bc

The Dangerous Village

book_age18+
452
FOLLOW
2.0K
READ
zombie
powerful
tragedy
bxg
mystery
ambitious
captain
soldier
small town
first love
like
intro-logo
Blurb

Terjebak di sebuah desa yang terisolasi dari dunia luar dan penuh dengan mayat hidup. Kalau kamu yang mengalaminya, bagaimana reaksi kamu?

Hal itu dialami para tokoh di cerita ini, bagaimana cara mereka tetap mempertahankan hidup di saat para mayat hidup layaknya zombie itu melakukan teror, mengincar daging mereka untuk dijadikan santapan.

Sanggupkah mereka memenangkan peperangan ini di saat musuh mereka bukan manusia seperti mereka? Melainkan monster mayat hidup yang sengaja diciptakan oleh pihak tak bertanggungjawab.

Ada juga kisah percintaan antara Mark dan Vita yang terjebak friendzone atau kisah cinta di masa lalu yang kembali bersemi antara Leon dan Josette.

Ikuti kisah mereka yang mengharukan, menegangkan dan penuh teror.

chap-preview
Free preview
CHAPTER 1 VINA DAN CELLA
Tempat itu dilihat dari sudut mana pun hanya sebuah desa. Dengan banyak rumah masih berbentuk gubuk. Meski ada sebuah gedung megah dengan sebuah menara yang menjulang tinggi di bagian pusat desa. Sebuah gedung yang berdiri kokoh dengan cat dominan berwarna putih dan terdapat alat pengeras suara besar di puncak menara.  Di siang hari yang cerah ini, suasana di tempat itu tampak sepi dan mencekam. Jika di desa normal tentunya banyak warga desa yang beraktivitas di saat seperti ini, tidak demikian dengan di desa itu. Desa tampak sepi dan mencekam. Tak terlihat satu pun warganya yang berlalu-lalang di jalan. Rumah-rumah sunyi senyap seolah tak berpenghuni. Desa itu seperti sebuah desa mati yang ditinggalkan penghuninya.  Tapi sayangnya tidak demikian pada kenyataannya. Suara derap langkah kaki mengenakan sepatu besi terdengar menggema dari arah gedung bermenara. Pintu baja yang awalnya tertutup rapat itu mulai terbuka dengan gerakan perlahan. Begitu pintu baja sepenuhnya terbuka, sekumpulan pria bertubuh kekar dan berotot mulai bermunculan. Wajah mereka begitu garang, tak ada senyuman seolah mereka adalah pasukan militer yang diciptakan untuk memberikan teror. Dilihat dari seragam yang mereka kenakan, semakin membuat mereka terlihat mirip dengan pasukan militer terlatih.  Penampilan mereka jika ditilik dengan seksama, terlihat begitu menyeramkan. Wajah yang penuh dengan bekas jahitan. Bahkan ada yang bagian tengkorak kepala yang tampaknya terbelah dan ada bekas disambungkan kembali dengan jahitan. Tatapan mereka semua tajam namun tampak kosong seolah tak ada jiwa yang menempati tubuh-tubuh itu.  Tak lama berselang, begitu satu demi satu pria-pria itu keluar dari gedung bermenara. Tiba-tiba pintu lain gedung terbuka. Kali ini beberapa hewan buas yang dikeluarkan. Badak yang terkenal agresif, harimau dan juga singa yang masih berada di dalam kandang, mulai dilepaskan. Pintu kandang dibuka tepat di depan para pria yang menatap lapar pada hewan-hewan tersebut.  Normalnya hewan-hewan tentu akan langsung keluar dari kandang mereka begitu pintunya dibuka, tapi hal tak biasa terjadi di sini. Hewan-hewan yang terkenal buas, agresif dan selalu menyerang manusia itu justru meringkuk di dalam kandang seolah mereka tak ingin keluar. Namun, begitu para pria itu mendekati kandang spontan hewan-hewan itu pun berlarian, tampak mencoba melarikan diri dari sekumpulan makhluk menyerupai manusia yang ingin menerkam mereka.  Hewan-hewan malang itu berlarian secepat yang mereka bisa. Namun, kecepatan berlari para pria itu rupanya tak bisa dianggap remeh. Mereka berlari begitu cepat hingga dalam hitungan detik berhasil mengepung para hewan. Pria-pria bertubuh kekar itu menyergap para hewan, mengeroyok mereka hingga hewan-hewan malang tak memiliki jalan untuk melarikan diri.  Ada beberapa hewan yang mencoba melakukan perlawanan seperti badak yang memanfaatkan culanya untuk menyeruduk sang musuh. Harimau yang melompat lalu menyerang dengan cakarnya. Tak ketinggalan singa yang mengaum kencang lalu mencoba menyerang dengan menancapkan taring-taring tajam mereka pada sekumpulan pria yang mengerumuninya. Dan hasilnya nihil, upaya para hewan untuk menyelamatkan diri tak membuahkan hasil apa pun karena pada akhirnya serangan mereka tak ada yang mampu menghentikan para pria itu. Dalam sekejap para hewan itu berhasil tertangkap. Mereka dikerumuni, tubuh mereka mulai digigit, kulit mereka dikuliti, daging mereka dikoyak. Para hewan malang dianiaya sebelum kehilangan nyawa, menjadi santapan para pria yang memakan mereka hidup-hidup.  Beberapa pria mengenakan jas putih khas dokter berdiri di pusat menara, menyeringai puas melihat perburuan di luar gedung melalui layar monitor besar.  “Luar biasa, mereka menakjubkan. Monster-monster ciptaan kita itu sepertinya sudah siap dilepaskan,” ucap seorang pria paruh baya memakai kacamata. “Tidak. Ini belum cukup. Kemampuan mereka belum benar-benar terasah. Kita harus lebih keras melatih mereka sampai siap untuk dilepaskan. Jumlah mereka juga masih belum cukup. Kita harus terus menambah jumlah mereka.” “Aku pikir jumlah mereka cukup banyak, Dok.”  Pria yang dipanggil dokter itu mendengus keras, “Jelas ini belum cukup. Kita harus menciptakan mereka lebih banyak lagi. Karena itu, suruh anggota kita untuk lebih cepat mengumpulkan mayat agar kita bisa bergerak cepat dan jumlah mereka juga semakin cepat bertambah.” “Aku sudah memerintahkan itu pada anggota kita, menyuruh mereka bergerak lebih cepat.” Sang dokter mengangguk, “Bagus. Memang begitu seharusnya. Bekerja dengan cepat.” Tatapan sang dokter kembali tertuju pada layar yang menampilkan jasad-jasad para hewan hanya menyisakan tulang belulang. “Perburuan hari ini sudah berakhir. Perintahkan mereka kembali ke markas!” “Siap, Dok!!”  Dan suara sirine pun mengalun keras dari arah puncak menara. Para pria berbadan kekar itu seketika menghentikan aktivitas makan mereka. Mereka menatap ke arah pengeras suara lalu bagai kerbau yang dicocok hidungnya, mereka berjalan serempak memasuki gedung.  “Dok, ada satu harimau yang berhasil melarikan diri ke hutan.”  Sang dokter menoleh pada salah satu bawahannya yang baru saja memberikan laporan. “Inilah maksudku mereka masih perlu diasah dan dilatih lagi. Mereka masih belum mampu menangkap semua buruan mereka,” kata dokter itu pada rekannya yang memakai kacamata. “Ya, kau benar, Dok. Sepertinya mereka memang belum siap.” Sang dokter mengangkat kedua bahunya, “Begitulah. Mulai besok, latih insting mereka agar lebih kuat dan teliti lagi!” “OK. Akan kulakukan seperti permintaanmu, Dok.”  “Dok, bagaimana dengan harimau itu? Haruskah kita menangkapnya?” Begitu pertanyaan dari bawahannya tadi kembali merasuki gendang telinganya, sang dokter menyeringai lebar, “Tidak perlu. Dia akan menjadi santapan monster lain di dalam hutan.”  Dan yang dikatakan sang dokter benar adanya karena beberapa menit kemudian terdengar suara auman sang harimau lalu disusul suara lolongan para monster yang mengejarnya.  Ya, itulah desa para monster yang dibatasi benteng luar biasa tinggi untuk melindungi tempat itu dari dunia luar. Sebuah tempat menyerupai desa yang terisolasi dari dunia luar, sebuah tempat penelitian untuk menciptakan monster bernama mayat hidup. ***  Sekumpulan orang memenuhi sebuah ruangan. Ruangan yang cukup luas dan tenang, serta dipenuhi fasilitas yang nyaman. Beberapa orang dengan pemikiran mereka masing-masing duduk dalam diam dalam ruangan itu. Beberapa orang pula berdiri dengan berbagai kegiatan. Tak banyak dari mereka yang berbincang-bincang, sebagian besar hanya terdiam dengan entah pemikiran apa yang memenuhi kepala mereka, hanya mereka yang tahu. Sebuah gerakan serempak mereka lakukan ketika seorang pria memasuki ruangan. Semua orang di dalam ruangan dengan serempak melihat ke arah pria itu. "Michael Clark ... Giliran anda untuk tampil," ucap pria itu dan beberapa menit kemudian seorang pria dengan membawa sebuah benda di tangan, menghampirinya. Tak lama mereka berdua pun berjalan meninggalkan ruangan. Semua orang pun kembali dengan aktivitas masing-masing. "Hai, apa kau gugup?" Gumam seorang gadis kepada seseorang yang tengah duduk di sampingnya. "Begitulah. Bagaimana denganmu?" Ucap seorang gadis untuk menjawab pertanyaan rekannya. “Aku, tidak. Semuanya pasti baik-baik saja. Kita sudah sering berlatih. Kau tenang saja." Kini hanya sebuah anggukan yang diberikan gadis itu. Suasana kembali hening di antara mereka berdua. Semua orang yang berada di ruangan memang nyaris tak mengeluarkan suara seakan-akan mereka memahami keinginan setiap orang. Dalam situasi seperti ini suasana tenang memang sangat dibutuhkan. Seiring berjalannya waktu, satu persatu dari mereka meninggalkan ruangan, tentu setelah nama mereka disebutkan oleh seorang pria yang selalu datang ke ruangan untuk memanggil  mereka. Mungkin memang seperti itulah tugasnya, memanggil setiap orang yang telah tiba pada gilirannya untuk tampil. Sekumpulan orang yang berada di dalam ruangan nyaman itu kini berkurang setengahnya. Pria itu kembali memasuki ruangan, hal yang sama kembali terulang setiap kali melihat sosok sang pria. Semua pasang mata menatap ke arahnya dengan raut wajah yang menantikan sebuah nama terlontar dari mulutnya. "Jovina Petrova dan Marcella Donovan .. giliran kalian untuk tampil," ucapnya yang tentu saja membuat kedua gadis yang namanya disebutkan berjalan menghampirinya. "Vina, apa kau masih gugup?" "S-Sedikit," jawabnya "Tenanglah. Bermain saja seperti biasanya. OK?" Gadis bernama Vina hanya tersenyum mendengar rekan sekaligus sahabatnya yang mencoba menenangkannya. Vina selalu merasa kagum pada Cella yang selalu terlihat ceria dalam keadaan apa pun, tampaknya itulah yang ada dalam pikiran Vina saat ini. "Perlengkapannya sudah kami siapkan. Silahkan memulai pertunjukannya." "Terima kasih!!" Ucap Vina dan Cella dengan serempak pada pria yang membawa mereka ke tempat itu. Ke sebuah tempat yang sangat jauh berbeda dengan ruangan tadi. Meskipun Vina dan Cella belum menginjakkan kaki ke tempat itu, namun kebisingan telah terdengar, seakan-akan mereka akan memasuki sebuah tempat di mana semua pasang mata akan menatap mereka dan tak sabar menantikan penampilan mereka. Sebenarnya memang seperti itulah keadaan tempat itu. Begitu Vina dan Cella berjalan memasuki ruangan yang jauh lebih luas dari ruangan tempat mereka menunggu tadi, semua orang bertepuk tangan. Keramaian itu seharusnya akan membuat perasaan gugup yang sajak awal dirasakan Vina kini semakin besar. Terlihat jelas dari langkah kakinya dengan wajah tertunduk, perasaan Vina yang berkecamuk saat ini. Sebuah perasaan gugup, takut dan khawatir bercampur menjadi satu. Namun berbeda dengan Cella, dia tampak bersemangat dan meskipun kedua kakinya sedang melangkah tatapan sepasang matanya tertuju pada banyaknya orang yang tengah duduk memenuhi tempat itu. Dengan pergolakan rasa di dalam hati, Vina tetap melangkahkan kaki menuju tujuannya. Dia pun menghentikan langkah dan duduk pada sebuah kursi kecil yang memang disediakan untuknya. Semua pergolakan rasa di dalam hatinya sempat membuat Vina tak sanggup menggerakkan kedua tangan, bahkan nyaris seluruh bagian tubuhnya terasa begitu kaku. Akan tetapi, sosok Cella yang berdiri tepat di depannya dengan posisi kedua tangan yang bersiap memainkan biola, membuat semua perasaan yang terus bergejolak di dalam hati Vina mulai mereda. Tak seharusnya penampilan mereka hari ini gagal hanya karena perasaannya yang tak menentu, tampaknya itulah yang dipikirkan Vina saat ini. Dengan berbagai ingatan yang tiba-tiba terlintas di pikiran Vina, sebuah ingatan ketika mereka berlatih dengan sangat keras demi hari ini. Demi hari di mana mereka akan menampilkan sebuah pertunjukan di depan semua orang yang menonton. Mereka akan memperlihatkan kemampuan mereka dalam bermain musik dan berkolaborasi menciptakan sebuah lagu yang merdu untuk didengar. Beruntunglah Vina karena ingatan itu sempat terlintas di pikirannya dan kini dia mampu menggerakkan kedua tangannya kembali, tubuhnya mulai rileks dan tak lagi segugup tadi. Jari jemarinya perlahan namun pasti mulai menari di atas tuts-tuts piano, musik pun mengalun dengan merdu. Musik itu semakin terdengar berirama begitu Cella memainkan biola. Perpaduan irama dari permainan piano Vina dan biola Cella menciptakan sebuah keharmonisan musik yang sangat memanjakkan telinga. Irama lagu Amazing Grace mengalun dalam ruangan yang sangat luas itu, membuat semua orang yang tengah mendengarkannya terdiam untuk sesaat, menikmatinya. Vina dan Cella terhanyut dalam permainan mereka membuat lagu itu tak terasa telah tiba pada puncaknya. Permainan mereka sangat menakjubkan hari itu tanpa sedikit pun kesalahan. Mereka pun mengakhiri lagu yang mampu menyayat hati setiap pendengarnya itu dengan sempurna. Suara tepuk tangan yang saling bersahutan menjadi penanda bahwa mereka telah menampilkan sebuah pertunjukan yang luar biasa dan berhasil memukau setiap orang yang menyaksikannya. Langkah kaki kedua gadis itu tampak ceria meninggalkan panggung pertunjukkan, tentu saja karena hasi daril perjuangan keras mereka berbuah sangat manis. Semua ketakutan yang sempat dirasakan Vina kini lenyap entah ke mana, hanya kelegaan yang kini memenuhi baik hati ataupun pikirannya. Tak ada yang tak mengharapkan sebuah kemenangan dalam pertandingan, tentu hal itu pun dirasakan oleh Vina dan Cella. Akan tetapi, bagi mereka berhasil menampilkan sebuah pertunjukan yang luar biasa dan membuat penonton merasa puas dengan penampilan mereka pun sudah sangat membuat mereka senang. Tampaknya hari itu merupakan hari keberuntungan mereka, sekali lagi mereka merasakan sebuah kegembiraan yang teramat besar ketika hasil akhir pertandingan itu diumumkan. Ya, sebenarnya mereka tidak hanya menampilkan sebuah pertunjukan saja namun mereka tengah mengikuti sebuah kompetisi di mana semua peserta yang mengikuti kompetisi itu jelas para seniman yang kemampuannya telah diakui. Setidaknya mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam musik sehingga mereka memberanikan diri untuk mengikuti ajang perlombaan musik bergengsi itu. Nama Vina dan Cella sangat jelas terdengar ketika pembawa acara mengumumkan pemenang dari perlombaan itu. Memang mereka tidak berhasil mendapatkan peringkat pertama, namun mendapatkan peringkat kedua dalam perlombaan musik bergengsi seperti itu tentu saja membuat mereka merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Sejak lama mereka berdua ingin mengikuti perlombaan ini, hari ini keinginan mereka untuk pertama kalinya mengikuti kompetisi musik menjadi kenyataan. Hasil yang mereka peroleh pun mengagumkan meskipun tak sepenuhnya impian mereka telah terwujud. Siapa yang tak memiliki impian untuk menjadi juara dalam sebuah perlombaan? Tentu itu pun yang menjadi impian Vina dan Cella. Dengan menjadi juara kedua setidaknya mereka merasa sebagian impian mereka telah tercapai. Inilah kisah Jovina Petrova dan Marcella Donovan, sebuah persahabatan yang indah dengan dipenuhi perjuangan berat yang harus mereka hadapi bersama. Hari ini mereka merasa seluruh alam mendukung mereka dan kebahagiaan tengah mereka rasakan. Namun, tak ada satu pun manusia yang mampu mengetahui kehidupan mereka selanjutnya. Begitu pun dengan Vina dan Cella, mereka tak akan mengetahui bahwa sesuatu yang mengerikan harus mereka lalui. Dan kisah mereka pun di mulai.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K
bc

JANUARI

read
37.1K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU

read
4.1K
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M
bc

Marriage Aggreement

read
80.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook