hati-hati ya, Bu.”  Almira menoleh ke sumber suara yang menarik perhatiannya. Ada seorang pria berkemeja hitam yang terlihat sedang menolong seorang ibu. Pria itu membawakan tas belanja si ibu dan membimbingnya berjalan menyeberangi jalan. Diam-diam Almira tersenyum. Ternyata masih ada orang yang memedulikan sesama. Suatu hal yang sangat jarang terjadi. Tanpa sadar gadis itu mengikuti gerak gerik sang pria penolong. Seandainya... “Permisi, lampunya sudah hijau sejak tadi.”  “Hah?” Almira tidak mengerti. Bukankah jalanan masih ramai? Dia hampir melompat dari motor saat melihat tidak ada satu pun kendaraan di kanan kiri. Apa dia terlalu fokus pada sosok berkemeja hitam? Tunggu! Pria berkemeja hitam? Gadis berjilbab itu memastikan penglihatannya masih normal. Sekarang sang pengganggu pikiran berdiri di hadapannya dan memamerkan senyum menawan. “Enggak mau jalan? Nanti ketahuan polisi ribet, lho.” Almira tersentak dan tersenyum kikuk .“Oh, makasih, aku lagi banyak pikiran.”  Ya Allah! Kamu ngomong apa, Al? Kenapa jadi curhat sama si cowok berkemeja hitam, sih? “Enggak masalah.” Pria itu kembali memberi senyum menawan. Almira segera menunduk dan beristigfar berulang kali. Apa yang sedang dipikirkannya? Kenapa dia berani sekali menatap seorang pria. Dia menghidupkan motor maticnya dengan terburu-buru setelah menggumamkan kata terima kasih lagi pada si pria. Entah setan mana yang sedang bersarang di kepala Almira, dia tetap memikirkan pria itu selama sisa perjalanan. Dia tidak tahu bagian mana yang paling ingin diingatnya. Kebaikan si sosok misterius, senyum yang memesona atau wajah tampan miliknya.  Istigfar, Al! Bagaimana bisa kamu memikirkan pria yang hanya sekejap lewat di hadapanmu? Lagi pula, kamu tidak boleh memikirkan pria sampai seperti ini. Kamu tidak memiliki hak untuk memikirkannya. Kamu tahu betul itu. Sayangnya, hati kecil Almira selalu memberontak. Wajah dan senyum si penggoda masih senantiasa bermain-main di kepala. Bahkan ketika dia sudah menginjakkan kaki di teras rumah. Bayangan itu masih setia menggodanya. Almira bukan tipe gadis yang suka membayangkan seorang pria. Terutama pria asing yang belum pernah ditemui. Bapak selalu mengajarkan agar tidak terbuai dengan bujuk rayu makhluk bernama ‘pria’. Masih kata Bapak, pria yang baik akan selalu menjaga wanita, bukan malah mengajak mereka terjerumus dalam lembah kesenangan sesaat yang mungkin akan mereka sesali nantinya. Bapak tidak pernah mengizinkan Almira berpacaran. Ini peraturan utama dan tidak bisa diganggu gugat. Almira sendiri tidak merasa keberatan. Dia memang tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun. Setidaknya untuk saat ini. Akan tetapi, sekarang berbeda. Pria berkemeja hitam itu bagaikan bayangan yang selalu mengikuti ke mana pun dia melangkah. Anehnya, dia menikmati dan merasakan desiran aneh di d**a. Dia tidak akan tersadar seandainya Ibu tidak muncul dan mengingatkannya akan sesuatu. “Bapak sudah menunggumu. Cepat mandi dan salat. Kita ngobrol sambil makan malam.” Almira menghela napas. Apa pun yang akan mereka bicarakan nanti, dia yakin ini ada hubungannya dengan perjodohan itu. Seketika dia merasa lemas. Dia menyeret langkah ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sejenak si pria berkemeja hitam terlupakan begitu saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.6K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Wedding Organizer

read
46.7K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook