bc

Di Balik Niqab 2

book_age0+
3.1K
FOLLOW
33.6K
READ
family
love after marriage
second chance
drama
tragedy
sweet
EXO
like
intro-logo
Blurb

[Hanya TULISAN dari SEORANG PENULIS BIASA, TIDAK SEMPURNA, BANYAK CACATNYA. TANDA BACA TIDAK SEMPURNA. MASIH BANYAK KESALAHAN]

Romance - Spiritual

[Bagi yang penasaran silakan baca, tapi bagi yang hanya ingin membaca Di Balik Niqab pertama tidak masalah.]

Aku tidak bisa seperti Ali dan Fatimah yang pandai menjaga cinta hingga setan pun tidak tahu kalau mereka saling mencintai.

Aku hanya ingin seperti Khadijah, yang menyatakan cintanya langsung lewat sahabat pada Muhammad.

Aku tidak bisa bertahan dalam zona cinta yang terpendam.

Sebab aku masih sangat mencintainya. Dari dulu, hingga sekarang.

?Diwajibkan baca dahulu Di Balik Niqab yang pertama.?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Teman Pertama Abyan
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Satu, dua, tiga wanita yang memasang kain tipis demi menutupi wajah yang telah Allah anugerahi dengan sedemikian indah, melewati mata pria di balik kacamata minus yang tengah memakai sepatu di selasar masjid. Kerudung panjang mereka berkibar, seolah sedang menerbarkan pesona kaum muslimah yang taat nan salihah. Tidak ada yang menarik, warna gamis dan khimar pun gelap, tapi itu semua sudah membuktikan, betapa pandainya mereka dalam menjaga perhiasannya. Iya, perhiasan itu adalah wanita salihah. Mereka membantu para kaum adam untuk senantiasa menundukkan pandangan. Mereka sadar, kecantikan itu patut dijaga, sebab kecantikan yang dia miliki berasal dari Allah subhanahu wa ta'ala, bukan dari dirinya sendiri. Maka dari itu, sudah sepantasnya mereka jaga, bukan dibiarkan dan dinikmati banyak orang secara gratisan. Jadikan cantik itu amanah. Menjadi mahal itu kadang diperlukan. Entah mengapa, ada rasa kebahagiaan tersendiri ketika pandangannya bertemu dengan wanita yang pandai menjaga diri itu. Seperti biasa, satu senyum yang ia sungging adalah satu ungkapan rindu yang tak akan pernah menemukan tepi. Dulu dia tidak seperti ini. Dulu dia anti wanita yang selalu menutup wajahnya dengan kain hitam atau warna lainnya. Bahkan ada salah satu wanita berniqab yang mengatakan padanya, anggaplah wajah yang ia sembunyikan adalah rupa yang amat buruk dan tidak menggairahkan. Makannya ditutupi. Ah, wanita itu berbohong. Ternyata dia menyembunyikan banyak sekali kejutan. Dia pelit? Ya, bagi yang belum mengenalnya pasti akan berpikir demikian. Dia pelit. Dia sombong. Dia tertutup. Tidak asyik. Tapi itu semua dilakukan hanya untuk menjaga diri. Semua yang ia miliki, hanya boleh dipamerkan pada orang spesial, istimewa, dan benar-benar berhak melihat dan menikmati. Iya, sekali lagi. Dulu pria itu tidak seperti ini. Dulu dia anti islam. Salah satu agama yang pernah ia sebut sebagai agama so suci. Agama yang begitu ia ragukan ajarannya. Bukan hanya itu, ia juga meragukan Tuhannya. Tapi sekarang, dia merasa malu. Kalau bukan karena Tuhan, belum tentu kakinya masih bisa berpijak di tanah. Kalau bukan karena Tuhan, belum tentu matanya masih bisa melihat keindahan langit biru yang kerap dihiasi awan-awan putih. Sebuah perpaduan warna yang menghasilkan pemandangan menakjubkan. Kadang, orang-orang melupakan itu, sibuk mencari lukiasan mahal buatan manusia. Sibuk berangkat ke luar negeri membeli tiket pesawat, demi melihat pemandangan salju di negara gingseng, sunset di menara eiffel, dan musim semi di London. Kalau bukan karena Tuhan, belum tentu bibirnya masih bisa merapalkan zikir-zikir dan membaca ayat suci Al-Quran. Kalau bukan karena Tuhan, belum tentu telinganya masih bisa mendengarkan azan dan lantunan ayat suci yang merdu. Kalau bukan karena Tuhan, belum tentu ia masih hidup, dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dilakukan. Kalau bukan karena Tuhan, belum tentu mata, mulut, telinga, masih bisa berfungsi. Ia paham, Tuhan memberinya umur karena semata-mata ingin memberikan kesempatan pada hamba-Nya untuk lekas bertaubat. Sosok kecil dan mungil duduk di sebelah ayahnya. Matanya yang bulat mengikuti arah pandang sang Ayah dengan tampang ingin tahu. "Ayah ingin menjadikan salah satu dari mereka istri?" "Tidak, Ayah tidak akan melakukan itu. Bagi Ayah, bunda Aiza tidak akan pernah tergantikan." Angin menerpa wajah keduanya, rambut Abyan yang ikal tertiup ke atas, cuping hidungnya menghirup udara. Ada rasa sedih yang diam-diam menelusup ke relung hati, dan jika dibiarkan rasa itu akan menggumpal sebesar gunung. Gunung harapan. Asa. Dan manifestasi kerinduan akan sosok malaikat tanpa sayap. Namun gunung itu siap hancur terbelah dua ketika nanti dia benar-benar tidak akan pernah memiliki wanita yang akan mengakui dia sebagai putranya. Ayah tidak akan pernah mau menikah lagi. Ayah tidak akan pernah mau menikah lagi. Itu artinya Abyan tidak akan pernah merasakan belaian kasih sayang seorang Ibu. Tangan halus nan menyejukkam tidak akan pernah mampir di pipi dan pucuk kepala. Tidak akan ada nyanyian ninabobo yang berasal dari suara merdu dari seorang Ibu yang senantiasa menjaga tidur anaknya sepanjang malam. Tidak akan ada panggilan 'putraku, kemarilah, Ibu membelikanmu banyak sekali mainan.' 'Abyan, bagaimana di sekolah? Apakah kamu betah belajar di sana?' 'Abyan, apakah teman-temanmu menyayangimu?' Semuanya hanya tinggal harapan, sebab cinta Ayah pada bunda Aiza tidak akan pernah tergantikan. Sekali lagi, semuanya hanya tinggal angan. Sebab ayahnya tidak mau menikah lagi dan memberikan ibu baru. Abyan bingung. Dia ingin ada Ibu. Tapi dia juga mengerti dengan perasaan Ayah yang kerap bersedih ketika mengingat istri tercintanya. "Abyan, apakah kamu menginginkan seorang Ibu?" "Tidak Ayah, Ayah saja sudah cukup untuk membuat hidupku sempurna." Hanya kalimat itu yang Abyan lontarkan setiapkali Mario bertanya demikian. Kalimat penuh kebohongan, yang menimbulkan rasa sedih di hati. Yang menukik hingga bagian dalam. Yang perlahan-lahan membunuh harapan seorang anak kecil yang begitu membutuhkan makhluk berhati lembut bernama perempuan, keturunan Hawa sang istri nabi Adam. Sampai sekarang Mario tidak pernah tahu kalau Abyan sedang berbohong. Mario pasti tersenyum ketika mendengar jawaban Abyan. Tanda ia bahagia dengan jawaban putra kecilnya itu. Entah Mario yang tidak peka, atau Abyan yang terlalu pandai menyembunyikan tabir hati. Bagi Mario, Abyan adalah prioritas utama. Di waktu pagi dia sudah sibuk menyiapkan segala keperluan Abyan. Menyiapkan pakaian, merapikan rambutnya, mengecek perlengkapan sekolah di tas Abyan, dan sarapan sama-sama di meja makan. Hari ini adalah hari pertama Abyan masuk sekolah taman kanak-kanak. Pekerjaan Mario pun bertambah---mengantar jemput Abyan di sekolahnya tanpa memakai perantara sopir. Eliza sudah memberi saran pada Mario agar dia mau menyewa babysister untuk Abyan. Agar Mario bisa fokus pada pekerjaannya, tanpa dibebani dengan segala keperluan Abyan. Eliza juga pernah mengajukkan dirinya untuk mengurus Abyan, tapi Mario menolak dengan alasan kalau ibunya sudah lanjut usia. Dia tidak mau membebani Eliza. Selama ini dia sudah banyak membantu. "Dia sudah tidak memiliki Ibu. Jadi sudah tugas aku untuk memakai seluruh waktuku untuk Abyan. Aku akan menjadi Ayah sekaligus Ibu baginya. Tidak akan aku biarkan Abyan diasuh oleh tangan orang lain. Aku juga tidak mau memberatkan Ibu. Mengasuh Abyan adalah kebahagiaanku, jadi biarkan aku merasakan kebahagiaan itu." Mario akan melakukan apa pun demi Abyan, termasuk memberikan seluruh waktunya agar dia tidak pernah merasa kesepian. Setiap detik Abyan harus merasa bahagia, tanpa kenal kata kurang. Kurang kasih sayang. Cinta, tawa, canda, dan kilau mata yang menandakan kepuasan. Memasuki taman kanak-kanak, Mario menuntun Abyan menuju kelasnya. Abyan tampak bahagia sekali karena akan segera bertemu dengan teman-teman sebaya. Benaknya berkelana ke sana-kemari. Dia akan berkenalan dengan mereka, bermain ayun-ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, dan belajar bersama. Menghitung, membaca, menyanyi, dan mengaji. Di sana sedang ramai sekali, dipenuhi dengan ibu-ibu yang mengantar anaknya. Mereka akan menunggu anaknya sampai pelajaran selesai sambil bercengkerama. Ibu-ibu yang tadinya tidak saling mengenal, mendadak akrab dalam waktu seperkian detik. Ah, mereka pandai sekali bersosialisasi. Berbeda dengan para Ayah. Ibu-ibu selalu memiliki topik untuk dibicarakan, dan barangkali tak akan pernah lepas dari membicarakan orang lain. Kedatangan Mario dan Abyan cukup membuat mereka terpana. Semua murid diantar oleh ibunya, tapi tidak dengan yang satu ini. Dia malah diantar oleh ayahnya. Tentu hal ini membuat mereka takjub. Beruntung sekali dia yang menjadi istri, lantaran suaminya mau mengantar putra mereka sekolah. Mereka mulai berbisik-bisik mengenai rasa kagum. Sudah tampan, baik pula. Suami saya paling malas mengantar anaknya. Aku tidak yakin dia Ayahnya, pasti dia kakak lelakinya. Mana mungkin. Tiba di depan kelas---tepatnya dikelas A, Mario berjongkok di depan Abyan, "Semoga kamu betah besekolah di sini. Ayah akan menjemput kamu tepat waktu. Pukul sepuluh, bukan?" Diusapnya puncak kepala Abyan dengan senyum mengembang di bibir. Senyum pagi khas Mario yang didedikasikan untuk putra kesayangannya. "Apa itu tidak akan mengganggu pekerjaan Ayah?" "Tidak." Abyan tersenyum semringah. "Baiklah, Ayah. Byan masuk dulu." Bocah lucu itu mencium punggung tangan Mario yang wangi. "Assalamu'alaikum, Ayah." "Waalaikumussalam, Byan." Abyan masuk ke kelasnya dengan langkah penuh percaya diri nan riang gembira. Dia adalah anak pemberani, dan cukup menggemaskan. Tidak seperti anak lain yang rewel, menginginkan ibunya untuk masuk ke dalam, dan menemaninya belajar. Di dalam sana ada anak perempuan berponi dengan wajah cemberut, di sebelahnya ada sang Ibu yang sudah tidak tahu bagaimana caranya untuk membujuk putrinya yang tidak ingin ditinggal barang sedetikpun. Begitu melihat pemandangan itu, Abyan tercenung seraya memainkan lidah dalam mulutnya yang terkatup. Telinganya mendengar percakapan mereka dengan saksama. "Mengapa takut? Ibu guru tidak akan menggigit, kok." "Aku takut, aku ingin bersama Ibuku!" "Yang lain tidak ada yang bersama ibunya, tapi tidak terjadi apa-apa pada mereka. Sepulang sekolah kamu bisa kembali bersama Ibu." Abyan mengangkat telunjuk, menggaruk lubang hidungnya yang gatal. "Tidak, aku ingin terus bersama Ibu." "Aku datang ke sini bersama Ayah, di rumah pun aku tidak memiliki Ibu. Tapi aku anak yang pemberani, jadi aku tidak takut. Kamu tenang aja, Ibu guru pasti baik, teman-teman juga baik." Abyan mendekati anak perempuan itu, lalu mengulurkan tangan. "Perkenalkan, namaku Abyan. Bisakah kita berteman?" Anak perempuan itu termenung melihat tangan Abyan yang terulur kepadanya. Dia takut berkenalan, makannya dia ingin bersama ibunya. Dia juga sulit bersosialisasi. Sebelum orang lain memulai, dia tidak akan mau memulai. Abyan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku, yaitu dua buah permen s**u sapi kesukaannya. Setiap Mario mengajaknya ke supermarket, Abyan selalu merengek agar dibelikan permen s**u itu. "Ini, kata Ayah, sesama teman kita harus berbagi, dan aku memberi kamu permen ini sebagai tanda pertemanan kita. Terimalah, Byan baik kok orangnya." "Byan siapa?" tanya anak itu polos. "Namaku, namaku Abyan, bisa dipanggil Aby, atau Byan. Kalau kamu memanggil aku Aby, berarti aku bisa memanggilmu Umi." Anak perempuan itupun mengambil permen di tangan Abyan dan membalas uluran tangannya. "Namaku Yasmin, panggil aja Yas. Aku bukan umimu, jadi aku akan memanggil kamu Byan," katanya dengan suara jenaka. "Biar aku yang menggantikan posisi ibumu," ucap Abyan selanjutnya. "Kita kan sudah menjadi teman, jadi aku yang akan melindungi kamu." Yasmin berpikir beberapa jenak, kemudian mengangguk, anggukan itu membuat ibunya senang. Sang Ibu pun berdiri, dan mempersilakan Abyan untuk duduk di sebelahnya. "Titip Yasmin, ya, nak." "Baik, Bu." Abyan tersenyum meyakinkan dengan berlaga so dewasa. Setelah Ibu itu pergi, Abyan mengalihkan pandangan pada Yasmin yang mulai membuka permen pemberiannya. "Pukul aku ya kalau rasanya tidak enak." "Mengapa dipukul?" "Karena aku sudah memberikan sesuatu yang tidak enak." "Hmmm..." Yasmin memasukkan permen s**u itu ke dalam mulut, lalu mengunyahnya dengan ekspresi menghayati. "Ini enak, kok." "Benarkah?" "Hmmm...." Yasmin mengangguk-anggukkan kepala antusias. "Alhamdulillah, hari ini Byan sudah membuat orang lain senang." Bocah itu mengamini dengan kedua telapak tangan yang diusap ke permukaan wajah. Tindakan itu membuat Yasmin mengedip-ngedipkan mata tidak mengerti. Abyan melempar senyum kepadanya. "Tadi kamu bilang, kamu tidak memiliki Ibu di rumah? Benarkah? Memangnya dia ke mana?" "Ibuku sudah meninggal." Yasmin tertegun mendengarnya. Dia terkejut dengan mata yang sedikit membesar. Umur Mario sudah masuk kepala tiga, tapi dia masih terlihat muda dengan setelan kemejanya yang selalu tampak rapi. Apalagi dengan kacamata minus yang selalu setia bertengger di hidungnya. Berjalan meninggalkan koridor, Mario masih menjadi topik pembicaraan ibu-ibu yang senang sekali ngerumpi. Begitulah akhlak ibu-ibu zaman sekarang, sudah punya suami dan anak, tapi masih saja suka gosip tentang lelaki tampan. Sepatu Mario berpijak pada tanah merah yang dipenuhi daun-daun kering, ditangannya ada sebuket bunga mawar, hidungnya menghirup wangi bunga yang berbaur dengan udara pagi. Mario bertingkah seperti akan bertemu dengan kekasihnya yang telah lama tidak berjumpa, sesemangat dan sebahagia itu dia menyambut hari pertemuan. Kemudian Mario berjongkok di depan sebuah makam, lalu meletakkan bunga tersebut di depan batu nisan, menggantikan bunga lama yang telah layu. "Apa kabar nyonya Aiza, tuanmu kembali lagi." Sudah lima tahun berjalan, namun sampai sekarang Mario belum bisa melupakan sosok istimewa di hidupnya. Mengaku ikhlas, tapi nyatanya sulit. Entah sudah berapa kali dia berdosa, karena telah membohongi diri sendiri. Dialah kekasihnya, perempuan yang telah terkubur lama di dalam tanah, yang meninggalkan luka pada hati dia yang ditinggalkan. Lubna Aiza Az-zahra namanya. Cantik wajahnya. Baik akhlaknya. Kuat imannya. Lembut perangainya. Sopan tutur katanya. Sabar temannya. Cadar sahabatnya. Allah pelindungnya. Dia yang telah mengubah segalanya. Gelap menjadi terang. Hitam menjadi putih. Keras menjadi lunak. Besi menjadi kapas. Api menjadi air. Luka menjadi obat. Benci menjadi cinta. Hati Mario seakan mati untuk mencintai lagi. Sudah tertutup dan mungkin tak akan pernah terbuka lagi. Kunci hatinya dibawa pergi sang istri. Yang kini kakinya sudah tak berpijak di bumi lagi. Hanya dia yang menggenggam gembok hati. Hingga tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke dalam hati. Kisah cinta yang terjalin hanya berlangsung selama tiga bulan kurang satu hari. Perpisahan pun hanya terjadi sekali. Tapi mengapa rindunya ada banyak sekali, dan itu terjadi berkali-kali. Sepasang kekasih yang salah satunya pergi meninggalkan kekasihnya ke alam lain, maka terjadilah proses perceraian di antara mereka. Mario memang sudah bercerai dengan Aiza. Tapi mungkin masih ada kesempatan, untuk kembali bertemu di Surga. Dan kembali menjalin kisah baru di sana. Kisah yang lebih menarik, dan pastinya abadi. Itulah mengapa, Mario tidak mau menikah lagi. Dia ingin membuktikan cintanya. Meskipun banyak sekali kerabat yang menyuruh Mario untuk mencari pendamping hidup lagi, tapi Mario tidak pernah menggubris. Dia menjadi dingin. Seolah tutup telinga, tutup mata, tutup diri, dan tidak peduli. Dia yang tampan, bersikap menjadi lelaki yang tidak menarik perhatian. Dia yang mapan, bersikap menjadi lelaki sederhana. Dia yang bisa menikahi semua wanita yang dia inginkan, bersikap menjadi lelaki tidak normal lantaran tak memiliki gairah untuk mencintai. Kehilangan Aiza telah membuat Mario berubah 180 derajat. Dia yang suka bicara, kini pelit sekali, walaupun hanya beberapa patah kata. Semuanya cemburu pada Abyan. Karena seluruh perhatian Mario hanya ditunjukkan pada bocah itu. Seluruh senyum, tawa, cinta, kasih, sayang, kalimat, untaian panjang, hanya diberikan pada Abyan seorang. Seperti matahari yang menerangi bumi, air yang menyirami bunga, api yang membuat telur menjadi makanan paling enak, dan gula yang membuat puding menjadi manis. Walaupun Abyan bukan anak kandung. Walaupun Abyan bukan berasal dari darah daging sendiri. Walaupun Abyan tidak lahir dari rahim kekasihnya. Namun Abyan adalah pesan dan amanah dari Aiza. Pesan mungil yang dibalut rapi oleh pita biru simbol kasih sayang. Mencintai Abyan sama dengan mencintai Aiza. Itulah perwujudan dari sebuah kesetiaan. Setia mencintai Aiza seperti setia mencintai Rabb-nya. Atas nama cinta, Mario serahkan hidupnya untuk menjadi seorang duda. Alhamdulillah setelah sekian lama, aku kembali lagi, meneruskan kisah Mario berikutnya. Mungkin ini akan berbeda dengan ide aku sebelumnya, jdi 'Afwan, Blurb-nya akan ada perubahan. Bagaimana dengan bab 1 ini? Mohon komentarnya Kalau ada typo mohon koreksinya:)

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M
bc

Pengganti

read
301.7K
bc

T E A R S

read
312.7K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

Rujuk

read
909.3K
bc

Dear Doctor, I LOVE YOU!

read
1.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook