bc

FATED (Bahasa Indonesia)

book_age16+
2.9K
FOLLOW
39.3K
READ
fated
CEO
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

RYSTA

Aku hampir genap dua-puluh-empat tahun. Kemampuanku adalah membaca pikiran seseorang dan hal ini sudah menjadi turun menurun di keluargaku. Awalnya cukup menyenangkan, karena aku bisa mengontrol kemampuanku. Anehnya, kemampuanku tiba-tiba saja aktif di saat aku akan berciuman dengan kekasihku. Di situlah aku baru mengetahui perselingkuhannya.

Lalu, siang itu di bawah tangga darurat. Pria aneh itu datang dan membuatku terkejut karena aku tidak bisa membaca pikirannya. Pria itu berbeda. Dia mengubahku.

SEN

Beberapa bulan lagi aku genap dua-puluh-empat tahun, artinya aku harus segera menemukan gadis kecilku. Meskipun kejadian itu sudah sembilan-belas tahun yang lalu, tapi aku sama sekali tidak bisa melupakan janji di antara kami. Itulah alasan kenapa aku tidak membantah saat orang tuaku menyuruhku ke Indonesia.

Tapi siang itu, di bawah tangga darurat, aku menemukan wanita aneh menangis sendirian. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku melupakan tujuan awalku. Wanita itu berbeda. Dia mengubahku.

chap-preview
Free preview
PROLOG
CHRYSTAL “Kamu cantik, baby,” bisiknya tepat di telingaku. Hatiku menghangat dan langsung menjalari seluruh wajahku setiap kali mendengar pujian-pujiannya. Sayangnya, aku hanya membalasnnya dengan kekehan pelan. Regan, kekasihku menarik tubuhnya menjauh. Tatapannya mengunciku, sementara tangannya berpindah pada pipiku untuk diusapnya. Caranya yang seperti ini selalu membuatku bangga menjadi kekasihnya. Dia memujaku, aku tahu itu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sementara aku masih setia berada di kantor bersamanya. Regan, penerus tunggal RX Group, sebuah perusahaan yang bekerja di bidang properti. Awalnya aku mendatanginya karena memang kami berniat untuk mendiskusikan klien barunya, seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun, namun penuh wibawa. Mendengar hal ini, banyak orang yang salah sangka dan mengira aku sekretarisnya, padahal aku memiliki pekerjaan khusus. Aku punya ruanganku sendiri, tapi sayangnya aku tidak memiliki anak buah seperti yang lainnya. Sebenarnya pekerjaanku ini rahasia dan semua terjadi karena keputusan sepihak Regan, tanpa memedulikan seluruh dewan direksi. Banyak cemooh yang kudengar karena mengira Regan memperkejakanku karena aku kekasihnya, tapi semua yang mereka pikirkan salah. Di perusahaan ini aku bertugas secara khusus sebagai ketua penasehat Regan. Ya semacam asisten, tapi kurasa aku tidak bekerja semelelahkan asisten. Jadi sebenarnya ini adalah rahasia kecilku. Dulu Regan tidak pernah mengetahui hal ini, tapi ketika kepercayaanku padanya telah terbangun kokoh, aku tidak lagi menutupi apa pun darinya. Tanpa kusadari, aku mulai menceritakan kepadanya, kenapa aku bisa tahu jika dia menginkan makanan tertentu tanpa perlu bertanya padanya atau ketika dia butuh seseorang untuk bercerita, namun terlalu sulit mengungkapkannya dengan kata-kata. Aku juga dengan mudah tahu apa yang dia pikirkan, karena sebenarnya aku bisa membaca pikiran seseorang. Kemampuanku ini tidak mengharuskanku menatap mata lawan bicaraku untuk mengetahui isi pikirannya. Semua isi kepala mereka, semua ceomohan, semua kegembiraan mereka, semua kesedihan mereka seolah berbisik di telingaku. Terdengar sedikit mengerikan awalnya, tapi berkat latihan selama bertahun-tahun, aku bisa memilih siapa yang ingin aku dengar dan siapa yang tidak. Karena kemampuanku inilah, Regan memintaku untuk membantunya dan bekerja secara professional di perusahaannya. Aku digaji olehnya sesuai kemampuanku dan tentu saja tidak mencampuradukan hubungan khusus kami saat jam kerja. Tapi harus kuakui, kami jarang bertemu, karena aku juga bekerja dengan yang lainnya untuk memenangkan tender. “I love your laugh, baby,” bisiknya sekali lagi sembari mengusap pelan bibirku dengan ibu jarinya. Senyumku tersungging semakin lebar mendengarnya. Secara perlahan kepala Regan menunduk dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ketika bibirnya sudah tinggal beberapa senti lagi bibirku. Otomatis aku memejamkan kedua mataku dan tanpa kusadari kemampuanku membaca pikiran terbuka begitu saja. “Jessica.” Sebuah suara berbisik di telingaku. Suara yang begitu kukenal sebagai milik Regan, sontak membuat mataku terbuka. “Jessica,” bisikan itu terdengar kembali. Bahkan berulang-ulang. Padahal saat ini Regan tengah memejamkan mata, bersiap untuk menciumku. Refleks aku mendorong tubuh Regan menjauh. Kedua matanya melebar, terkejut dengan perbuatanku. Aku menghela napas dalam saat mendengar bisikan geram dari kepalanya. Hanya saja, aku berusaha tidak terpengaruh dan memberikannya seulas senyum tipis. “Aku ingin ke kamar mandi, Re.” Bergegas, aku menuruni meja kerjanya seraya mengambil tas kerjaku yang berada di salah satu kursi. Bisikan nama Jessica sudah tak lagi terdengar, itu artinya Regan sudah tidak memikirkan gadis itu, tapi kini kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan dan ketakutan. “Kenapa harus membawa tas?” tanyanya. “Masalah wanita, you don’t wanna know, sir,” balasku tanpa menoleh padanya dan terus berjalan keluar ruangannya. Aku menghela napas lega. Walaupun kegelapan di sini terlalu pekat, tapi aku sama sekali tidak takut. Keheningan yang terasa menandakan sudah tidak ada lagi orang di sekitar, aku bebas meluapkan perasaanku saat ini. Tuhan, rasanya aku ingin menangis mengetahui hal buruk ini, maksudku mengetahui kekasih yang ingin menciumku tapi wanita lain lah yang berada di dalam pikirannya. Jessica, Aku mendesahkan nama wanita itu. Aku mengenal wanita itu sebagai sekertaris pribadi Regan dan tentu saja dia memiliki porsi yang lebih banyak untuk bertemu Regan setiap harinya. Wanita sinis, namun sangat cantik, anggun, seksi dan juga pintar adalah kelebihannya. Regan bahkan sering memujinya tanpa dia sadari. Itulah alasan, kenapa aku selalu mematikan kemampuanku untuk membaca pikiran Regan ketika kami sedang berkencan, tapi malam ini kemampuan itu tiba-tiba menyala begitu saja dan kebenaran ini membuatku sedih. Ketika Aku hendak memasuki kamar mandi, sebuah suara lain berbisik di telingaku. Tubuhku terhenti di depan pintu kamar mandi. “Rysta, Rysta, apa hebatnya sih wanita itu daripadaku hingga Regan masih mempertahannya? Gadis sialan! Apa yang mereka lakukan di dalam ruangan Regan sekarang, astaga! Tapi … tidak masalah, setidaknya setelah wanita itu pergi, kami bisa berdua saja dan menghabiskan malam ini bersama.” Aku menahan napas saat menyadari bahwa itu adalah Jessica. Ternyata wanita itu masih berada di sini dan menunggu Regan. Aku membatalkan niatku ke kamar mandi dan memilih berbalik menuju pantri yang terletak tidak jauh dari toilet. Sebuah sofa merah besar menyambutku ketika aku membuka pintu pantri. Kakiku berjalan dengan sendirinya menuju sofa tersebut. Lampu ruangan sengaja tidak kunyalakan, agar tidak ada yang mengetahui aku berada di sini. Aku butuh sendirian dan memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Tanpa sadar air mataku meleleh ketika memikirkan bahwa pria yang begitu kupercayai sekarang telah mengkhianatiku seperti ini. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu membenamkannya di atas cushions sofa. Aku menangis sejadi-jadinya, hingga jatuh tertidur setelahnya. ***** CHRISEON Akhirnya, aku di kantor baruku. Setelah rapat panjang yang Dad adakan untuk memperkenalkanku secara resmi kepada seluruh direksi. Secara resmi, aku menggantikan Mr. Rafe menjadi Direktur utama Cabang dari FAL Hotel di Jakarta. Mr. Rafe sendiri sudah saatnya pensiun jadi itu alasan kuat mengapa aku harus menggantikan beliau dan sebab khusus lainnya yang membuatku terdampar di kota ini. Jakarta, desisku pelan sembari menerawang jauh pada jendela besar di hadapanku. Sekarang sudah malam dan aku malas sekali pulang ke rumah, apalagi dari sini aku bisa melihat kemacetan parah di luar dan menyita banyak waktu berhargaku. Lagi pula, kedua orang tuaku sudah kembali ke London dan yang tersisa hanyalah adik kembarku saja. “Sen!” teriakan seseorang menyentakku kembali kedunia nyata. Crysant atau biasa kupanggil Sant adalah saudari kembarku. Dia berdiri di depan pintu sembari berkacak pinggang. Ekspresinya terlihat bersedih, maka mau tidak mau aku akan segera menjadi pendengar yang baik untuknya. Aku menatapnya seolah tanpa minat, tapi bukan berarti aku tidak suka mendengarnya. Walaupun kami lebih sering adu mulut, hingga bertengkar hebat, tapi kami selalu jujur dan bercerita apa pun kepada satu sama lain. Begitulah caraku dan Sant untuk saling menyayangi. Sant berjalan pelan dan mengambil duduk tepat di kursi kebesaranku. Senyum pedih terukir di wajahnya, sementara aku hanya bisa menghela napas sedih saat dia hanya diam dan turut mengikutiku menatap ke jendela besar di balik punggungku. “There’s something wrong, Sant?” tanyaku pada akhirnya. Keheningan panjang dengan Sant bukanlah gaya kami. Untuk beberapa saat Sant masih terdiam, tapi kemudian barulah dia menolehkan. Sikapnya yang seperti ini benar-benar membuatku kesal, tidak bisakah dia langsung mengatakan apa yang dia rasakan saat ini? Sayangnya, aku masih cukup sabar untuk menunggunya berbicara. “Aku memutuskannya barusan,” ucapnya pada akhirnya. Alisku mengernyit. Apakah Sant benar-benar serius dengan perkataannya? Setahuku, Lou dan Sant saling mencintai. Mereka dulunya bersahabat dan berakhir menjadi sepasang kekasih dengan cara yang tidak mudah. Banyak orang di sekitar Sant dan Lou yang harus patah hatinya demi kebersamaan mereka. Tampak egois memang, tapi sebenarnya mereka mencoba untuk saling jujur dan membahagiakan orang yang mereka cintai dengan menyakiti orang lain. “Kenapa kamu memutuskannya, sister?”  “Kamu tahu, aku sangat mencintai Lou bahkan aku rela melakukan apa pun untuk membuatnya bahagia. Berpisah dengannya juga adalah caraku agar dia bisa menemukan orang lain yang bisa selalu berada di sisinya, bukan malah terpisah jarak ratusan ribu kilo meter, benua, lautan bahkan perbedaan waktu tujuh jam lamanya!” Sant tertawa sinis, tanpa dia sadari air matanya turut mengalir begitu saja. Aku menghela napas dalam, lalu segera beranjak mendekati salah satu wanita yang paling kucintai. Aku berlutut di hadapannya, dan meraih wajah yang sama persis dengan wajahku namun dengan versi wanita. Mata Sant terfokus padaku, air matanya terus mengalis deras. “Jangan menangis,” bisikku padanya. “I hate when I see you cry, Sant.” “Aku mencintainya, Sen.” “I know.” Aku segera memeluknya erat, lalu mencium keningnya sayang. Masalah hati Sant membuatku merasa konyol karena tidak bisa membantunya. Apalagi air matanya yang terus mengalir menambah panjang keburukanku sebagai kakaknya. Bagiku, Mom dan Sant adalah wanita yang paling aku cintai dan tangisan keduanya adalah hal tidak boleh terjadi di depanku. Tiba-tiba ingatan seorang gadis kecil memenuhi kepalaku. Aku ingin sekali mencarinya, hatiku masih penasaran dengannya, apakah aku mencintainya atau tidak? Tapi karena dia lah, aku tidak bisa memandang wanita lain, selain bayangan gadis kecil bergaun putih yang memberikanku sebuah kalung berlionti kunci ini. Sant melepaskan pelukanku. Dia menatapku dalam dengan mata merah dan sembabnya sembari mengusap pelan wajahku. Kedua matanya jatuh pada liontin kalungku yang berbentuk seperti kunci kecil. Tiba-tiba tangan Sant meraih liontin tersebut, lalu menggenggamnya kuat. “Cari dia,” bisiknya. “Walaupun kamu tidak pernah mengatakan siapa pemilik liontion ini, tapi aku tahu gadis inilah yang menjadi kunci jawaban kenapa kamu langsung setuju untuk kembali ke Indonesia, meskipun kamu membenci kemacetan dan suhu panas di sini.  Cari dia!” Aku mengangguk pelan. “I will,” bisikku padanya. “Tapi mencarinya tidak akan semudah itu, karena ingatanku padanya sudah kabur, kecuali satu hal dan itu sama sekali tidak membantuku, Sant.” “Goodluck, brother. Aku menyayangimu dan aku tahu kamu pasti bisa menemukannya.” Sant tersenyum beberapa saat dan memberiku sebuah kecupan di pipi. “Terima kasih.” Aku kembali memeluknya erat sembari mencium keningnya. Sekitar lima belas menit kemudian, Sant pergi dari hotel. Penampilannya memang masih menyedihkan, apalagi mata merah dan sembabnya. Untung saja kacamata hitam berhasil menyembunyikannya, meskipun cukup aneh mengenakan kacamata hitam malam-malam seperti ini. Aku mengela napas dan kembali beranjak mendekati jendela besar. Malam sudah semakin larut. Bukan malah semakin sepi, jalanan di luar sana semakin ramai dan lampu-lampu gemerlap mulai menghiasi seluruh penjuru kota ini. Tanpa sadar aku menatap pantulan diriku di jendela, kalung yang kukenakan seolah memantulkan cahaya yang membuat liontinnya tampak terlihat jelas di jendela. Aku meraih liontin tersebut dan memainkannya dengan jariku. “Empat belas tahun menunggu, apakah kita akan bertemu lagi?” Aku meringis menyadari empat belas tahun yang tidak pasti ini. “Ketika akhirnya aku menemukanmu? Lalu setelah, apa yang harus kulakukan?” *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

HYPER!

read
556.9K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Bad Prince

read
508.8K
bc

His Secret : LTP S3

read
647.3K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
114.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook